Setara Institute merilis laporan Indeks Kota Toleran Tahun 2020 (Kompas.com, 21/11/2021). Dalam laporan tersebut, terdapat 10 kota di Indonesia yang memiliki skor toleransi tertinggi. Adapun 10 kota paling toleran di Indonesia adalah Salatiga (skor 6,717), Singkawang (6,450), Manado (6,200), Tomohon (6,183), Kupang (6,037), Surabaya (6,033), Ambon (5,733), Kediri (5,583), Sukabumi (5,546), dan Bekasi (5,530).
Berdasarkan data tersebut, Pemerintah Kota Sukabumi meraih penghargaan indeks Kota Toleran tahun 2020 dari Setara Institute. Penghargaan tersebut diberikan dalam acara yang digelar di Hotel Ashley Jakarta, pada hari Kamis, 25 Februari 2021 (portal.sukabumikota.go.id).
Setara Institute menetapkan empat variabel dengan delapan indikator. Pertama, pemerintah kota (Pemkot) dengan indikator yakni, RPJMD dan produk hukum pendukung lainnya serta kebijakan diskriminatif. Variabel kedua adalah tindakan pemerintah. Indikatornya terdiri dari pernyataan pejabat kunci tentang peristiwa intoleransi dan tindakan nyata terkait peristiwa tersebut. Variabel selanjutnya adalah regulasi sosial dengan indikator peristiwa intoleransi serta dinamika masyarakat sipil terkait peristiwa intoleransi. Halili mengatakan, variabel terakhir adalah demografi agama. Indikator yang tercakup dalam variabel ini adalah heteregonitas keagamaan penduduk dan inklusi sosial keagamaan.
Apabila kita cermati bagaimana kota-kota tersebut dapat merebut prestasi, maka dapat kita lihat bahwa toleransi yang digunakan adalah toleransi yang distandarkan pada nilai-nilai barat seperti sekularisme dan pluralisme. Sebagai contoh, dilansir dari Antaranews.com (27/1/2022), Kota Singkawang yang mendapatkan predikat kedua karena Dinas Pendidikan di sana sudah menerapkan toleransi versi barat, di antaranya pada pelaksanaan upacara bendera di salah satu sekolah negeri, petugas upacara bergiliran membaca doa sesuai agama yang dianutnya. Selain itu ada program kearifan lokal berupa Barongsai, serta di sekolah ada pelaksanaan perayaan Natal Bersama dimana penganut agama lain ikut merayakan.
Mencampuradukkan Akidah, Toleransi Kebablasan
Saat ini, standar yang digunakan untuk toleransi adalah pluralisme, yakni memandang semua agama sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
Apabila kita menimbang dengan konsep akidah, sesungguhnya ide ini sangat berbahaya karena justru memaksa orang untuk ragu pada agamanya sendiri. Bahkan gara-gara pluralisme-lah orang jadi tidak beragama dan mendekat pada konsep atheisme. Pluralisme merupakan racun dari Barat yang disebarkan di dunia Islam.
Terkait hal ini, sesungguhnya Rasulullah saw. telah mengingatkan kita semua untuk tidak mengikuti tradisi atau kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang selain Islam, sebagaimana hadis Rasulullah saw., “Sungguh, engkau akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal. Bahkan andai mereka masuk lubang biawak, niscaya kalian mengikuti mereka.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, yahudi dan nasranikah mereka?” Beliau menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR Bukhari)
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya, Fath al-Bari, menerangkan bahwa hadis ini berkaitan dengan ketergelinciran umat Islam karena mengikuti mereka dalam masalah akidah dan ibadah. Dalam konteks akidah dan ibadah, misalnya, ada sebagian muslim yang berpendapat tentang kebolehan mengucapkan selamat Natal kepada kaum nasrani, bahkan kebolehan mengikuti perayaan Natal bersama. Padahal jelas, segala bentuk ucapan selamat apalagi mengikuti perayaan hari-hari besar orang kafir adalah haram.
Lebih jauh lagi, kita telah memahami bahwa agama yang diridai Allah hanyalah Islam. Dengan demikian, yang seharusnya kita serukan kepada mereka adalah agar mereka segera bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah Swt.
Toleransi Pandangan Islam
Sesungguhnya Islam adalah agama yang menghargai masyarakat yang plural, yang memiliki keberagaman suku, agama, dan bahasa. Keberagaman ini dalam pandangan Islam merupakan suatu keniscayaan. Daulah Islam yang dipimpin oleh Rasulullah saw. sebagai representasi penerapan hukum Islam justru dengan indah menghargai dan melindungi keberagaman ini, selama menaati aturan daulah Islamiah.
Islam telah memberikan aturan dan ketentuan yang sangat lengkap dan sempurna, termasuk berbagai hal yang berkaitan dengan toleransi. Ketentuan-ketentuan Islam tersebut antara lain:
Pertama, Islam tidak akan pernah mengakui kebenaran agama dan keyakinan selain Islam. Seluruh keyakinan dan agama selain Islam adalah kekufuran. Kapitalisme, demokrasi, pluralisme, sekularisme, liberalisme, dan semua paham yang lahir dari paham-paham tersebut adalah kufur. Agama selain Islam semuanya kufur, karena agama yang diridai Allah hanyalah Islam. Siapa saja yang menyakini agama atau paham tersebut, baik sebagian maupun keseluruhan, adalah kafir. Sebagaimana yang dijelaskan dalam QS Ali Imran: 19 dan Ali-Imran: 85.
