Beda Tempat Kerumunan, Beda Kebijakan

 




Angka penderita Covid-19 di Kota Bogor kembali meningkat. Menurut laman daring www.m.bisnis.com, angka positif Covid-19 di Kota Bogor sebesar 2.061 pasien. 80% bergejala ringan dan sisanya harus dirawat di RS. 

Masih menurut laman daring yang sama, Bapak Walikota Bogor, Bima Arya Sugiarto, mengakui lonjakan kasus Covid-19 pada bulan Februari 2022 ini memang sempat melampaui rekor angka kasus harian varian Delta pada Juli dan Agustus 2021 lalu. Yaitu, tembus 115 kasus perhari.

Dalam data angka positif Covid 19 di Kota Bogor sebagiannya disumbang oleh warga sekolah. Dikutip dari www.republika, Pak Bima Arya menyatakan dalam kasus harian Covid-19 dari 500-an lebih yang positif, sekitar 240 orang adalah guru, tenaga kependidikan, dan siswa. Menurut beliau, sejak awal Januari 2022 jumlah warga sekolah yang tertular Covid-19 meningkat dari puluhan menjadi beberapa ratus orang. 

Akibat meningkatnya kasus positif Covid-19 di Kota Bogor, Pemkot kembali menerapkan beberapa ketentuan mengenai PPKM. Untuk kegiatan pembelajaran tatap muka kembali dihentikan. Kepala Bagian Hukum dan HAM pada Sekretariat Daerah Kota Bogor, Alma Wiranta, mengatakan SE 440/729/Huk.HAM dikeluarkan untuk mengatur terkait teknis pemberhentian PTM di semua jenjang satuan pendidikan di Kota Bogor. Menurutnya, PTM dihentikan untuk sementara di sekolah tingkat TK, SD, SMP, SMA, pondok pesantren, dan sederajatnya dengan pertimbangan khusus. (www.radarbogor.com). Ini artinya, anak-anak kembali melakukan kegiatan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di rumah.

Selain menghentikan PTM, Pemkot juga menutup tempat yang berpotensi menjadi tempat manusia berkerumun. Meningkatnya kasus Covid-19 di Kota Bogor membuat satgas kembali menutup fasilitas umum seperti taman dan area berkumpul warga. 

Salah satunya adalah pedestrian. Pedestrian SSA dekat lingkungan Istana Bogor dan Kebun Raya Bogor ditutup.  Tak hanya pembatasan di kawasan Kebun Raya Bogor, Polresta Bogor kota juga melakukan kebijakan ganjil-genap bagi kendaraan. (www.kompastv.com) 

Tapi penutupan tidak berlaku bagi kafe dan resto yang ada di Kota Bogor. Padahal, kafe dan resto pun berpotensi menjadi tempat terjadinya kerumunan. Untuk kafe hanya diberlakukan pembatasan jam buka. Menurut peraturan PPKM Level 3 di Kota Bogor, kafe boleh buka hingga jam 21.00 WIB. Faktanya, masih saja terjadi pelanggaran. Seperti kafe Adamar dan Holywings. Kedua kafe ini melanggar jam operasional dan mendapatkan sanksi denda Rp 500.000 untuk Adamar, Rp 1 juta untuk Holywings.  (www.liputan6.com) 

Tidakkah kerumunan di kafe, resto, mal, dan pedestrian atau sekolah itu sama-sama berpotensi menjadi sarana penularan Covid-19? Bukankah virus Covid-19 juga tidak mengenal jam operasional? Tapi mengapa ada perbedaan kebijakan? Tidakkah ini terkesan sebagai wujud inkonsistensi dan ketidakseriusan pemerintah dalam menegakkan aturan protokol kesehatan?

Memang jika sudah berhadapan dengan dunia usaha pemerintah seakan tak berdaya. Mau di tingkat daerah atau pun pusat. Karena sejatinya dalam sistem hidup kapitalisme demokrasi para pengusahalah yang berkuasa. Mereka bisa berinvestasi dalam kekuasaan hingga penguasa yang ditempatkan sebagai regulator saja oleh sistem ini bisa memuluskan bisnis mereka.

Pemerintah dalam sistem demokrasi seakan tersandera oleh pengusaha. Sehingga mereka tak mampu lagi untuk berlaku adil dan mengayomi rakyatnya. Karena kepentingan para pengusaha telah mendominasinya. Akibat dari politik balas budi karena telah disupport ketika meniti jalan menuju tahta penguasa.

Tentunya kita sudah lelah dengan kondisi tidak sesuai fitrah ini. Kita ingin berubah menuju kehidupan yang lebih baik bahkan terbaik. Untuk mewujudkannya kita perlu untuk kembali menerapkan sistem hidup dari yang Maha Baik. Sistem itu adalah Islam.

Dalam sistem Islam, penguasa diangkat dengan biaya murah dalam waktu yang singkat dan sesuai dengan pilihan rakyat. Hingga pengusaha tak perlu berinvestasi di dalamnya. Apalagi syarat menjadi penguasa harus merdeka. Merdeka dari intervensi atau jadi boneka pihak lain termasuk pengusaha.

Selain itu, penguasa Islam diamanahi sebagai pengurus rakyatnya. Rasulullah Saw. bersabda, "Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)

Makna raa‘in (penggembala/pemimpin) adalah “penjaga” dan “yang diberi amanah” atas bawahannya. Rasulullah Saw. memerintahkan mereka untuk memberi nasehat kepada setiap orang yang dipimpinnya dan memberi peringatan untuk tidak berkhianat. Imam Suyuthi mengatakan lafaz raa‘in (pemimpin) adalah setiap orang yang mengurusi kepemimpinannya. Lebih lanjut ia mengatakan, “Setiap kamu adalah pemimpin” Artinya, penjaga yang terpercaya dengan kebaikan tugas dan apa saja yang di bawah pengawasannya (serambinews.com, 07/07/2017). Dan amanah mengurusi umat ini akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah Swt. di akhirat kelak.

Prinsip inilah yang harus muncul ketika menangani wabah. Dalam Islam penguasa harus benar-benar berupaya sekuat tenaga mencurahkan segala potensi yang ada. Tampilnya seorang pemimpin dalam ikhtiar penyelesaian wabah merupakan bagian dari amanah Allah Swt. yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Dan pemimpin bervisi akhirat ini hanya bisa terwujud dalam sistem khilafah. Wallahu a'lam.

Oleh : Rini Sarah


Posting Komentar

0 Komentar