Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri melihat bahwa negara berpotensi menjadi desphotic leviathan. (www.bisnis.tempo.co). Despotic leviathan adalah raksasa zalim yang memiliki kekuatan besar. Ia terbentuk dari kolaborasi antara kekuatan negara dengan korporasi.
Jika negara dan pasar berkolaborasi segala batasan akan menjadi bias. Hingga sering terjadi abuse of power alias menyalahgunakan wewenang ketika para pejabat menjalankan bisnisnya.
Faisal Basri melihat praktik-praktik seperti ini sudah sangat terlihat rude (kasar) di Indonesia dengan mengemukanya skandal-skandal berbau bisnis para pejabat. Hingga muncul pernyataan pesimis beliau bahwa Indonesia akan ambruk secara moral sebelum 2024.
Etika Bisnis Tak Lagi Bergigi
Dalam ekonomi kapitalisme dikenal konsep etika berbisnis. Dalam berbisnis, sejatinya penguasa diharapkan tidak merangkap menjadi pengusaha. Kalaupun latar belakangnya pengusaha seyogyanya dia mendelegasikan perannya sebagai pengusaha kepada orang kepercayaannya. Karena akan muncul benturan kepentingan pengusaha dan penguasa. Ini akan menghambat penyatuan suatu negara.
“Dulu dikenal dwifungsi ABRI, sekarang dwifungsi peran pengusaha dan penguasa. Kalau pengusaha menjadi penguasa, kapan mereka memikirkan Indonesia incorporated?" kata ekonom Christianto Wibisono saat menyampaikan tanggapan dalam acara peluncuran majalah Fortune edisi Indonesia dan seminar bisnis bertema "Etika Bisnis" di Jakarta, Selasa (27/7/2010). (www.kompas.com)
Hanya saja hal ini dirasa sulit untuk diwujudkan. Presiden Direktur Garuda Food Sudhamek AWS, mengatakan, sebagai pengusaha, dirinya tidak bisa melepaskan diri dari lingkungan sekitarnya. Sebab, pengusaha tidak terlepas dari kehidupan manusia itu sendiri yang merupakan sebuah jaringan. "Pengusaha memang harus dekat dengan pemerintah karena kehidupan adalah sebuah web (jaringan) sehingga pengusaha harus dekat dengan semua pihak," ungkapnya. (www.kompas.com). Kedekatan pengusaha dan penguasa inilah yang akhirnya melahirkan kongkalikong untuk membohongi rakyat demi sebuah keserakahan akan keuntungan.
Kongkalikong antara pengusaha dan penguasa tidak hanya terjadi pada pemerintahan Pak Jokowi saja. Sudah sejak dulu. Dulu kita mengenal konglomerasi Cina. Para taifan berkerumun di sekitar penguasa. Hingga kita melihat bagaimana kebijakan-kebijakan pemerintah begitu memihak para taifan. Hingga ketika mereka bangkut pemerintah bailout. Mereka ngemplang, pemerintah tak berani meminta pertanggungjawaban.
Para ekonom dan pelaku usaha memang mencoba untuk menangkalnya. Mereka mencoba untuk menjaga kapitalisme supaya tetap dalam treknya. Tidak dirusak oleh skandal kongkalikong pengusaha dan penguasa atau pengusaha yang merangkap menjadi pengusaha. Mereka merumuskan beberapa langkah agar merosotnya moral dalam berbisnis tidak sampai terjadi lalu menjadi parah.
Menurut Jacob Oetomo, pemimpin Gramedia Grup, sosok perusahaan itu harus mempunyai kepribadian. Kepribadian hanya bisa dicapai jika suatu usaha memiliki falsafah, sikap dasar, nilai, peran, fungsi, dan tujuan. Sekalipun analoginya beragam, prinsip moral pokok yang terkandung di dalam perusahaan media berlaku pula untuk usaha lain.
"Bisnis memang memiliki tujuan untuk mendapatkan keuntungan, menciptakan lapangan kerja, tetapi di samping itu butuh profesionalitas, tidak kolusif, dan etis. Etika merupakan bagian yang integral dari suatu usaha, juga usaha eknomi," papar Jakob.
Pembukaan UUD 1945, berbagai pidato Bung Karno, buku-buku Bung Hatta, hingga pesan-pesan Mohamad Natsir menunjukkan, Indonesia bukan sekadar ekonomi pasar, melainkan ekonomi pasar sosial. Implikasinya, etika dalam bisnis bersumber pada falsafah kemasyarakatan, kenegaraan, dan memiliki amanah yang secara moral, sosial, dan hukum sudah melekat. "Pelaku bisnis tidak bebas dari peran sosial. Implikasi uraian sikap dasar ini adalah bisnis mempunyai tujuan, motif, dan juga etika," tutur Jakob.
Tapi, rupanya semua itu sudah tidak bergigi. Seperti diakui Faisal Basri, bahwa regulasi harus diperketat lagi. Bahkan, seperti putus asa dengan regulasi, Faisal Basri mengemukan, dalam situasi seperti ini, masyarakat harus menjadi kekuatan ketiga yang membuat negara dan pasar berada di posisinya masing-masing. Artinya, negara tidak bertindak sebagai pengusaha, begitu pula sebaliknya.