Kedua, tidak ada toleransi dalam perkara-perkara yang telah ditetapkan oleh dalil-dalil qath'i, baik menyangkut masalah akidah maupun hukum syariat. Dalam perkara akidah, Islam tidak pernah menoleransi keyakinan yang bertentangan pokok-pokok akidah Islam semacam ateisme, politeisme, keyakinan bahwa Al-Qur'an tidak lengkap, keyakinan adanya Nabi dan Rasul baru setelah wafatnya Nabi saw., pengingkaran terhadap hari akhir dan lain-lain. Adapun dalam persoalan hukum syariat, Islam tidak menoleransi orang yang menolak kewajiban salat, zakat, puasa, keharaman zina, pergaulan bebas, membunuh tanpa hak, dan berbagai kewajiban serta larangan yang telah ditetapkan berdasarkan dalil qath'i.
Ketiga, Islam tidak melarang kaum muslim untuk berinteraksi dengan orang-orang kafir dalam perkara-perkara mubah seperti jual-beli, kerja sama bisnis, hidup bertetangga, dan lain sebagainya. Larangan berinteraksi dengan orang kafir terbatas pada perkara yang dilarang oleh syariat, seperti menikahi wanita musyrik, menikahkan muslimah dengan orang kafir, dan lain sebagainya. Ketentuan ini tidak bisa diubah dengan alasan toleransi.
Keempat, adanya ketentuan-ketentuan sebelumnya tidak menafikan kewajiban kaum muslim untuk berdakwah dan berjihad melawan orang-orang kafir di mana pun mereka berada. Hanya saja, pelaksanaan dakwah dan jihad harus sejalan dengan syariat. Orang kafir yang hidup di negara Islam dan tunduk pada kekuasaan Islam, dalam batas-batas tertentu, diperlakukan sebagaimana kaum muslim. Hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara daulah Islam sama dengan kaum muslim. Harta dan jiwa mereka dilindungi. Adapun terhadap kafir harbi maka hubungan dengan mereka adalah hubungan perang. Seorang muslim dilarang berinteraksi dalam bentuk apa pun dengan kafir harbi fi’lan.
Islam telah mengajarkan dan memperagakan toleransi dengan begitu indah sejak masa Rasulullah Saw., Islam sudah mempraktikannya dengan baik sejak 15 abad lalu. Hingga nonmuslim justru hidup sejahtera di bawah naungan Islam, dan berbondong-bondong masuk dalam agama Islam atau meminta hidup dalam perlindungan kekuasaan Islam. Islam telah memberikan tuntunan bagaimana menghargai dan menghormati pemeluk agama lain. Tidak memaksa nonmuslim untuk masuk Islam.
Sejak berdirinya pemerintahan Islam di Madinah, Islam mempersaudarakan berbagai suku bangsa (kabilah-kabilah) dan bangsa. Berbagai suku bangsa yang pada awalnya bertentangan, bahkan bermusuhan, dipersaudarakan oleh kalimat laa ilaaha illallaah. Banyak suku yang dipersaudarakan, termasuk suku Aus dan Khazraj. Demikian pula Makkah dan Madinah yang memiliki karakteristik yang berbeda dalam hal budaya, adat istiadat serta kebiasaan-kebiasaan dipadukan, sehingga membentuk sebuah masyarakat baru yang khas, masyarakat Islam. Sebuah masyarakat yang dibangun di atas akidah Islam, yang pada gilirannya dijadikan sebagai solusi berbagai problematika hidup yang dihadapi.
Dengan kata lain, peleburan suku-suku bangsa, bahkan bangsa-bangsa yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabat itu menghasilkan suatu mayarakat yang khas, yang terdiri atas kumpulan individu yang memiliki pemikiran, perasaan, dan aturan serta tujuan yang sama.
Dalam aktivitas dengan nonmuslim, Rasul Saw. pernah menjenguk seorang Yahudi yang sedang sakit, melakukan transaksi jual-beli, menghargai tetangga nonmuslim, dan sebagainya. Daulah Islamiyah pertama di Madinah yang Rasul Saw. kala itu menjadi kepala negaranya juga menunjukkan kecemerlangannya dalam mengelola kemajemukan. Umat Islam, nasrani, dan yahudi hidup berdampingan satu sama lain. Meski mereka hidup dalam naungan pemerintahan Islam, masyarakat nonmuslim mendapatkan hak-hak yang sama sebagai warga negara, memperoleh jaminan keamanan, juga bebas melakukan peribadatan sesuai dengan keyakinannya masing-masing.
Demikianlah Islam telah mengajarkan toleransi yang sesungguhnya. Sementara toleransi hari ini sudah bergeser maknanya menjadi pluralisme karena harus ikut-ikutan dalam peribadatan agama lain. Berdasarkan hal tersebut, kita harus waspada dengan adanya capaian prestasi “Kota Toleran” karena semakin berprestasi maka semakin kental ide pluralisme yang diterapkan di masyarakat. Dengannya umat semakin dijauhkan dari Islam. Padahal justru Islam yang akan membawa keberkahan bagi negeri ini dan membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat nanti.
Wallahu’alam bishshawab
Oleh Silmi Dhiyaulhaq, S.Pd. (Pemerhati Sosial)
0 Komentar