Kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di negeri ini makin meningkat. Tidak sedikit para korbannya mengalami guncangan jiwa yang tidak kalah berat dari derita fisiknya.
Beberapa pihak menilai pemulihan psikis dan fisik korban membutuhkan banyak tenaga dan biaya sehingga menilai zakat sebagai alternatif menyelesaikan masalah ini. Bahkan, di antara mereka mengusulkan agar MUI mengeluarkan fatwa tentang hal ini.
Dalam seminar nasional tentang optimalisasi fungsi zakat yang dilaksanakan oleh kerja sama Forum Kota Sehat (FKS) Tangerang Selatan dengan PSIPP ITB Ahmad Dahlan Jakarta, Ketua Dewan Syariah LazisMu Pusat Hamim Ilyas menyebut gagasan itu bisa dilakukan.
“Dulu salah satu yang berhak menerima zakat adalah korban perbudakan. Perbudakan seperti di masa lalu kini sudah tidak ada. Namun, sekarang masih ada penindasan.”
Ketika korban kekerasan dan keluarganya terpuruk sehingga sandang, papan, pangan, pendidikan serta kesehatannya tak terpenuhi dengan baik, zakat sejatinya bisa diberikan kepada mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.[1]
Sekretaris Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK) PP Muhammadiyah Mukhaer Pakkanna menjelaskan optimalisasi zakat penting untuk kepentingan publik, khususnya korban kekerasan perempuan dan anak.
“Kita bisa melepaskan diri dari sekat-sekat agama demi menolong orang lain. Zakat bukan untuk kepentingan muslim saja, tetapi untuk kepentingan universal. Kesadaran kita dibangkitkan agar zakat yang dikeluarkan juga diniatkan secara khusus untuk korban kekerasan seksual. Para korban ini sesuai dengan kriteria empat dari delapan golongan penerima zakat.”[2]
Yulianti Muthmainnah, penulis buku Zakat untuk Korban Kekerasan Perempuan dan Anak menyatakan bahwa korban pemerkosaan seharusnya dapat memperoleh zakat. Ini karena zakat merupakan perintah Allah yang beriringan dengan perintah salat yang tertera dalam Al-Qur’an. Selain itu, Yulianti tegas mengatakan bahwa zakat itu untuk keadilan sosial, bukan sekadar mengentaskan kemiskinan.
Menurutnya, perempuan korban kekerasan termasuk dari delapan golongan penerima zakat sebagaimana tercantum dalam QS At-Taubah: 60. Yulianti menyebutkan, golongan yang dapat memperoleh zakat salah satunya adalah adanya riqab (perbudakan). Akan tetapi, perbudakan ini bukan hanya berlaku untuk membebaskan budak, tetapi juga perbudakan modern, yaitu korban pemerkosaan. Oleh karenanya, korban kekerasan ataupun pemerkosaan juga dapat memperoleh zakat.
Salah satu efek bagi perempuan korban kekerasan seksual adalah mengalami titik paling rendah dalam mentalnya dan sulit menemukan pertolongan, baik dari keluarga, masyarakat, bahkan tokoh agama. Dengan begitu, riqab adalah bagian dari delapan golongan yang memperoleh zakat. Riqab adalah melepaskan seseorang dari perbudakan. Untuk konteks sekarang, perbudakan dalam bentuk lain, seperti pemerkosaan, eksploitasi seks, ataupun promosi eksploitasi seksual pada perempuan.[3]
Memang tidak kita mungkiri, para korban kekerasan tidak hanya mengalami permasalahan fisik, tetapi juga psikis yang proses penyembuhannya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pada sisi lain, penguasa seolah tidak mau tahu dengan kondisi rakyatnya dan malah terjebak polemik RUU TP-KS yang justru merupakan upaya penyelesaian tambal sulam.
Oleh sebab itu, sebagai seorang muslim, sudah seharusnya kita menelaah terlebih dahulu faktanya dan mencermatinya, sekaligus menelaah kembali tentang cara Islam mengatur zakat sehingga tidak menyalahi syariat.
