bergulir ketika RUU IKN telah diketok palu. Suatu hal yang memang tidak bisa dipungkiri akan hadir opsi penolakan, karena disaat rakyat menghadapi kesulitan ekonomi, penguasa justru menggunakan dana sangat besar untuk memindahkan ibukota.
Presiden telah berkata bahwa hal ini bukan hanya soal pemindahan gedung. Dilansir dari Warta ekonomi.co.id, Jokowi mengatakan bahwa pindah ibu kota adalah pindah cara kerja, pindah mindset berbasis ekonomi modern dan membangun kehidupan sosial lebih adil dan inklusif (30/1/2022).
”IKN akan kita jadikan show case transformasi baik di bidang lingkungan, cara kerja, basis ekonomi, teknologi dan lain-lain, termasuk di bidang pelayanan kesehatan dan pendidikan yang lebih berkualitas”, lanjutnya. Selain itu, Presiden juga meminta dukungan rakyat dalam proses pembangunannya.
Rencana pembangunan ibukota negara yang apik memang menjadi impian banyak negara termasuk Indonesia. Namun Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Suryadi Jaya khawatir akan keamanan IKN yang akan dibangun karena justru mendekati wilayah konflik laut Cina Selatan. Pertanyaannya, apakah hanya dengan mendekat dengan wilayah konflik menjadi satu-satunya alasan keamanan bagi ibukota negara yang baru?
Paradigma Negara Kepulauan dan Keamanannya
Indonesia merupakan negara kepulauan, oleh karena itu dengan paradigma ini, diharapkan mampu membaca kompleksitas wilayah kepulauan. Seperti dalam persoalan penentuan kebijakan pemindahan IKN berikut kapasitas pertahanan lautnya. Hal ini menjadi penting, karena selama ini Indonesia menjadi arena kontestasi kekuatan militer negara-negara maju terutama di Laut Cina Selatan, yang kapal-kapal mereka lalu lalang di zona ekenomi eksklusif Indonesia.
Prof. Dr. M. Baiquni, MA menyatakan bahwa Paradigma Archipelago (kepulauan) adalah cara pandang suatu teori maupun praxis yang mendasarkan pada kemajemukan masyarakat, keragaman ekosistem dan kompleksitas wilayah kepulauan. Bhinneka Tunggal Ika menjadi inspirasi untuk mengembangkan Paradigma Archipelago. Keragaman alam dan kemajemukan masyarakat di negara kepulauan berbeda dengan negara benua. Hingga saat ini, banyak pemikiran dan cara pandang geografi berangkat dari para ahli yang berasal dari negara maju kontinental (continental paradigm) yang belum tentu cocok untuk diterapkan dalam konteks wilayah kepulauan Indonesia (ugm.ac.id 15/5/2020).
Sejurus dengan itu, CEO Institut Muslimah Negarawan, DR Fika Komara menyatakan di dalam Chanel Youtube Institut Muslimah Negarawan bahwa ada perbedaan cara pandang antara paradigma negara kepulauan dengan negara continental. Karena aspek-aspek strategis negara kepulauan sangat banyak, seperti interksi antar pulau, pengaruh strategis yang sifatnya makro dan masih banyak yang lainnya.
Sehingga dengan adanya multi interaksi ini, maka kesemua interaksi tersebut harus dipertimbangkan dalam sebuah negara kepulauan. Oleh karananya sistem pertahanannya pun akan lebih kompleks.
Dengan demikian, dalam rangka pemindahan ibukota negara pun memakai cara pandang paradigma kepulauan ini. Karena ibukota Indonesia adalah ibukota negara kepulauan yang mengharuskan mempunyai sistem kemanan berlapis. Posisi Ibukota negara juga seharusnya merupakan pusat pertahanan negara.
Namun dilansir dari Katadata.co.id bahwa Panglima TNI, Andika Perkasa menyatakan bahwa belum ada perencanaan detil strategi pertahanan di ibukota. Hingga saat ini juga anggaran pertahanan negara belum dibahas. "Kami menunggu pembahasan anggaran, tentang desain segala macam nanti juga diarahkan kepada kami," ujarnya (24/1/2022).
Padahal dilansir di Berita satu.com bahwa TNI membutuhkan anggaran senilai Rp 118,205 triliun untuk pembangunan Markas Besar (Mabes) TNI dan tiga matra di Ibu Kota baru, di Kalimantan Timur (26/9/2019). Anggaran ini tentu saja digunakan untu menyokong pertahanan dan keamanan ibukota baru.
Posisi Kalimantan Timur dan Pertarungan Global di Laut Cina Selatan
Dalam melihat posisi ibukota baru ini, Hendrajit, pengkaji geopolitik dan Direktur Eksekutif Global Future Institute mengatakan bahwa ibukota baru yang terletak di Kalimantan justru lokasinya terkepung diantara armada maritim Amerika dan Tiongkok di Laut Cina Selatan.
"Kalau ibu kota di Kalimantan, kita bisa menjadi bumper dari pertarungan global antara Amerika dan Cina di Asia Pasifik," ujarnya (Tagar.id 6/9/2019).
Seperti yang telah dilaporkan oleh Asia Maritime Transparency Initiative (AMTI) bagian dari CSIS yang notabene merupakan ‘think tank’ nya Amerika. Dalam laporannya berjudul Kemampuan Proyeksi Kekuatan Cina di Laut Cina Selatan pada 26 Januari 2022 lalu, dinyatakan bahwa Kalimantan Timur termasuk dalam radius pesawat tempur dan pesawat pengebom China yang bermarkas di Laut China Selatan. Justru Jakarta tidak termasuk dalam radius tembakan angkatan udara China.
Sedangkan pangkalan militer Amerika terdapat di Filipina, Guam, Jepang juga di Thailand yang dekat dengan Indonesia. Pantaslah Hendrajit khawatir bila ibu kota jadi pindah, posisinya akan menjadi sasaran tembak dua kubu.
"Posisi Kalimantan sangat strategis. Jika sekutu kita yang ada di sekelilingnya. Kita yang akan jadi pusat keseimbangan (episentrum). Akan tetapi, kalau musuh di sana, kita terkepung," ujarnya. Oleh karenanya, bila ibukota dibangun di Kalimantan Timur sesungguhnya posisinya berbahaya bagi negara.
Dalam Islam, untuk membuat sebuah kebijakan, landasan pertama adalah sesuai dengan syariat, baik perencanannya ataupun sumber dananya. Kedua, mengedepankan urusan rakyat, kemudian agar rencana berjalan dengan lancar dan kebijakan sesuai dengan sasaran, maka diserahkan pada ahlinya. Agar diperhitungkan secara matang dari berbagai sisi.
Walau hal yang sah bagi penguasa untuk memindahkan ibukota negara, namun kebijakannya bukan hanya dititik beratkan dalam hal ekonomi ataupun bisnis semata. Agar pembangunan yang direncanakan dapat dirasakan kenikmatannya bagi seluruh masyarakat.
Wallahu’alam
Oleh Ruruh Hapsari
0 Komentar