Bangun Gedung Megah Kala Rakyat Hidup Susah

 



Bangunan super megah, jalan tol mulus tanpa kerikil, tiang-tiang beton menjulang bak raksasa. Semuanya tampak modern dan berkelas mewarnai pandangan mata. Namun akankah kemegahan tersebut menunjukkan kemajuan suatu bangsa? Nyatanya di balik kemewahan dan kemegahan berbagai bangunan baru, ironis masih banyak masyarakat yang tersisih, tidak mempunyai tempat tinggal, dan kebutuhan hidup yang layak. 


Salah satu faktanya adalah warga kampung bayam di kawasan Jakarta Utara. Mereka merupakan masyarakat yang terdampak pembangunan stadion raksasa, Jakarta Internasional Stadion (JIS). Dilansir dari Tempo.co (21/01/2022), pembangunan JIS ditargetkan akan rampung 100 persen pada Maret 2022. Per Januari 2022, capaian pembangunannya sekitar 94,6 persen, lebih cepat 2,5 persen dari jadwal yang direncanakan.


Mungkin sebuah prestasi bagi penguasa karena telah dengan cepat bisa segera merampungkan pembangunan gedung megah tersebut. Namun, terselip kisah pilu masyarakat kecil warga kampung bayam yang terdampak penggusuran pembangunan JIS. Kini mereka bertahan hidup dengan membangun bedeng-bedeng di rel kereta api (KAI) dengan kondisi yang memprihatinkan.


Dilansir dari kompas.com (7/1/2022), deretan gubuk berdinding tripleks dan beratap seadanya menjadi pemandangan miris warga kampung bayam pasca pembangunan JIS yang hampir rampung. Mereka tetap bertahan karena menanti janji pengembang untuk membangunkan Kampung deret sebagai pengganti pemukiman mereka belum terlihat titik terang. 


Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah memerintahkan PT Jakarta Propertindo atau Jakpro selaku pengembang JIS untuk membuatkan Kampung Deret pada 28 Agustus 2019. Selanjutnya pada 27 Juli 2020, Jakpro menyanggupi proyek Kampung Deret itu melalui rapat konsolidasi bersama warga. Namun, belakangan, Wali Kota Jakarta Utara, Ali Maulana Hakim mengatakan kampung bayam akan dibangun dengan konsep susun. Sudah ada sebagian warga menurutnya yang masuk ke dalam program penataan di lokasi tersebut. 


Sementara Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria sendiri menyatakan bahwa dari 600 KK warga Kampung Bayam sebanyak 133 KK yang akan direlokasi ke rusun. Untuk pembangunan rusunnya sendiri ditargetkan rampung pada Oktober tahun ini. Kini masih pada tahap lelang (Akurat.co, 27/01/2022).


Artinya warga yang saat ini bertahan hidup di tepi rel kereta api mau tidak mau harus bersabar hingga proses pembangunan rusun final, yang dijanjikan bulan Oktober. Lantas bagaimana dengan nasib warga lain yang memilih tidak bertahan di area JIS? Meskipun mereka telah menerima kompensasi, namun apakah pemerintah memastikan mereka telah mendapat tempat lain yang layak? Ataukah memastikan kondisi perekonomian setiap warga yang pergi tersebut bisa stabil dan hidup dengan sejahtera? 


Nampaknya, untuk memastikan sejauh itu, pemerintah dengan sistem ekonomi kapitalismenya, mustahil dilakukan. Karena untuk mendahulukan membangun tempat tinggal yang layak untuk warga yang tinggal di tepi rel saja, tidak diupayakan. Pemerintah malah lebih dikejar deadline untuk segera merampungkan stadion kelas internasionalnya. 


Begitulah tabiat sistem saat ini, keberpihakan pemerintah bukan milik rakyat kecil. Karena rakyat kecil telah terbiasa dengan kehidupan yang pahit dan penantian yang terkhianati. Tidak ada pilihan lain bagi mereka selain bertahan dengan kondisi yang serba sulit. 


Sungguh miris. Demi merealisasikan ketamakan para investor dan orang-orang berduit, rakyat kecil yang hanya dibutuhkan suaranya saat pesta demokrasi hanya bisa pasrah. Alih-alih penguasa melakukan berbagai upaya untuk menyejahterakan seluruh rakyatnya, mereka malah ketagihan untuk terus menggarap berbagai proyek. Tidak jauh berbeda dengan proyek raksasa IKN. Di tengah pandemi, utang yang membengkak, kemiskinan belum terselesaikan, pemerintah malah sibuk dengan agenda pemindahan ibu kota. Maka di mana prioritas mereka? Tentu bukan di pihak rakyat.


