Filosofi Ideologis Sebuah Ibu Kota Negara

 


Polemik seputar rencana pemindahan ibu kota negara (IKN) Indonesia ke Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur masih saja hangat bergulir di masyarakat.  Wacana pemindahan IKN ini pertama kali disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2017, TEMPO.CO 30/4/2019. Namun gagasan pemindahan ibu kota negara ini sesungguhnya telah ada sejak era pemerintahan Soekarno, dan selalu muncul di hampir setiap era presiden. 

Tahun 1965 Soekarno saat menjabat sebagai Presiden RI mewacanakan pemindahan IKN ke Palangka Raya. Saat Soeharto menjabat presiden, ia mengusulkan pemindahan IKN ke Jonggol, Bogor. Rencana pemindahan IKN kembali hangat dibicarakan di era SBY, di tahun 2010. Sementara di era kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo, rencana pemindahan IKN dibahas kembali. 

Joko Widodo awalnya menawarkan tiga opsi. Pertama, ibu kota tetap di Jakarta, tetapi dibangun distrik khusus untuk pemerintahan di Istana dan Monas. Opsi kedua, ibu kota berada di kawasan Jabodetabek. Sedangkan opsi ketiga, ibu kota dipindahkan ke wilayah lain di luar Pulau Jawa. Joko Widodo kemudian memilih opsi ketiga. Menurutnya, ini terkait dengan faktor kepadatan penduduk yang tinggi di Pulau Jawa, ancaman banjir dan tingkat pencemaran yang tinggi di Pulau Jawa, TEMPO.CO 29/4/2019. 

*Filosofi Sebuah Ibu Kota Negara*

Terlepas dari soalan perlu tidaknya Indonesia pindah ibu kota negaranya dan anggaran biaya perpindahannya yang memberatkan APBN, penting disorot juga adalah terkait filosofi hakiki sebuah ibu kota negara. Hal ini karena sebuah negara sesungguhnya memiliki esensi terkait berdirinya negara tersebut. Sebuah negara pasti memiliki visi, misi dan tujuan bernegara. Lebih jauh lagi, sebuah negara pasti merupakan bagian dari peradaban dunia. Sementara ibu kota adalah representasi dari sebuah negara. 

Karena ibu kota adalah representasi sebuah negara, maka pendiriannya tentu tidak bisa lepas dari ideologi yang dianut oleh negara tersebut. Hal ini karena ideologi adalah pandangan hidup sebuah bangsa yang tinggal dalam sebuah negara. Pandangan hidup ini, meliputi bagaimana sebuah bangsa memandang tentang kehidupannya. Pandangan hidup ini juga meliputi bagaimana filosofi sebuah bangsa dalam mengatasi problematika yang dialami dengan berbagai solusi. Kemudian, aspek berikutnya dari sebuah ideologi adalah terkait erat dengan metode penyebaran ideologi tersebut ke seluruh dunia.

Terkait ketiga aspek tersebut, maka peran ideologi menjadi penting dalam konteks pembangunan sebuah ibu kota negara. Hal inilah yang kemudian bisa menjawab berbagai pertanyaan yang muncul terkait perpindahan IKN. Contohnya, ke mana IKN akan dipindahkan? Mengapa dipindahkan ke sana? Apa yang akan dilakukan di IKN baru tersebut? Perlukah IKN dipindahkan? Berapa dan dari mana anggaran biaya perpindahan IKN? Dan lain-lain. Semua pertanyaan itu akan terjawab tuntas dengan berdasarkan ideologi Islam.

Pertanyaan yang paling sering muncul dan dibahas terkait perpindahan IKN ini adalah mengapa IKN dipindahkan ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, berapa dan dari mana anggaran biaya yang diperlukan dan perlukah IKN Indonesia dipindahkan. Pemilihan Kabupaten Penajam Paser Utara sebagai tempat akan didirikannya IKN baru banyak menimbulkan pro-kontra. Hal ini karena, jika ingin menghindari banjir dan banyaknya pencemaran alam seperti di Jakarta dan Pulau Jawa, maka apakah Penajam Paser Utara adalah wilayah yang tepat? 

Dilansir dari Antara pada 13/1/2022, banjir kembali melanda dua kecamatan di Penajam Paser Utara pada Rabu 12/1/2022. Pemicunya adalah karena hujan lebat, kata Nurlaila, Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Sungai di Karang Jinawi meluap karena curah hujan yang tinggi, kemudian merendam Desa Karang Jinawi, sehingga warganya harus mengungsi. Seperti inikah wilayah yang tepat untuk dibangun IKN baru, untuk menghindari Jakarta yang sering kebanjiran?

Sedangkan terkait pencemaran alam, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyampaikan bahwa lokasi IKN baru selama ini merupakan sumber air bagi wilayah di sekitarnya, yaitu Balikpapan, Kecamatan Samboja, Kecamatan Muara Jawa, Kecamatan Loa Kulu dan bagian Selatan Samarinda. Sehingga jika Penajam Paser Utara dijadikan IKN, maka akan mengancam tersedianya sumber air bagi wilayah-wilayah tersebut.

Walhi juga menurunkan pernyataan, bahwa flora dan fauna di Kalimantan Timur juga dapat terancam ekosistemnya akibat dibangun IKN baru. Hal ini karena, banyak flora dan fauna di sana merupakan penunjang fungsi ekosistem yang luas. Seperti ekosistem mangrove seluas 2.603,41 hektar yang juga akan terancam. Di samping itu menurut penelitian, lokasi IKN baru juga rentan terhadap pencemaran minyak. Pencemaran ini berimbas pada penurunan nutrien pada kawasan pesisir dan laut. 

