Lagi-lagi narkoba. Sebanyak 20 tersangka peredaran narkotika ditangkap Satuan Reserse Narkoba Polresta Bogor Kota, dalam kurun waktu satu bulan sejak Desember 2021. Dari tangan para tersangka, polisi juga menyita barang bukti berupa 2,24 kilogram sabu dan 1,4 kilogram ganja.
Kapolresta Bogor Kota, Kombes Pol Susatyo Purnomo Condro, mengungkapkan para tersangka merupakan pengedar narkoba jaringan Bogor Raya. Yakni meliputi Kota Bogor, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Cianjur. (www.republika.co.id)
Dalam kurun waktu yang tak lama hanya sebulan saja, peredaran narkoba mencapai rekor demikian. Catatan itu melengkapi data tahun 2018 lalu yang menyimpulkan Bogor darurat narkoba. (www.kotabogor.go.id). Jika melihat fakta yang ada, kasus narkoba di Kota Bogor masih menjadi PR besar bagi Pemkot dan masyarakat Bogor. Sejatinya bukan hanya untuk Bogor, tapi untuk Indonesia.
Bogor seakan tak berdaya di hadapan peredaran narkoba. Kasusnya tak kenal kata tamat alias tak selesai-selesai. Ibarat masuk labirin, pintu keluarnya sama sekali tidak terlihat. Hingga akhirnya berputar-putar saja di dalamnya.
Bogor dengan ujung tombak aparat Kepolisian sudah melakukan upaya untuk menyelesaikannya. Dari penyuluhan ke sekolah-sekolah hingga meluncurkan Kampung Tangguh Antinarkoba. Salah satu program di kampung itu adalah pembinaan bagi residivis narkoba agar tidak kembali ke jalan kelam narkoba. Pak Kapolresta pun tidak lupa menghimbau masyarakat untuk tanggap dan langsung melapor kepada aparat apabila terindikasi ada suatu daerah, orang atau barang yang mencurigakan, yang diduga peredaran gelap narkotika.
Payung hukum untuk pelaku penyalahgunaan narkoba juga sudah ada. Para tersangka penyalahgunaannya dijerat dengan Pasal 114 ayat 1 maupun ayat 2 dengan ancaman hukuman pidana mati, seumur hidup atau penjara paling singkat 6 tahun. Walaupun faktanya vonis untuk kasus narkoba lebih banyak di bui daripada dihukum mati. Apalagi untuk pengguna, mereka dianggap sebagai korban. Bukan pelaku kejahatan. Hingga cukup direhabilitasi tanpa ada hukuman.
Di lain pihak, suplai narkoba tidak dihentikan. Karena dalam sistem hidup yang dianut saat ini di Indonesia, selama ada permintaan terhadap suatu barang, apalagi kalau permintaannya besar, maka suplai akan terus berjalan. Selama barang tersebut memiliki manfaat secara materi dan ada yang menginginkannya, maka ia akan dianggap sebagai barang ekonomi. Hingga boleh diproduksi. Walaupun menurut agama Islam itu haram dan merusak bagi kehidupan. Dan, narkoba memenuhi kriteria itu semua.
Selama ada pasar, pasti ada pengedar. Meski ada pelarangan, mereka akan semakin kreatif mencari cara untuk memasarkan dagangannya. Hingga modusnya tidak terbaca lagi oleh polisi.
Para pengedar seakan menemukan media tumbuh yang kondusif di tengah masyarakat liberal individualis seperti saat ini. Walaupun Pak Kapolresta sudah menghimbau untuk lebih peduli, karakter masyarakat seperti ini ya nafsi-nafsi. Lu lu, gua gua. Apalagi ada anggapan jika berurusan dengan kepolisian itu ribet.
Sistem sanksi yang diterapkan saat ini juga tidak membuat jera dan mencegah yang lainnya untuk melakukan hal yang sama. Bisa jadi vonis terlalu ringan. Atau ada mafia peradilan. Hukum bisa diperjualbelikan. Walhasil, pengedar tak ada kapok-kapoknya. Peredaran narkoba tak ada hentinya.
