Polemik JHT memang harus segera diakhiri dengan mengganti sistem kapitalis yang merupakan sumber utama konflik ini dan menggantinya dengan sistem Islam. Sebagai sebuah sistem, Islam memiliki mekanisme tertentu dalam mengatur berbagai urusan masyarakat. Semua aturan dan mekanisme yang diterapkan tentulah harus merujuk pada landasan dalil yang ada dan tidak boleh bercampur dengan hasrat dan hawa nafsu manusia. Termasuk dalam persoalan jaminan untuk para pekerja.
Pandangan Islam terhadap Upah
Upah dalam sistem Islam ditetapkan berdasarkan nilai manfaat yang diberikan pekerja kepada pemberi kerja, tanpa melihat apakah upah itu mencukupi kebutuhannya ataupun tidak. Besaran upah ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pihak pekerja dan pemberi kerja. Mereka dapat merujuk pada pendapat ahli ketenagakerjaan mengenai jumlah yang sesuai dengan harga pasar tenaga kerja. Jadi upah pekerja antar sektor dan antar profesi akan berbeda-beda dan relatif berbeda.
Di sisi lain penetapan upah tidak boleh didasarkan pada harga barang dan jasa. Sebab hal itu akan mengakibatkan upah naik-turun sewaktu-sewaktu. Jika harga turun, pendapatan pekerja akan turun. Dalam kondisi ini pekerja akan rugi karena dia akan menerima upah yang bisa jadi lebih rendah daripada manfaat yang dia berikan. Sebaliknya, ketika harga naik, upah pekerja menjadi semakin besar. Kondisi ini cenderung merugikan pemberi kerja.
Begitu pula upah pekerja juga tidak dapat didasarkan pada nilai kebutuhan dasar pekerja, atau yang dikenal dengan istilah upah minimum, baik provinsi, kabupaten/kota, dan sektoral. Sebab dalam pandangan Islam, pemenuhan kebutuhan dasar merupakan tanggung jawab negara atas rakyatnya dan bukan tanggung jawab pengusaha.
Jika hal ini dibebankan pada pemberi kerja maka ini merupakan bentuk kezaliman. Sebab, bisa jadi manfaat yang diberikan oleh seorang pekerja lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan hidupnya. Jadi upah tersebut akan merugikan pemberi kerja. Sebaliknya, jika manfaat yang diberikan pekerja jauh lebih besar daripada kebutuhan hidup dasarnya, maka akan cenderung merugikan pekerja.
Atas dasar inilah, penetapan upah menurut pada ahli fikih dalam Islam didasarkan pada manfaat yang diberikan pekerja kepada pemberi kerja, baik manfaat itu lebih besar daripada kebutuhan hidup atau lebih rendah daripada kebutuhan hidup pekerja tersebut.
Upah adalah hak pekerja. Dan Islam memerintahkan menunaikan upah sebelum keringat pekerja kering. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi SAW bersabda,
أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
“Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, shahih).
Hadits ini mengisyaratkan agar pemberi kerja bersegera menunaikan hak pekerja setelah selesainya pekerjaan. Dalam kitab Faidhul Qodir, imam Al Munawi berkata, “Diharamkan menunda pemberian upah padahal mampu menunaikannya tepat waktu. Yang dimaksud memberikan upah sebelum keringat pekerja kering adalah ungkapan untuk menunjukkan diperintahkannya memberikan gaji setelah pekerjaan itu selesai ketika pekerja meminta walau keringatnya tidak kering atau keringatnya telah kering.”
Dalam hadits lain Rasulullah saw bersabda
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ
“Menunda penunaian kewajiban (bagi yang mampu) termasuk kezholiman” (HR. Bukhari Muslim)
Berdasarkan hadits ini menunda pemberian upah pada pekerja padahal mampu termasuk kezholiman. Bahkan orang seperti ini halal kehormatannya dan layak mendapatkan hukuman, sebagaimana sabda Nabi SAW
لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ
“Orang yang menunda kewajiban, halal kehormatan dan pantas mendapatkan hukuman” (HR. Abu Daud, An Nasa-i, dan Ibnu Majah).
Berdasarkan hadits ini maka penangguhan Jaminan Hari Tua (JHT), yang notabene adalah uang tabungan para pekerja untuk hari tuanya, adalah salah satu bentuk kedzaliman. Pelakunya layak mendapat hukuman. Bahkan jika selalu menunda-nunda, maka syariat Islam memperbolehkan pekerja memintanya dengan perkataan yang keras, karena ia adalah seorang yang mempunyai hak.
Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - يَتَقَاضَاهُ ، فَأَغْلَظَ ، فَهَمَّ بِهِ أَصْحَابُهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « دَعُوهُ فَإِنَّ لِصَاحِبِ الْحَقِّ مَقَالاً »
“Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Seseorang pernah mendatangi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menagih hutang dan berkata keras (kepada beliau), maka para shahabat ingin memukulnya, lalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Biarkan dia, karena seorang yang mempunyai hak berhak untuk berkata-kata.” (HR. Bukhari)
Islam Menjamin Kebutuhan Pokok Rakyat
Benar jika dikatakan upah pada pekerja tidak didasarkan pada nilai kebutuhan dasar pekerja, atau yang dikenal dengan istilah upah minimum, baik regional maupun sektoral. Sebab Islam telah menyiapkan mekanisme lain untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok individu dan masyarakat. Islam telah memberikan serangkaian hukum syariah untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok berupa pangan, papan dan sandang bagi tiap individu rakyat dengan mekanisme langsung dan tak langsung; oleh laki-laki, keluarga, masyarakat dan negara.
