Istana Bogor Terima Pimpinan ADB, Bangga Apa Bahaya?



Bapak Presiden, Joko Widodo, menerima Pimpinan Asian Development Bank (ADB) di Istana Kepresidenan Bogor pada 18 Februari 2022. Pimpinan ADB yang datang bertemu Presiden adalah Presiden ADB Masatsugu Asakawa, Excutive Director Representing Indonesia Arif Baharudin, dan Country Director ADB Indonesia Resident Mission Jiro Tominaga.

Menurut keterangan secara tertulis yang disampaikan oleh Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa yang hadir dalam pertemuan, ADB menyampaikan pujiannya untuk Indonesia. Mereka menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi negeri zamrud khatulistiwa termasuk yang amazing. Meskipun pertumbuhan sepanjang tahun lalu 3,7 persen secara full year, kata Suharso, tapi angka tersebut dinilai sudah bagus dan dipuji ADB. (www.nasional.tempo.co)

Tentu saja, ketiga pimpinan ADB itu datang bukan hanya sekedar ingin menyampaikan pujian atas pencapaian ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2021 saja. Ada maksud lainnya yaitu menawarkan pembiayaan (baca: utang). ADB menyampaikan kepada Jokowi tentang dukungannya terhadap pembiayaan dalam transisi energi, termasuk pembiayaan lainnya pada sejumlah proyek yang sedang berjalan. "Karena ada 14 proyek hari ini dan sudah cukup lama, 55 tahun, ADB bersama Indonesia”, kata Suharso.

Tidak ada keterangan apakah akan ada lagi pembiayaan baru yang akan diterima Indonesia. Terakhir, ADB telah menyetujui pinjaman senilai US$ 150 juta untuk Indonesia lewat The Sustainable Development Goals Indonesia One-Green Finance Facility (SIO-GFF). Mekanisme pinjaman ini pertama kalinya di Asia Tenggara. Tujuannya untuk membiayai setidaknya 10 proyek, dengan minimal 70 persen dari pembiayaan tersebut mendukung infrastruktur hijau dan sisanya mendukung SDG.

Jerat Riba Bahaya Tak Terkira

Kita tak perlu bangga. Kota kita dikunjungi oleh Petinggi kelas dunia. Walaupun mereka menyampaikan pujian akan capaian ekonomi bangsa, rasanya itu hanya basa basi saja. Karena tujuan utama mereka adalah semakin membenamkan Indonesia pada jerat riba yang bahayanya tak terkira.

Utang luar negeri (ULN) Indonesia secara akumulatif jumlahnya sudah sangat fantastis. Berdasarkan catatan terbaru Bank Indonesia (BI), ULN pada Oktober 2021 mencapai US$ 422,33 miliar atau sekitar Rp 6.010 triliun. Jumlah itu terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sekitar US$ 213,97 miliar dan utang swasta sebesar US$ 208,36 miliar. (www.data.tempo.co).

Sedangkan, Rasio utang  (Debt to Service Ratio/DSR) terhadap Pendapatan Domestik Bruto atau PDB tahun depan pun diproyeksi akan naik menjadi 43,1 persen. Sedangkan realisasi tahun untuk sementara mencapai 41,4 persen.

DSR mencerminkan kemampuan sebuah negara untuk menyelesaikan kewajibannya membayar utang. Jika rasio DSR semakin besar, beban utang yang ditanggung semakin besar. Peningkatan DSR yang tidak disertai dengan peningkatan kinerja ekspor dan komponen penambah devisa lainnya tentu perlu diwaspadai.

Dalam pandangan kapitalisme sendiri, jika negara berutang dalam valuta asing, maka penerimaan valuta asing seharusnya juga lebih besar. Jika semakin lebar rasionya, artinya ada gap yang akan menimbulkan masalah pada ketersediaan valuta asing dan kurs mata uang lokal. (www.alwaie.id).

Dengan posisi ULN dan DSR seperti ini, Indonesia berpeluang berada dalam kondisi bahaya. Sebenarnya sebesar apa pun ULN, untuk saat ini, dia adalah bahaya itu sendiri. Bahaya ULN atau yang dikenal dengan “debt trap” secara konsep normatif, ini merupakan istilah “gali lubang tutup lubang”. Dalam hal ini, kondisi anggaran ketika berupaya untuk mendapatkan utang digunakan untuk membayar utang sebelumnya.