Selain itu, banyaknya konsesi tambang dengan lubang-lubang tambangnya yang terbuka juga meningkatkan risiko pencemaran air tanah dan permukaan tanah. Hal ini karena, 162 konsesi tambang, perkebunan kelapa sawit, kehutanan dan PLTU batu bara ada di atas wilayah seluas 180.000 hektar (setara tiga kali luas DKI Jakarta), lokasi IKN baru tersebut. Apakah kondisi wilayah yang demikian adalah tepat untuk IKN baru yang dibangun dengan dalih menghindari wilayah yang tercemar alamnya?

Konteks terkait ideologi yang dianut Indonesia berperan penting di sini. Hal ini karena, filosofi pembangunan IKN baru nyata-nyata tidak bisa terlepas dari kerakusan para oligark, perusahaan-perusahaan multi nasional asing dan pemerintah sebagai komprador mereka. Proyek pembangunan IKN terbukti sarat dengan upaya mengeruk keuntungan yang luar biasa besar bagi karung-karung uang mereka. Tercatat di awal 2020 saja sudah ada 30 investor dari dalam dan luar negeri yang tertarik berinvestasi di proyek pembangunan IKN baru ini, Kompas.com 26/2/2020.

Disamping membebani APBN hingga Rp. 1.470 triliun, keberadaan IKN baru di Kalimantan Timur ini digadang-gadang akan menjadi bagian dari proyek OBOR atau BRI China. China yang ambisius dalam menggolkan proyek ini bercita-cita menciptakan borderless di kawasan Asia, Eropa dan Afrika. Tentu ini untuk keuntungan negaranya sendiri. 

Indonesia seharusnya waspada karena disamping kedaulatan wilayahnya terancam, posisi IKN baru juga tidak terlindungi. Posisi IKN baru sesungguhnya berhadapan langsung dengan Laut China Selatan, Aliansi Pertahanan FPDA The Five Power Defense Arrangement Malaysia dan Aliansi AUKUS Australia, Inggris dan Amerika Serikat. Dapat diperkirakan kondisi berbahayanya bukan? Namun ideologi Kapitalisme yang dianut Indonesia memang terbukti membuka peluang bagi terciptanya semua kondisi bahaya dan problematika carut marut yang terjadi. Semua kondisi dan problematika itu, rakyatlah yang merasakan akibatnya.

*Lintas Sejarah Perpindahan IKN dalam Sejarah Islam dan Filosofinya*

Pemindahan IKN meski bukan hal baru, tak pelak memerlukan pemikiran yang matang dan merupakan pekerjaan yang tidak ringan. Banyak pertimbangan yang harus ditelaah secara mendalam untuk menetapkannya. Semua pertimbangan itu tentu tidak terlepas dari ideologi yang dianut negara. Sejarah mencatat, sepanjang rentang Kekhilafahan Islam lebih dari 13 abad, telah dilakukan 12 kali perpindahan IKN. Yatsrib, yang kemudian diganti namanya menjadi Madinah al-Munawwarah adalah ibu kota pertama Daulah Islam. Madinah adalah wilayah agraris yang sangat strategis dikelilingi taman dan kebun kurma yang sangat subur.

Kemudian Ali bin Abi Thalib memindahkan ibu kota negara ke Kuffah di Iraq, saat menjabat sebagai khalifah. Sebelumnya, Irak memang sudah menjadi daerah yang sangat indah dan makmur. Perpindahan IKN ini tujuannya untuk memudahkan pengurusan birokrasi dan administrasi wilayah Kekhilafahan yang semakin luas.  Kemudian saat Mu’awiyah bin Abi Sufyan menjadi Khalifah, ia memindahkan IKN ke Damaskus di Suriah.

Khalifah Marwan II (Khalifah terakhir Bani Umawiyyah), kemudian menjadikan Harran (Mesopotamia Utara) menjadi tujuan perpindahan IKN. Harran adalah daerah subur diantara Sungai Tigris dan Eufrat. Di era pemerintahan Abul Abbas as-Saffah (Bani Abbaasiyah), IKN kembali ke Kuffah, tetapi 12 tahun kemudian dipindahkan ke Baghdad. Pertimbangannya, karena Baghdad lokasinya sangat strategis bagi negara, dan dihuni oleh banyak ilmuwan. Di sanalah kemudian dibangun banyak pusat kajian ilmu pengetahuan sehingga Kekhilafahan Islam kemudian menjadi mencusuar ilmu pengetahuan di dunia.

Pada masa Kekhilafahan Bani Utsmaniyah di tahun 1517, Sultan Selim I, cucu dari Muhammad al-Fatih memindahkan IKN ke Konstantinopel (Turki). Konstantinopel adalah kota yang terkenal dengan tata kotanya sangat baik, dan benteng-bentengnya yang kuat. Di sinilah kemegahan Kekhilafahan Islam tampak semakin cemerlang dan mengagumkan di seluruh dunia. Hal ini bahkan diakui dan dipuji oleh banyak negara yang memusuhi Islam. Pemindahan IKN jika dilandasi dengan ideologi yang sahih, maka akan mendatangkan kebaikan bagi Islam dan kaum Muslimin.

Di sinilah pentingnya filosofi ideologis yang berdasarkan Islam menjadi landasan bernegara. Semua fikrah dan thariqah yang sahih akan dihasilkan dari ideologi Islam. Segala cara pandang, dan kebijakan yang terbaik akan terlahir dari Ideologi yang bersumber dari al-Khaliq ini. Sebagaimana yang telah Allah firmankan dalam Surah al-An’am ayat 115, artinya: “Telah sempurnalah kalimat Rabb-mu sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” []

Oleh Dewi Purnasari 




Posting Komentar

0 Komentar