Tunjangan anggota DPRD DKI Jakarta dianggarkan naik di tahun 2022. Jika ditotal setiap anggota dewan akan menerima gaji dan tunjangan sebesar 139 juta rupiah lebih per bulan. Dikutip dari laman tempo.co.id 9/01/2022, 3 dari 8 komposisi alokasi anggaran mengalami kenaikan, yaitu tunjangan perumahan naik 25,44 miliar menjadi 102,36 milyar, tunjangan komunikasi intensif pimpinan dan anggota dewan naik 636 juta menjadi 27,34 milyar dan tunjangan reses naik 159 juta menjadi 6, 83 milyar.
Angka-angka tersebut tentu bukanlah jumlah yang kecil bagi rakyat kecil. Mereka yang beruntung merasakan Upah Minimum Propinsi (UMP) saja, angkanya masih di bawah 5 juta rupiah perbulan. Hal ini pun masih harus dipastikan apakah UMP sudah benar-benar diterima secara merata.
Anggaran sebesar 102,36 milyar disediakan untuk tunjangan perumahan para anggota dewan, sementara itu katadata menyebutkan 37,71% warga Jakarta belum memiliki rumah sendiri alias berstatus mengontrak atau menyewa. Belum lagi hari-harinya yang lebih sering dihiasi dengan kabar kenaikan harga mulai dari telor, minyak, cabe, gas, listrik, pph, ppn, BBM dan lain-lain. Ditambah tuntutan biaya kontrakan, sekolah anak dan kesehatan yang tidak murah.
Beragam jenis bantuan dan kartu jaminan yang ada belum juga mampu mengentaskan setiap jiwa dari kemiskinan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, per Maret 2021 sebanyak 500 ribu lebih rakyat DKI Jakarta tergolong miskin.
Munculnya kesenjangan antara pejabat dengan rakyat sebenarnya bukanlah hal yang baru. Bahkan seolah diterima sebagai konsekuensi hidup yang lumrah-lumrah saja. Wajar jika pejabat kaya sementara rakyat hidup seadanya. Akhirnya hari ini jabatan tinggi dijadikan obsesi sebagian orang yang kemudian rela menempuh segala cara agar bisa menjadi pejabat demi mengejar kekayaan. Termasuk menjadi salah satu pesan motivasi sebagian orangtua kepada anaknya untuk ‘sekolah yang tinggi Nak biar besok jadi “orang”’, dalam artian pejabat ataupun orang yang sukses dan punya pengaruh.
Ini adalah dampak dari diterapkannya sistem kapitalisme sekular. Kapitalisme menggiring umat pada sebuah pemahaman bahwa kesuksesan itu identik dengan kaya. Konsep uang bukan segalanya tapi segalanya butuh uang begitu dipegang kuat. Meyakini bahwa dengan uang siapapun bisa membeli apapun. Maka apapun karirnya, motivasi hidupnya adalah bagaimana mendapatkan untung sebanyak-banyak. Segala sesuatunya didasarkan pada asas manfaat dan perhitungan untung rugi.
Kapitalisme lahir dari sistem sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Sekularisme tak mengijinkan agama mengatur urusan diluar ibadah ritual. Wajar jika ada pejabat dalam menjalankan amanahnya tidak menggunakan standar agama karena dianggap bukan bagian dari ibadah. Rakyat sendiri digiring untuk cukup mengurusi diri sendiri tanpa perlu merasa tahu urusan para pemimpinnya.
Agama yang mengatur segala aspek kehidupan tidak hanya ritual, adalah Islam. Di dalam Islam, jabatan bukanlah jalan untuk mengumpulkan kekayaan. Jabatan justru sebuah amanah yang berat tanggungjawabnya di hadapan Allah. Sebagaimana dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda: “Penguasa adalah pemimpin bagi manusia dan dia akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka”. (HR Bukhari & Muslim).
Pejabat yang bertakwa paham akadnya bukan bekerja yang kemudian layak mendapatkan gaji. Pejabat atau penguasa adalah pelayan umat, memastikan seluruh kebutuhan pokoknya terpenuhi sebagaimana seorang ayah memastikan seluruh anggota keluarganya tak ada yang kelaparan tanpa syarat dan imbalan apapun.
Pejabat yang bertakwa akan sangat berhati-hati jika mendapatkan tunjangan meskipun itu telah menjadi hak mereka. Rasulullah Saw bersabda: “Ya Allah siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia membuat susah umatku, maka susahkalah dia. Dan siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia sayang pada umatku, maka sayangilah dia”. (HR Muslim). Juga hadist: “Siapapun pemimpin yang menipu rakyatya, maka tempatnya dineraka”. (HR Ahmad).
Sementara itu, rakyat dan masyarakat yang bertakwa tidak akan diam ketika melihat kemaksiatan atau kezaliman karena paham ada kewajiban mar ma’ruf nahi munkar. Hal ini akan menjadi kontrol sosial yang kuat di tengah masyarakat termasuk terhadap jalannya roda pemerintahan. Tidak sebagaimana hari ini, orang justru takut menyuarakan kebenaran apalagi jika menyangkut nama pejabat.
Ketaqwaan individu mulai dari rakyat hingga para pejabatnya akan membentuk pemahaman bahwa segala sesuatu standarnya bukan manfaat tetapi halal-halam. Aturan kehidupan dalam keluarga, masyrakat hingga negara tak terlepas dari aturan agama.
Individu yang bertakwa, masyarakat yang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dan negara yang di pimpin oleh pejabat yang bertaqwa akan membawa kehidupan penuh kesejahteraan dan keadilan tanpa terkecuali. Jaminan ini langsung disampaikan Allah Swt dalam Al-Quran Surat Al a’raf ayat 96: “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai denga apa yang telah mereka kerjakan”.
Kondisi ideal seperti itu mustahil terwujud di bawah sistem kapitalis dimana pemegang kendalinya adalah para kaum kapital. Hukum rimba berlaku, siapa yang kuat dia yang akan mendapatkan lebih banyak. Hanya dengan syariat islamlah, kondisi ideal tersebut dapat terwujud. Negara akan mensejahterakan semua rakyat apapun agamanya. Di sisi lain, para pejabatnya tidak menjadikan harta kekayaan sebagai orientasi utama, tapi pahala dan rida Allah semata sebagaimana telah dicontohkan para pemimpin kaum muslimin terdahulu.
Oleh Anita Rachman
0 Komentar