Abdurrahman Al-Khaddami mengatakan, “jadi kalau kita ingin mencari identitas yang mempersatukan Nusantara secara real dan secara sukarela tanpa paksaan, ya Islam dengan Khilafahnya. Bahkan Islam itu ada pada level budaya dan bahasa, bagaimana hal itu menjadi jalinan yang tak terpisahkan antara Melayu, Jawa dan Arab yang hari ini kita terima sebagai Bahasa Indonesia, itukan muncul dari bahasa dakwah dan Pendidikan tersebut”, tegasnya dalam acara Ekspo Rajab, Rabu (23/02/2022).
Pada malam yang digelar secara daring tersebut, beliau menunjukkan kitab Ta’lim Muta’allim yang pada masa itu diserahkan kepada Khalifah Murrad, hal itu menunjukkan bahwa ada panduan Pendidikan Islam hingga bagaimana Islamisasi di berbagai wilayah melalui lembaga-lembaga Pendidikan Islam yang tentu erat kaitannya dengan kitab ini, sehingga kitab ini tanpa terduga sampai kepada kita hari ini yang tidak lain melalui jaringan ulama Haramain, yaitu ulama mekkah dan Madinah yang berkaitan dengan ulama Jawi, ulama Nusantara.
Beliau melanjutkan, “karena ada sebuah ungkapan yang memang dipakai oleh salah satu ulama besar Nusantara kaum muslimin, Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani bahwa kitab ini diakui sebagai Ruhnya Pendidikan Islam di Nusantara dan sebagai rujukan di lembaga khusus para Sultan Utsmani, sehingga akhirnya Penulis Syara ini lebih memperluas, dengan demikian kitab ini sampai kepada kita”, ungkapnya
“Dengan demikian, Islamisasi di Nusantara tidak terlepas dari peran Khilafah Utsmani dalam memberikan panduan Pendidikan Islam, yang mana sanad keilmuannya terbukti masih ada dan popular hingga saat ini, maka kita saksikan sanad tersebut masih digunakan di pesantren-pesantren, madrasah-madrasah dan majelis-majelis. Ini adalah bukti dan jejak bahwa bagaimana Khilafah Utsmani ini memberikan hitmah melalui jaringan dakwah Mekkah ini karena posisi mekkah pada saat itu adalah ke-gubernur-an Utsmani sehingga bagaimana ulama-ulama Nusantara belajar disana, bermukim, dan sebagian pulang”, jelasnya
Beliau menunjukkan buku kedua, yaitu kitab Syarah Mukhtasar Jiddan yang ditulis oleh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, guru dari Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani, “Jadi ini tulisan dari gurunya guru ulama Nusantara. Yang ingin saya garis bawahi adalah Sayyid Ahmad Zaini Dahlan itu adalah mufti hijaz, bukti resmi Khilafah Utsmani sebagai pembela utama Khilafah Utsmani atau garda terdepan Utsmani khususnya di masa Khalifah Abdul Hamid ke-II. Maka, kitab-kitab beliau yang kita rujuk untuk mengetahui sejarah Utsmani pada masa itu”.
Jadi tidak aneh kalau kemudian spirit itu sampai kepada murid-muridnya, ini contoh bahwa sanad yang tersimpul yang bermuara kepada Sayyid Dahlan sebagai bukti bagaimana pejabat-pejabat Utsmani terlibat dalam Islamisasi di Nusantara. Ini juga menjadi jawaban bagi kita, terlepas dari jasa besar Wali Songo, yang jelas yang hari ini kita masih bisa membaca kitab-kitabnya, mempelajari sanad ilmu dan sebagainya, tidak lain adalah ajaran sanad ini. Dengan demikian, ini membuat kita semakin yakin bahwa sanad ini menunjukkan hubungan erat dengan Khilafah Utsmani sekaligus sebagaimana Khilafah berperan dalam menerapan Syariah, memperkuat ukhuwah dan juga dakwah.
Herannya, “para peng-klaim ilmu di Nusantara menentang suatu yang diemban oleh para pendahulu mereka, kerja keras mereka yang kita nikmati, tapi memusuhi pandangan politik mereka bahkan ada orang yang mengaku sebagai pemilik sanad Nusantara tidak mengakui Utsmani sebagai Khilafah dan mengatas-namakan Mahzab Syafi’i yang menjadi Mahzab utama Nusantara, menentang ajaran Khilafah, padahal ternyata ajaran khilafah ini sesuai dengan fiqih Syafi’i, itu adalah anehan yang luar biasa”, lanjutnya.
Dalam closing statement pada malam Ekspo Rajab tersebut, beliau mengatakan, “Jadi karena memang sanad keilmuan kita ini berkaitan dengan Khilafah, sangat disayangkan jika kemudian keislaman kita ini dilepaskan dari Khilafah, artinya dari jalur ulama Nusantara ini kita harusnya menjadi pengemban Khilafah, sebagai contoh misalnya dari kitab-kitab Nusantara, kitab Tijan Darori yang kemudian disyarahkan oleh Syekh Nawawi al-Bantani dari risalahnya Imam al Bajuri Azhar disebutkan masa sebaik-baiknya adalah masa Rasullullah kemudian masa para sahabat khulafaur Rasyidin Al-Khilafah, Al-Khilafah adalah pengganti Nabi Shallallahu ala Muhammad dan keumuman kemaslahatan orang-orang dan perlu digaris bawahi bahwa setiap kitab sanad itu tidak keluar dari bahasan yang sama. Artinya bahwa Khilafah itu ajaran Islam, Khilafah itu mukhtamat mukhtamar, mukhtamat hatta indah ulama al jawi, tidak lain adalah ijma sahabat nabi”, tutupnya.
Reporter : Siti Nurbaiti U.
0 Komentar