Jaminan pemenuhan kebutuhan pokok oleh negara adalah mekanisme tertentu yang didasarkan pada nas-nas syariah untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya. Mekanisme itu bisa dilihat dari nas-nas syariah yang berkaitan dengan kewajiban memberikan nafkah.
Pertama, Islam menjadikan al-kasb (usaha) mencari rezeki sebagai kewajiban bagi setiap orang yang mampu berusaha (laki-laki/suami) untuk menopang kebutuhan pokok dirinya dan orang yang berada di bawah tanggung jawabnya.
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوْتُ
”Cukuplah seseorang itu dianggap berdosa (bila) menelantarkan orang yang wajib ia beri makan” (HR Abu Dawud).
Kedua, jika laki-laki/suami ini tidak ada atau tidak mampu, kewajiban itu melebar kepada kerabat laki-laki/suami itu. Jika tidak ada kerabat yang mampu atau ada kerabat, tetapi tidak mampu, kewajiban itu beralih kepada negara/baitul mal.
مَنْ تَرَكَ مَالاً فَلِأَهْلِهِ وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَإِلَىَّ وَعَلَىَّ
“Siapa saja yang meninggalkan harta, itu untuk keluarganya. Siapa saja yang meninggalkan utang atau tanggungan, itu urusanku dan kewajibanku” (HR Muslim).
Orang yang tidak mampu atau lemah (al-‘ajiz) menurut syariah ada dua macam. Pertama, orang yang secara fisik memang benar-benar tidak mampu berusaha. Kedua, lemah secara hukum, yakni orang yang sanggup bekerja, tetapi tidak mendapatkan pekerjaan.
Ketentuan yang terkandung di dalam nas-nas di atas merupakan mekanisme yang dijalankan oleh Negara Khilafah dalam memenuhi kebutuhan pokok setiap individu masyarakat. Nafkah bagi wanita secara mutlak serta laki-laki lemah wajib ditanggung oleh suami maupun ahli warisnya. Jika mereka tidak ada, atau tidak memiliki kesanggupan, nafkah ditanggung oleh negara. Mekanismenya bisa diambilkan dari pos zakat. Jika tidak cukup, bisa diambilkan dari harta milik negara dan harta milik umum.
Ketiga, jika semua mekanisme itu belum mencukupi, barulah beralih menjadi fardhu kifayah atas seluruh muslim yang kaya. Dalam hal ini, Islam memberikan wewenang kepada khalifah untuk menetapkan pungutan wajib atau dharibah (pajak) yang besarnya sesuai kebutuhan, tidak lebih. Dipungut dari setiap Muslim yang kaya.
Dengan semua mekanisme itu, pemenuhan kebutuhan pokok dan asasi untuk tiap individu rakyat akan benar-benar bisa direalisasikan melalui penerapan syariah Islam. Artinya para pekerja, jika upah yang mereka dapatkan tidak cukup memenuhi kebutuhan pokoknya, maka mereka juga punya hak untuk mendapatkannya dari negara. Sebaliknya jika kebutuhan pokoknya sudah terpenuhi, maka upah yang didapatkan bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan sekunder bahkan tersiernya.
Inilah mekanisme Islam dalam memenuhi kebutuhan pokok tiap-tiap rakyat. Adapun terkait kebutuhan akan keamanan, kesehatan dan pendidikan, maka Islam mewajibkan negara untuk menyediakan semua itu bagi masyarakat.
كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ،
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Amir (kepala Negara), dia adalah pemimpin manusia secara umum, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas mereka.” (HR al-Bukhari).
Jaminan atas keamanan termasuk kewajiban utama negara. Negara wajib menyediakan keamanan dan rasa aman bagi seluruh rakyat. Negara akan kehilangan sifat entitasnya jika tidak bisa menyediakan keamanan dan rasa aman.
Jaminan kesehatan dan pengobatan juga merupakan kewajiban negara untuk seluruh rakyat. Klinik dan rumah sakit merupakan fasilitas publik yang dibutuhkan oleh rakyat dalam hal pelayanan kesehatan dan pengobatan. Dengan demikian pengobatan dan pelayanan kesehatan secara substansinya merupakan kemaslahatan dan fasilitas untuk rakyat.
Adapun jaminan pendidikan, hal ini tampak jelas sebagai kewajiban negara. Tindakan nyata Rasul saw.—sebagai kepala negara—yang menjadikan tebusan tawanan perang dari kaum kafir dengan mengajari baca tulis sepuluh anak kaum Muslim merupakan dalil sekaligus kebijakan yang diambil Rasul untuk menjalankan kewajiban ini.
Semua itu tentu merupakan tuntunan sekaligus tuntutan syariah Islam. Karena itu penerapan seluruh syariah Islam tidak bisa ditawar-tawar. Hal itu hanya bisa diwujudkan di bawah sistem yang dicontohkan dan ditinggalkan oleh Nabi saw., lalu dilanjutkan oleh khulafaur rasyidin dan generasi selanjutnya. Itulah sistem Khilafah ar-Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Inilah yang harus diperjuangkan oleh—sekaligus menjadi tanggung jawab—seluruh umat Islam. Wallahua’lam.
Penulis: Kamilia Mustadjab
0 Komentar