Ilusi Kapitalisme Dalam Mewujudkan Swasembada Pangan




Indonesia merupakan negeri kaya raya yang memiliki tanah yang subur. Begitu besar potensi yang dimiliki negeri yang dikenal dengan sebutan Zamrud Khatulistiwa, seharusnya seluruh rakyatnya hidup dalam kesejahteraan dan kemakmuran. Namun sayangnya, fakta berbicara lain. Negeri ini rentan dengan krisis pangan yang terus terjadi dan menjadi permasalahan kronis yang tak kunjung terselesaikan.

Baru saja rakyat mengalami kelangkaan minyak goreng, dan kini harus mengalami kehilangan tahu dan tempe. Dua makanan yang menjadi menu wajib kesukaan masyarakat yang senantiasa dikonsumsi setiap hari. Dilansir Republika.co.id, 14/02/2022, sejumlah pengrajin tahu tempe se-Jabodetabek berencana mogok produksi massal pada 21 Februari sampai sepekan kedepan. Ini dikarenakan harga kedelai yang tengah meroket menyentuh angka Rp 11.600/kg, yang seharusnya harga standarnya Rp 9.000 sampai Rp 9.500/kg.

Mogok massal ini dilakukan untuk menekan laju harga kedelai yang semakin tinggi. Hal ini tentu memberatkan pelaku usaha UMKM, terutama pengrajin tahu dan tempe. Dengan mogok massal ini juga diharapkan akan ada kestabilan harga kedelai serta pendistribusian kedelai yang kembali ditangani oleh pemerintah. Walaupun pemerintah mengarahkan kepada pengrajin tahu dan tempe untuk tetap berproduksi dengan menaikkan harga dan memperkecil ukuran tahu dan tempe. Kenaikan harga tahu dan tempe ini akan berimbas pada masyarakat yang hanya mampu mengkonsumsi makanan tersebut untuk memenuhi asupan protein 

Pemkot Bogor melakukan upaya antisipasi dalam mensiasati harga kedelai yang tinggi. Dengan melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat dan pihak jalur distribusi agar bahan baku tahu tempe bisa normal kembali. Meskipun membutuhkan waktu. Selain itu, pemkot Bogor akan menggencarkan kedelai lokal yang digarap serius oleh petani agar dapat memenuhi kebutuhan warganya. 

Berbagai opini berkembang di tengah masyarakat yang menjadi penyebab meningkatnya harga kedelai. Ketua Pusat Kopti DKI Jakarta Sutarto, menjelaskan kenaikan harga kedelai tersebut karena Indonesia masih ketergantungan impor kedelai dari Amerika Serikat. Kedelai sudah menjadi barang komoditas yang diimpor oleh swasta. Mekanisme pasar bebas melekat pada perdagangan kedelai, sementara kebutuhan dalam negeri terhadap penggunaan kedelai cukup tinggi. (Merdeka.com, 20/02/2022)

Di sisi lain pemerintah berdalih mahalnya harga kedelai disebabkan kurangnya suplai dari negara-negara produsen seperti Argentina yang mengalami gagal panen akibat La Nina. Sementara permintaan kedelai sangat tinggi, khususnya dari Cina yang menjadikan kedelai sebagai pakan babi yang jumlahnya mencapai lima milyar. 

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa keran impor dibuka seluas-luasnya oleh penguasa saat ini. Hampir semua kebutuhan masyarakat bergantung pada impor, sehingga inilah yang menyebabkan kenaikan harga yang senantiasa terjadi. Padahal di masa kampanyenya penguasa berjanji untuk mewujudkan kemandirian ekonomi dengan mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan yang tertuang dalam nawacita. 

Namun, selama kepemimpinannya justru negeri ini senantiasa mengalami krisis pangan dan menjadikan impor sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Nawacita hanyalah tinggal janji yang tak pernah terealisasi hingga kini. Bahkan dengan masifnya impor, petani di negeri ini yang menjadi korban. Dikala petani sedang panen, barang impor datang dan menguasai pasar dengan harga yang murah. Petani tidak mampu bersaing dengan barang impor dan hanya bisa gigit jari dan mengelus dada melihat kezaliman penguasa terhadap rakyatnya. 

Maka wajarlah jika Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia sebagai negara terbesar pengimpor pangan. Padahal Indonesia sebagai negara agraris mampu menghasilkan kedelai sendiri. Namun potensi yang besar ini diabaikan dan tidak memprioritaskan stok pangan dengan memberdayakan potensi pertanian di negeri ini. Tetapi justru penguasa lebih memilih impor dengan alasan kualitas barang impor lebih baik dibanding kualitas dalam negeri.