Dalam kajian ekonomi politik, debt trap merupakan manifestasi neoliberalisme.  Debt trap berkembang sejak Mazhab Cambridge (Cambridge School of Economics) yang dipelopori Alferd Marshall pada tahun 1890. Mazhab ekonomi ini mengembangkan teori penjajahan baru dengan alat uang. Berkembang lebih luas pada 1970-an oleh para ekonom dalam usaha melipatgandakan kekayaan negara (dan konglomerasi). Dikenal juga sebagai mazhab monetaris yang mengembangkan posisi Bank Sentral untuk melakukan kebijakan moneter. (www.alwaie.id).

Dengan desain seperti itu tentu posisi ULN bukan sekadar urusan pinjam-meminjam biasa antar negara. Abdurrahman al-Maliki menyebut ULN adalah cara paling berbahaya untuk merusak eksistensi suatu negara.

Bahaya ULN terhadap negara debitur juga bisa dilihat dari aspek waktu.  Ada bahaya jangka pendek dan bahaya jangka panjang yang bisa menyengsarakan. Bahaya jangka pendeknya adalah hancurnya nilai mata uang negara debitur. Biasanya hal ini terjadi karena ada rekayasa kekacauan moneter. Pada saat utang jatuh tempo, negara debitur tidak diperbolehkan membayar dengan mata uangnya. Tetapi, dia harus membayar dengan mata uang yang sedang menguasai dunia, US Dollar misalnya atau hard money lainnya. Akibatnya kebutuhan dalam negeri akan hard money tadi akan meningkat, tetapi hard money bisa sulit didapatkan. Hingga negara debitur harus membelinya dengan harga sangat mahal. Akibatnya, mata uang debitur akan babak belur dan nilainya turun.

Jika penurunan ini terus menerus terjadi, maka bersiaplah negara menjadi pasien dari International Monetary Fund (IMF). Mata uang negara akan berada dalam kendali IMF, lalu IMF akan memaksakan negara tersebut untuk menjual komoditasnya misalnya sumber daya alam berupa barang tambang, dsb dengan harga murah untuk ditukar dengan kertas hard money (US Dollar). Inilah manifestasi dari apa yang disebut dengan penjajahan uang kertas.

Dalam jangka panjang, bahaya yang mengintai adalah memunculkan kekacauan APBN hingga merusak kedaulatan. Jika  Komoditi-komoditi berharga sudah tidak cukup untuk membayar ULN, maka aset-aset strategis negara harus dijual sebagai alat pelunasan. Lalu, hampir semua kebijakan publik dapat diintervensi negara-negara kreditur seperti kasus yang begitu terang-terangan yang dilakukan Cina di Zimbabwe misalnya.

Zimbabwe menelan pil pahit karena gagal membayar utang sebesar 40 juta dollar AS kepada China. Hingga akhirnya harus mengganti mata uangnya menjadi mata uang China atau Yuan sebagai imbalan penghapusan utang. Ternyata bukan hanya Zimbabwe yang mengalami bad story dengan utang Cina. Ada Angola, Pakistan, dan Nigeria juga. Seharusnya ini jadi hal yang membuat Indonesia mawas diri lalu mengerem mengambil ULN. (www.kompas.com)

Bahaya ULN dalam jangka panjang ini menyasar politik negara, yaitu terkait kedaulatan, atau dalam theory of sovereignty, Jean Bodin menganggap negara tidak dianggap berdaulat jika kedaulatan berasal dari kekuasaan lain yang lebih tinggi. Dalam sudut pandang Islam, syarat negara itu disebut sebagai negara berdaulat adalah ketika kedaulatan negara ada pada hukum-hukum syariat. Karena itu haram kedaulatan negara disandarkan pada negara-negara kafir melalui ULN dan debt trap mereka.

Dalam catatan sejarah, Ash-Shalabi menuliskan faktor-faktor yang membuat keruntuhan Khilafah Utsmani. Salah satunya adalah karena menyebarnya gaya hidup foya-foya terutama di kalangan pejabat negara dan berkorelasi dengan adanya defisit anggaran yang ditutup oleh ULN. Ekonom Turki, Murat Birdal menceritakan: Daulah ini, sejak Sultan Mahmud II (yang memerintah sejak 1808-1839), dihancurkan oleh bankir-bankir melalui ULN untuk membiayai berbagai proyek. Jaringan para bankir dari Prancis, Inggris, Austria, Jerman dan Swiss hingga para kreditor asing masa itu membentuk satu badan yang disebut sebagai Ottoman Public Debt Administration (OPDA). OPDA pada akhirnya memiliki kuasa untuk melakukan intervensi kebijakan ekonomi di dalam Khilafah Utsmani. Hasilnya, kedaulatan yang ada pada hukum syariat lenyap. OPDA meloloskan investasi minuman keras yang jelas diharamkan. Mereka memaksa Pemerintah Utsmani mengembangkan industri bir bernama Bomonti Beer untuk pertama kalinya pada tahun 1894. Secara perlahan kedaulatan hilang sampai eksistensi negara hilang. (www.alwaie.id)

