UU IKN yang prosesnya dikebut hingga akhirnya kini telah disahkan menuai reaksi dari banyak pihak. Ketika menyaksikan banyaknya gugatan dari masyarakat, artinya menunjukkan bahwa keputusan perpindahan IKN ini dinilai kurang tepat. Bahkan ada sebagian pandangan yang menyatakan bahwa jangan sampai akibat banyaknya pertentangan, mengulang kembali seperti UU Omnibus Law yang berujung inkonstitusional.
Anggota HILMI, Dr. Riyan M.Ag. turut merespons hal itu, "Ini sangat terburu-buru. Jangan sampai yang kita khawatirkan malah akan berujung inkonstitusional, seperti UU Omnibus Law," ungkapnya pada Kabar Petang di Khilafah News, Selasa (18/01/2022)
Riyan mengingatkan pada UU Omnibus Law yang pada akhirnya kemudian hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat. Ketika UU tersebut digugat oleh masyarakat melalui MK artinya kemudian memiliki vonis keputusan dari MK bahwa undang-undang Omnibus Law tadi adalah inkonstitusional. (Muslimahnews.net)
Bukankah jika terjadi lagi kepada inkonstitusional, maka yang rugi tentunya adalah rakyat? Karena setiap kebijakan yang tidak berorientasi pada pelayanan publik atau rakyat, bahkan cenderung sarat dengan kepentingan segelintir pihak, ini seolah menunjukkan adanya pengkhianatan dari wewenang yang telah menjadi amanah bagi pemerintah.
Motif di Balik Perpindahan IKN
Kita menyaksikan banyak pertanyaan hingga pertentangan yang timbul dari masyarakat terkait perpindahan IKN ini.
Ngototnya rezim untuk keputusan ini di tengah-tengah penolakan masyarakat menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang belum kelar terjawab di publik. Yaitu mengenai motif di balik perpindahan IKN tersebut.
Perpindahan IKN ini membutuhkan biaya yang sangat besar, bahkan di tengah kondisi problem ekonomi Indonesia saat ini. Maka masyarakat mempertanyakan skala prioritas dari perpindahan IKN, di mana masih banyak aspek lainnya yang lebih urgen untuk segera ditangani.
"Dana yang digunakan untuk mewujudkan pemindahan ibu kota, akan sangat lebih berguna apabila digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara (kesehatan, pendidikan, dll) yang sedang mengalami kesulitan," bunyi siaran pers Koalisi Masyarakat Sipil, Kamis (20/1/2022). (Kompas.com)
Sementara pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengumumkan, skema pembiayaan pembangunan Ibu Kota Negara hingga 2024 mendatang lebih banyak dibebankan pada APBN. Bahkan lebih dari setengahnya yaitu sebesar 53,3 persen. Sisanya, dana didapat dari Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), swasta, dan BUMN sebesar 46,7 persen. Artinya, poin utama yang kita perhatikan di sini ialah motifnya untuk siapa, apakah benar untuk rakyat, atau untuk kepentingan para kapitalis?
Bukan menjadi hal yang tabu, dalam sistem kapitalisme yang sedang diterapkan hingga kini, disinyalir bahwa kepentingan korporatokrasi atau perselingkuhan antara oligarki politik dengan korporasi/pihak swastalah yang akan selalu diutamakan.
Respons Masyarakat Kalimantan Timur
Dilansir dari rekaman penelusuran media nasional yang dipandu oleh Najwa Shihab, yakni wawancaranya dengan para tetua adat maupun masyarakat sekitar. Hal ini membuktikan bahwa rakyat tidak diikut-sertakan untuk mengetahui dan terlibat secara mendalam mengenai pembangunan IKN ini. Pemerintah Kabupaten sulit mengakses informasi dan komunikasi karena memang kendali proyek ada di tangan Pemerintah Pusat.
Realitasnya, masyarakat Kaltim, terutama di wilayah sasaran IKN yaitu Kabupaten Penajam Paser Utara ini justru diminta legowo apabila wilayah mereka dijadikan sebagai perluasan wilayah IKN. Tetapi masyarakat di sana tidak berdiam diri, mereka tetap berusaha mempertahankan wilayahnya. Dari sini terlihat bahwa potensi UU IKN justru berseberangan dengan kepentingan masyarakat.
Masyarakatnya bahkan menilai keputusan perpindahan IKN ini seolah hanyalah untuk memenuhi syahwat para korporat dan elit politik yang ingin menjamah lahan basah potensi Kalimantan Timur. Infrastruktur megah yang dibangun bukan untuk rakyat melainkan untuk melancarkan bisnis para korporat dan elit.
Megaproyek Korporasi
Koalisi Masyarakat Sipil menuding bahwa proyek ibu kota negara (IKN) baru merupakan megaproyek oligarki yang mengancam keselamatan rakyat. Adapun Koalisi Sipil ini terdiri dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 17 LBH kantor, Yayasan Srikandi Lestari, Sajogyo institute, dan #BersihkanIndonesia.
Pemindahan ibu kota ini tak lebih dari proyek oligarki karena menurut Koalisi, tampak upaya mendekatkan IKN dengan pusat bisnis beberapa korporasi di sana, yang wilayah konsesinya masuk dalam kawasan IKN. Menurut catatan JATAM Kaltim, terdapat 94 lubang tambang yang berada di kawasan IKN. Ditambah lagi, Kaltim juga memiliki sumber daya alam seperti batubara, minyak dan gas bumi, serta diberkahi oleh sumber matahari (solar cell), air (hidro) hingga angin.
Maka, menjadi jelas mengapa pemindahan ibu kota dilakukan serbakilat dan tidak transparan. Padahal, pihak yang terdampak langsung dari proyek ini sangat banyak, mulai dari warga dan masyarakat adat Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara, para ASN pemerintah pusat yang selama ini tinggal di Jakarta, hingga warga Sulawesi Tengah yang harus menghadapi kerusakan lingkungan imbas proyek tambang di wilayahnya demi suplai infrastruktur dan tenaga listrik IKN.
Dengan hal ini, maka motif perpindahan IKN ini sebagaimana tabiat sistem kapitalisme demokrasi, jelas menggelar karpet merah untuk para korporat. Inilah negara korporatokrasi. Akankah masyarakat berdiam diri menyaksikan semua ini? Wallahualam.
Oleh Novita Sari Gunawan
0 Komentar