Dari fakta tersebut betapa pemerintah, negara dan penguasa yang berada di tampuk kekuasaannya tidak lagi menjadikan rakyatnya sebagai hal utama yg harus diprioritaskan. Ini bukan hanya masalah figur penguasa saja, namun sekali lagi ini juga karena sistem yang berada di balik para penguasa tersebut. Sistem kehidupan yang diterapkan saat ini adalah sistem buatan manusia yang bisa dengan mudah diutak-atik sesuai kepentingan mereka. Berawal dari deal mereka dengan para oligarki saat berlomba naik kursi kekuasaan. Karena mustahil bagi para penguasa di masa sekarang, jika kampanye minim modal. Bisa pastikan ada deal di balik berhasilnya mereka naik ke tampuk kekuasaan. Hingga pada akhirnya deal itupun harus dibayar lunas sehingga para oligarki pun tidak merugi telah membiayai mereka hingga mendapat jabatan strategis. Begitulah seterusnya sehingga wajar jika rakyat terus menerus disisihkan. Dibiarkan terlantar dan hidup serba sulit. 


Demikian buruk sistem hari ini. Kapitalisme Demokrasi yang mengatur kehidupan semakin menambah beban kehidupan masyarakat kecil. Kesejahteraan dalam atmosfer kapitalisme tidak lebih dari sekadar fatamorgana.


Islam Selalu Menjadi Solusi


Jika kesejahteraan di bawah sistem kapitalisme hanyalah fatamorgana, maka di bawah naungan Islam, adalah keniscayaan. Karena Islam memilih para pemimpinnya bukan dengan jalan pemilihan umum saja tapi dengan seleksi ketat yang dilakukan wakil rakyat yang terpercaya. 


Merujuk pada aturan syariah, kualifikasi yang layak menjadi calon pemimpin hanyalah dia yang amanah, adil, mampu menjadi pemimpin, selain tentu dia diharuskan mempunyai keimanan dan kedalaman ilmu agama. Karena rujukan satu-satunya dalam sistem Islam adalah Alquran dan assunah. Ditambah ijma' shahabat dan qiyas syar'i sebagai penguat dalil-dalilnya. 


Maka ketegasan perintah Allah SWT dalam Al-quran dan tuntunan Rasulullah saw., dalam assunah mutlak menjadi setir kepemimpinan seluruh rakyat. Artinya menyejahterakan kehidupan rakyat menjadi aspek yang paling diperhatikan. Karena dalam Islam, pemenuhan kebutuhan individu yang asasi/primer seperti sandang, pangan, papan adalah tanggung jawab negara. 


Begitu pula dengan jaminan pemenuhan primer masyarakat secara kolektif yakni kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Sehingga seorang pemimpin atau penguasa dalam sistem Islam akan berupaya memastikan kebutuhan itu dulu terpenuhi sebelum ia memutuskan untuk membangun infrastruktur ataupun memindahkan ibu kota negara.


Sebagaimana Rasulullah saw yang merupakan teladan umat manusia dalam semua aspek kehidupan. Saat beliau hijrah dari Mekkah ke Madinah dan menerapkan Islam sebagai sistem kehidupan, beliau membangun kota Madinah menjadi negara yang maju. Syekh Ramadhan Al Buthi dalam bukunya, Fiqh Sirah, menuturkan ada tiga fondasi awal yang dilakukan Rasulullah untuk membangun kota Madinah. Salah satunya adalah membangun masjid. Hal ini karena masjid adalah tempat yang mempresentasikan keadilan, pusat aktivitas sosial kemasyarakatan seperti musyawarah, bahkan ekonomi (Bincang syariah.com, 28/10/2020).


Sehingga berawal dari pembangunan masjid beliau mampu membina masyarakat dan menciptakan kesejahteraan pada masyarakat Madinah. Kondisi ini terus berjalan hingga kepemimpinan beliau beralih ke pundak para sahabatnya, khualafaur rasyidin, dan para khalifah lainnya hingga berabad-abad lamanya. Meninggalkan jejak sejarah dengan megahnya berbagai arsitek, kemajuan teknologi, kesejahteraan masyarakat yang merata, para pemimpin yang mengayomi, dan lain-lain. Tak heran sejarah pun mencatat perjalanan peradaban Islam dengan penuh kegemilangan. 

Wallahu'alam bish-shawab

Oleh: Anisa Rahmi Tania



Posting Komentar

0 Komentar