Narkoba tentu harus dihentikan. Sudah tak terhitung korban berjatuhan. Bahkan sudah banyak nyawa melayang sia-sia karena narkoba. Untuk menyelesaikannya memang perlu ada penelisikan hingga landasan pemikiran terkait urusan narkoba. Karena berbagai upaya secara teknis dan yuridis sudah diterapkan. Tapi tak berbuah perubahan.
Di atas telah disinggung, bahwa ada landasan berpikir yang mengutamakan asas manfaat hingga narkoba bisa tetap diproduksi dan beredar lalu menimbulkan permasalahan penyalahgunaan dan ketergantungan terhadapnya. Asas manfaat sebagai tolok ukur memandang benda dan melakukan perbuatan ini lahir dari sistem hidup sekuler kapitalisme. Tentu saja ia bertentangan dengan sistem hidup Islam.
Dalam Islam, tolok ukur perbuatan maupun benda adalah halal haram (hukum syara). Berlaku kaidah umum bagi benda yaitu “hukum asal dari benda adalah mubah hingga ada dalil yang mengharamkannya”. Untuk narkoba ada nash yang mengharamkannya. Yaitu, hadis dengan sanad sahih dari Ummu salamah ra. bahwa Rasulullah Saw. telah melarang dari segala sesuatu yang memabukkan (muskir) dan melemahkan (mufattir). (HR Ahmad, Abu Dawud no 3686). (Saud Al Utaibi, Al Mausu’ah Al Jina`iyah Al Islamiyah, 1/700). Yang dimaksud mufattir (tranquilizer), adalah zat yang menimbulkan rasa tenang/rileks (istirkha`) dan malas (tatsaqul) pada tubuh manusia. (Rawwas Qal’ahjie, Mu’jam Lughah Al Fuqoha`, hlm. 342).
Disamping nash, haramnya narkoba juga dapat didasarkan pada kaidah fikih tentang bahaya (dharar) yang berbunyi: Al ashlu fi al madhaar at tahrim (hukum asal benda yang berbahaya [mudharat] adalah haram). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyah Al Islamiyah, 3/457; Muhammad Shidqi bin Ahmad Al Burnu, Mausu’ah Al Qawa’id Al Fiqhiyah, 1/24). Kaidah ini berarti bahwa segala sesuatu materi (benda) yang berbahaya, hukumnya haram, sebab syariat Islam telah mengharamkan terjadinya bahaya. Dengan demikian, narkoba diharamkan berdasarkan kaidah fikih ini. Karena terbukti menimbulkan bahaya bagi penggunanya. Oleh karena itu, menjadi haram untuk memproduksinya dan mengedarkannya juga.
Sanksi (uqubat) bagi mereka yang menggunakan narkoba adalah ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh Qadhi, misalnya dipenjara, dicambuk, dan sebagainya. Sanksi ta’zir dapat berbeda-beda sesuai tingkat kesalahannya. Pengguna narkoba yang baru beda hukumannya dengan pengguna narkoba yang sudah lama. Beda pula dengan pengedar narkoba, dan beda pula dengan pemilik pabrik narkoba. Ta’zir dapat sampai pada tingkatan hukuman mati. (Saud Al Utaibi, Al Mausu’ah Al Jina`iyah Al Islamiyah, 1/708-709; Abdurrahman Maliki, Nizhamul Uqubat, 1990, hlm. 81 & 98). (KH. M. Shiddiq Al Jawi dalam www.konsultasi.wordpress.com)
Untuk melaksanakan pengaturan terkait narkoba ini tentu saja perlu institusi pelaksananya. Islam mengamanahkannya kepada sebuah sistem kepemimpinan umat Islam yaitu khilafah islamiyah. Khalifah sebagai kepala negara Islam beserta perangkatnya akan menjadi pelaksana praktisnya. Mulai dari menerapkan upaya preventif dengan melarang produksi dan perdagangan narkotika, menerapkan sistem pendidikan yang mendidik manusia supaya bertakwa, mewujudkan masyarakat yang saling nasihat-menasihati dalam kesabaran dan ketakwaan, lalu menerapkan hukum sanksi Islam ketika ada pelanggaran. Insya Allah, jika semua ini telah terwujud, PR tentang narkoba bisa dituntaskan dengan baik dan diridai oleh Allah Swt.
Oleh : Rini Sarah
0 Komentar