Mendudukkan Masalah
Dari berbagai pendapat para tokoh tadi, mereka menilai korban kekerasan seksual—dalam hal ini pemerkosaan—berhak menerima zakat karena setidaknya termasuk satu dari delapan asnaf, yaitu ar-riqab (perbudakan). Mereka berpendapat bahwa perbudakan ini bukan hanya berlaku untuk membebaskan budak, tetapi juga perbudakan modern (korban pemerkosaan). Apakah pendapat ini bisa diterima?
Untuk menjawabnya, kita harus merujuk pendapat ulama dan mufasir tentang ayat terkait mustahik zakat, yaitu QS At-Taubah: 60. Namun, sebelumnya kita akan bahas ketentuan-ketentuan tentang zakat terlebih dahulu sehingga kita tidak menyimpang dari ketentuan Allah tentang masalah ini.
Ketentuan Islam tentang Zakat
Zakat adalah salah satu ibadah sebagaimana salat, puasa, dan haji. Hukum terkait zakat sebagaimana ibadah lainnya yang bersifat tawqîfiyyah (otoritas penuh) yang menjadi hak Allah Taala. Oleh karena itu, aturan mainnya harus datang dari Allah, Zat Yang Maha Pencipta, bukan dari yang lain.
Benar bahwa zakat adalah suatu kewajiban yang terlaksana di bawah pengawasan pemerintah, hanya saja harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.
Zakat hanya wajib atas kaum muslim, hal ini ditegaskan dalam QS Al-Baqarah: 43. Demikian pula hadis-hadis Rasulullah saw., di antaranya, “Beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah Swt. telah mewajibkan atas mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka untuk kemudian dikembalikan kepada orang-orang fakir di antara mereka.”(HR Ibnu Majah dan Abu Daud).
Dalam rumusan fikih, zakat bermakna sebagai sejumlah harta tertentu yang Allah wajibkan untuk menyerahkannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu. Kewajiban zakat tidak mengikuti keperluan negara ataupuj kemaslahatan umat. (Al Amwaal fii Daulah Al-Khilafah , Abdul Qodim Zallum).
Para ulama telah mengklasifikasikan zakat sebagai bagian dari ibadah mahdhah(murni), karenanya zakat mempunyai ketentuan khusus, baik menyangkut wajib zakat (muzaki), yang berhak menerima (mustahik), pemungut (‘âmil), harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, waktu pelaksanaannya, hingga kadar dan ukurannya.
Siapa yang Dimaksud dengan Ar-Riqab?
Riqabsecara bahasa adalah jamak dari raqabahyang bermakna budak atau hamba sahaya. Hanya saja, untuk pengamalan sebuah ayat atau hadis, tidak cukup hanya mendasarkan pada makna bahasa atau ma’na lughowi saja. Akan tetapi, harus menelusuri makna istilah atau makna syarak (makna syar’i-nya) dengan menelusuri nas-nas tersebut, menelusuri tafsir ayat Al-Qur’an tentang hal ini, mengkaitkan nas yang satu dengan yang lain, serta mendalami konteks nas sebagaimana disampaikan oleh para ulama tentang nas-nas tersebut.
Dalam tafsir Ibnu Katsir, penjelasan tentang ar-riqab adalah sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Hasan al-Bashri, Muqatil bin Hayyan, ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, Sa’id bin Jubair, An-Nakha’i, Az-Zuhri dan Ibnu Zaid, mereka berpendapat bahwa yang dimaksud dengan budak adalah al-mukatab (budak yang telah mengadakan perjanjian dengan tuannya untuk membayar sejumlah uang sebagai tebusan atas dirinya). Hal ini juga diriwayatkan dari Abu Musa al-‘Asyari. Ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i juga Al-Laitsi.
Berkata Ibnu ‘Abbas dan al-Hasan, “Tidak mengapa harta zakat tersebut dijadikan sebagai tebusan untuk memerdekakan budak.” Ini adalah mazhab Ahmad, Malik, dan Ishaq. Maksudnya bahwa memberikan zakat kepada budak sifatnya lebih umum dari sekdar memerdekakan al-mukatab ataupun membeli budak kemudian memerdekakannya.