Ketergantungan pangan di negara ini mengakibatkan hilangnya kedaulatan negara, sehingga negara dengan mudah dijajah dan dikuasai. Fakta ini membuktikan bahwa cengkeraman kapitalisme dan keterikatan Indonesia dalam perjanjian internasional, mengubah Indonesia menjadi negara yang tidak mandiri yang selalu bergantung pada pangan luar negeri.

Berbeda halnya dengan sistem Islam kafah yang mampu mewujudkan kemandirian pangan. Dalam pandangan Islam, pangan adalah hal yang krusial sehingga negara tidak boleh bergantung pada negara lain. Negara seharusnya memberi subsidi yang besar bagi petani agar mereka dapat memproduksi pangan. Biaya produksi ringan dan keuntungan besar.

Politik pertanian dalam sistem Islam mengacu pada peningkatan produksi pertanian dan distribusi pangan yang adil. Di antara kebijakan yang diambil jika negara mau menerapkan sistem Islam adalah pertama, menghentikan impor dan memberdayakan sektor pertanian. Dalam sistem kapitalis lahan pertanian justru digusur dan diganti dengan sektor industri. Akibatnya Indonesia banyak kehilangan lahan pertanian yang sejatinya sangat cukup untuk mewujudkan swasembada pangan.

Kedua, kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Intensifikasi dilakukan dengan meningkatkan produktivitas lahan yang sudah tersedia. Negara dapat mengupayakan dengan penyebarluasan teknologi budidaya terbaru di kalangan petani. Membantu pengadaan mesin-mesin pertanian, benih unggul, pupuk serta sarana produksi pertanian lainnya. Perkembangan iptek ini sangat penting, agar negara mampu secara mandiri melakukan produktivitas pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Bukan malah meliberalisasi sektor pertanian untuk kepentingan industri asing.

Negara tidak boleh melakukan ekspor pangan sampai kebutuhan pokok setiap individu terpenuhi dengan baik. Negara harus memberikan modal kepada siapa saja yang tidak mampu. Hal ini pernah dilakukan oleh khalifah Umar bin Khattab yang memberikan modal kepada petani di Irak dari baitul mal (kas negara). Agar para petani tersebut mampu mengarap tanah pertanian dan untuk memenuhi hajat hidup mereka tanpa meminta imbalan sedikit pun. Selain itu, negara juga memberikan fasilitas pengairan kepada para petani untuk mengairi sawah-sawah mereka secara gratis. Karena air adalah milik umum dan air sesuatu yang penting untuk irigasi pertanian. 

Adapun ekstensifikasi dilakukan dengan menghidupkan lahan-lahan baru dan menghidupkan lahan mati. Menghidupkan tanah mati artinya siapa saja yang mengelola tanah dan siap menanaminya, maka tanah tersebut menjadi hak milik orang yang telah mengelolanya. Rasulullah bersabda, ”Barang siapa yang mengelola/menghidupkan tanah mati, maka tanah itu adalah miliknya” (HR Bukhari, Tirmidzi dan Abu Dawud).

Setiap orang yang memiliki tanah maka ia harus mengelolanya. Siapa saja yang membutuhkan biaya untuk mengelola tanahnya, negara akan memberikan modal dari kas negara, sehingga ia dapat mengelola lahannya secara optimal. Namun apabila tanah tersebut tidak dikelola selama tiga tahun, maka hilanglah hak kepemilikan terhadap tanah tersebut.

Selain itu, Islam melarang adanya penimbunan barang dan permainan harga di pasar. Dengan mekanisme tersebut stabilitas harga akan terjaga. Negara juga akan memastikan tidak adanya kelangkaan barang, akibat larangan Islam menimbun barang. Kebijakan distribusi pangan dilakukan dengan melihat kebutuhan setiap orang, dengan begitu akan diketahui berapa banyak kebutuhan yang harus dipenuhi negara untuk setiap keluarga.

Dengan menerapkan politik pertanian dalam Islam, akan sangat mudah mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan negara. Hal ini tak lepas ditopang oleh sistem ekonomi Islam dalam memenuhi kebutuhan rakyat dari hulu hingga hilir, semua demi kemaslahatan rakyat. Sudah sangat jelas bahwa keberadaan sistem kapitalis sekuler hanya mampu menciptakan kerusakan dan kesengsaraan. Masihkah kita berharap dengan sistem tersebut, sementara sudah ada sistem alternatif yang layak untuk menggantikannya, yakni sistem khilafah. Wallahua'lam.


Oleh: Siti Rima Sarinah






Posting Komentar

0 Komentar