Curigai Demokrasi?
Ketika terjadi hal seperti di atas tadi, seharusnya kita mencurigai tatanan pemerintahan yang selama ini kita terapkan yaitu demokrasi. Jika seperangkat hukum yang lahir dari rahim demokrasi tidak mampu mengaborsi desphotic leviathan (dalam bentuk oligarki) malah justru memberikan potensi kelahirannya, maka kita harus kembali telaah apa yang sebenarnya terjadi dalam demokrasi.
Seperti yang kita ketahui, kontestasi dalam sistem demokrasi itu mahal. Bukan rahasia lagi, bagi kandidat yang ingin bertarung dalam pesta demokrasi harus berani menggelontorkan uang dengan jumlah sangat fantastis. Disinilah para cukong bermain. Sehingga lahirlah politik transaksional berujung kongkalikong antara penguasa dan pengusaha.
Selain itu, asas demokrasi yang sekuler menapikan agama sebagai pengatur kehidupan. Peran agama (Tuhan) sebagai pembuat hukum digantikan oleh manusia. Sehingga manusia yang berkuasa bisa membuat aturan sesuai dengan keinginan tanpa batasan. Hingga mau merubah undang-undang dasar pun bisa saja dilakukan.
Seperti yang sempat heboh berpolemik di publik tentang wacana 3 periode. Seakan-akan ingin memagari kekuasaan hanya beredar pada diri dan trahnya atau partainya saja. Dan bagi sponsor, rezim saat ini bagaikan formasi “the winning team” yang sudah terjamin bisa memuluskan apa saja yang mereka inginkan. Hingga patut untuk dipertahankan.
Di sisi lain, legislatif pun sama. Kita bisa melihat DPR sebagai lembaga legislatif ditenggarai sebagai lembaga yang memuluskan kepentingan oligarki. Karena disana sudah tidak ada lagi oposisi. Semua berkoalisi agar bisa menikmati kekuasaan demi memperkaya diri. Maka, tidak heran jika terjadi peristiwa pengesahan UU kontroversial Omnimbus Law dan IKN. UU yang drafnya saja belum selesai diketik, buru-buru diketok pada dini hari. Ditenggarai ini dilakukan demi kepentingan oligarki, asing, maupun aseng. Dalam lembaga yudikatif pun sering terdengar skandal yang melibatkan pejabat-pejabatnya.
Akhirnya kita melihat fakta dalam demokrasi bahwa rezim berkuasa bisa sewenang-wenang. Mereka bisa mengendalikan hukum, aparat, dan media. Rezim berubah menjadi raksasa yang menguasai segala lini pemerintahan dan kehidupan lalu. Lalu, mereka seperti tidak tersentuh hukum pun ketika ada pihak yang coba “mengusik” maka alat rezim akan segera membungkamnya. Baik di media atau ranah hukum.
Penguasa Pengurus dan Perisai Umat
Sejatinya umat mulai sangat lelah dengan perilaku ugal-ugalan ini. Umat butuh seorang pemimpin yang bisa menjadi pengurus segala kepentingannya. Sekaligus menjadi perisai yang melindunginya. Potret pemimpin seperti ini tidak akan didapatkan dalam penerapan sistem demokrasi. Hanya dalam penerapan sistem hukum Islamlah para pemimpin seperti ini akan hadir.
Karena Islam menggariskan bahwa manusia adalah hamba dan Allah Swt. Manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya wajib untuk taat pada setiap titah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Agar manusia bisa selamat di dunia hingga akhirat sana.
Dalam Islam, pemimpin adalah pemegang amanah menerapkan seluruh hukum syara. Bukan sebagai pembuat hukum atas nama rakyatnya. Karena Islam menyerahkan kedaulatan hanya kepada Allah Swt. semata.
Semua hukum harus digali dari sumbernya yang tak diragukan kesahihannya. Yaitu, Al-Qur’an, Sunah Rasulullah saw, ijma sahabat, dan qiyas syari. Jika ada hukum yang perlu digali, Islam memberikan sebuah mekanisme yaitu ijtihad oleh para mujtahid. Bukan diserahkan pada sembarang orang. Jadi jelas, jika mekanisme ini diterapkan. Maka, kepentingan elit tidak bisa disusupkan.
Selain itu landasan beramal dalam Islam bukan kepentingan atau manfaat materi. Tetapi, halal dan haram. Pahala dan siksa. Setiap orang Islam termasuk pemimpinnya akan menjalani kehidupannya dengan paham ini. Mereka akan senantiasa termotivasi untuk taat agar mendapat pahala dan rida-Nya. Hingga lahirlah pemimpin yang amanah dan berakhlakul karimah. Dan sadar akan fungsinya sebagai penguasa.
Dalam Islam, fungsi penguasa adala gembala alias pengurus bagi segala keperluan rakyatnya. Serta menjadi perisai tempat rakyat berlindung dan berperang di belakanngnya. Bukan sebagai pengurus atau perisai dari kepentingan oligarki.
Wallahualam.
0 Komentar