Anggaran Bebas Utang

Hukum utang dalam syariat Islam adalah mubah (boleh). Dengan dalil Al-Qur’an surat Albaqoroh ayat 282. Dalam istilah Arab, utang akibat peminjaman disebut al-qardh yang secara bahasa berarti al-qath’ (terputus). Harta yang diutangkan kepada pihak lain dinamakan qardh karena ia terputus dari pemiliknya. Utang-piutang merupakan salah satu bentuk muamalah yang bercorak ta’awun (pertolongan).

Hanya saja, ketika utang ini dilakukan oleh negara, dalam bentuk ULN, ada persoalan lain yang menjadi pertimbangan syariat. Jika ditelaah lebih mendalam dari sudut pandang Islam, ada beberapa poin kebatilan ULN. Pertama, ULN senantiasa disertai riba. Islam tegas mengharamkan riba (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 275). Allah Swt. sangat membencinya hingga menyatakan bahwa orang yang mengambil riba adalah orang yang mengumumkan perang dengan-Nya.

Kedua, ULN adalah alat penjajahan yang berbahaya. ULN digunakan sebagai bagian dari penjajahan model baru yang merusak kedaulatan negara. Terhadap hal berbahaya yang merusak ini, maka ULN diharamkan, sesuai kaidah:

كُلُّ فَرْدٍ مِنْ أَفْرَادِ الْمُبَاحِ إِذَا أَوْ صَلَ إِلَى ضَرَر حَرَمَ ذَلِكَ الْفَرْدُ وَ بَقِيَ الشَّيْءُ مُبَاحًا

Setiap bagian dari satuan-satuan sesuatu yang mubah, jika membawa pada bahaya, haram untuk satuan itu, sedangkan bagian sesuatu yang lainnya tetap mubah.

Ketiga, utang apalagi ULN bukan sumber pokok penopang ekonomi. Dalam sistem keuangan negara Islam yang disebut baitul mal ada pengaturan syariat tertentu bagi pemasukan dan pengeluaran negara.

Untuk pemasukan negara ada tiga pos tetap yang telah digariskan hukum syara. Ketiga pos itu adalah pertama, pos kharaj dan fai. Dalam pos ini negara akan mendapatkan pemasukan dari harta yang tergolong fai (harta yang didapatkan terkait dengan pembebasan suatu wilayah) bagi seluruh kaum muslim dan pemasukan dari sektor pajak (dharibah) yang diwajibkan bagi kaum muslim tatkala sumber-sumber pemasukan baitul mal tidak cukup memenuhi anggaran belanja yang sifatnya wajib, baik dalam kondisi krisis ataupun tidak.

Kedua, pos kepemilikan umum. Pos ini mendapatkan pemasukan dari harta yang terkatagori milik umum seperti minyak dan gas, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan, mata air, hutan, padang rumput, dan tempat khusus yang dipagari oleh negara.

Ketiga, pos Sedekah. Pemasukan pos ini didapatkan dari zakat. Baik zakat perdagangan, uang, pertanian dan buah-buahan, serta ternak. Dengan pemasukan seperti ini, negara Islam akan menjadi negara yang mandiri. Tanpa perlu bergantung kepada ULN dalam penyelenggaraan operasional negara dan pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya.

Sepanjang periode Nabi Saw., defisit anggaran hanya pernah terjadi pada saat penaklukan Mekah. Itu pun bisa segera tertutupi pada periode Perang Hunain pada tahun yang sama. Anggaran negara pada masa Daulah Islam kebanyakan surplus. Inilah fakta penerapan sistem keuangan Islam.

Saatnya umat Islam menyadari bahaya ULN, bagaikan racun berbalut madu. Bukan obat penyembuh, namun justru menggiring pada galian lubang kehancuran negara. Hanya satu solusinya, kembali pada penerapan sistem Islam secara kafah dalam bingkai khilafah.

 

Oleh : Rini Sarah

 

Posting Komentar

0 Komentar