Sedangkan Imam Jalalain menjelaskan bahwa ar-riqab adalah hamba sahaya yang berstatus mukatab. Tafsir As-Sa’dikarya Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di menjelaskan bahwa riqab adalah hamba sahaya mukatab yang menebus dirinya dari tuan (pemilik)nya, juga yang berusaha keras agar bisa membebaskan dirinya, maka ia dibantu dengan zakat.
Membebaskan tawanan muslimin dari tangan orang-orang kafir termasuk di dalamnya, bahkan ia lebih layak. Termasuk dalam hal ini boleh memerdekakan hamba sahaya walaupun ia bukan mukatab, karena ia termasuk dalam Firman-Nya, “… Untuk memerdekakan budak….”
Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Amwaal fii Daulah Al-Khilafahmenjelaskan bahwaar-riqabadalah budak yang lemah. Diberikan bagian dari zakat kepada mereka yang tergolong budak al-mukatab untuk membebaskannya, ataupun dengan membeli mereka dan membebaskannya dengan menggunakan harta zakat jika mereka tidak termasuk budak al-mukatab.
Sedangkan tentang al-mukatab,Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskannya dalam kitab Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah juz 2. Dalam istilah para ulama fikih, al-mukatab adalah membebaskan hak milik saat itu juga dan statusnya sebagai budak ketika sudah lunas. Artinya, ketika akad mukatabah atau akad perjanjian sah, seorang hamba sudah keluar dari genggaman sang majikan. Setelah ia menyerahkan sejumlah uang (sebagai ganti), ia telah keluar dari kepemilikan tuannya.
Dari penjelasan para ulama dan ahli tafsir ini, telah sangat jelas bahwa korban perkosaan atau kekerasan seksual tidak termasuk dalam kategori ar-riqab sebagaimana dalam QS At-Taubah: 60. Juga tidak bisa menganalogikan kondisi perempuan yang mengalami kekerasan seksual ini kepada riqab/budak karena memang tidak ada ilat yang bisa diqiyaskan.
Penindasan yang diklaim oleh sebagian kalangan sebagai ilat atau alasan tidak bisa diterima sebagai ilat syar’iyah, terlebih lagi zakat adalah masalah ibadah. Sebab ibadah sifatnyatawqifiyyah (otoritas penuh), artinya menjadi hak Allah Swt. secara penuh dan pada dasarnya tidak boleh ada ijtihad di dalamnya dan tidak boleh ada qiyas atau ilat di dalamnya. Oleh karena itu, aturan mainnya harus datang dari Allah, Zat Yang Maha Pencipta, bukan dari yang lain.
Dengan demikian, bisa kita simpulkan bahwa korban pelecehan seksual tidak termasuk mustahik zakat, kecuali jika memang yang bersangkutan dan orang yang wajib menanggung nafkahnya terkategori miskin atau fakir. Akan tetapi, sesungguhnya ini merupakan topik pembahasan yang berbeda.
Khatimah
Hanya saja, bukan berarti bahwa korban kekerasan ini tidak diurusi atau dibiarkan begitu saja, ada pihak yang bertanggung jawab besar terhadap mereka. Negaralah yang seharusnya bertanggung jawab menyelesaikan permasalahan kekerasan seksual ini.
Negara tidak hanya memberikan sanksi setimpal bagi pelaku tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, tetapi akan bertanggung jawab terhadap korban. Negara akan menyediakan pelayanan kesehatan terbaik bagi warga negaranya, termasuk korban tindakan kekerasan, bahkan tempat rehabilitasi mental bagi mereka tanpa pungutan biaya.
Memang kita tidak bisa berharap kepada sistem sekuler kapitalisme untuk menyelesaikan masalah ini. Hanya sistem Islam dalam naungan Khilafah sajalah yang akan mampu menyelesaikannya dengan tuntas. Oleh karenanya, sekaranglah waktunya umat Islam harus bersatu, berjuang bersama-sama agar sistem Islam bisa tegak kembali di muka bumi ini. Wallahualam. [MNews/Gz]
Referensi
______________
Yuk raih amal saleh dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya
Follow kami di
Website : www.muslimahjakarta.com
Instagram : instagram.com/muslimahjakartaofficial
0 Komentar