Isu pindah ibu kota menuai pro kontra, masyarakat tentu saja mencari tahu kenapa ibu kota harus pindah? dan mengapa harus ke wilayah tengah seperti Kalimantan Timur? dan berbagai macam pertanyaan lainnya. Salah satu penolakan terhadap Ibu Kota Negara (IKN) yang berujung kepada pelaporan dialami oleh Edy Mulyadi.
Edy Mulyadi ditetapkan jadi tersangka dan ditahan usai menjalani pemeriksaan di Bareskrim Polri terkait kasus ‘jin buang anak’. Ucapan Edy menjadi polemik lantaran dianggap menghina Kalimantan Timur tempat berdirinya Ibu Kota Negara baru. Ucapan itu mulanya terlontar karena Edy menolak Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Dia mengibaratkan ibu kota negara baru itu sebagai tempat ‘jin buang anak’. (detinews.com, 01/02/2022).
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Humas Mabes Polri Brigadir Jenderal (Brigjen) Ahmad Ramadhan mengatakan, tak Cuma menetapkan Edy Mulyadi sebagai tersangka. Tim penyidik siber Polri juga resmi melakukan penahanan terhadap calon anggota legislative gagal dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada 2019 itu. (Republika.co.id, 31/01/2022).
Begitu sigap dan tanggapnya pihak aparat berwenang dalam kasus Edy ternyata tidak sejalan dengan sigap dan tanggapnya mereka terhadap kasus Arteria Dahlan. Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M Jamiluddin Ritonga menilai. Apparat kepolisian terkesan memperlakukan kasus Edy Mulyadi dan Arteria Dahlan berbeda. Padahal kasus mereka sama-sama diduga melakukan ujaran kebencian bernada suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
Padahal, kata Jamiluddin, laporan masyarakat tentang kasus Arteria Dahlan lebih dahulu masuk ke polisi daripada kasus Edy Mulyadi. Dilain pihak, sambung dia, respon masyarakat terhadap dua kasus itu relatif sama. Warga Jawa Barat, khususnya suku Sunda bergelombang memprotes pernyataan Arteria Dahlan, seperti halnya protes warga Kalimantan terhadap pernyataan Edy Mulyadi. (Republika.co.id, 01/02/2022).
Kesan lamban dan ogah-ogahan oleh pihak berwenang untuk menangani kasus Arteria Dahlan semakin jelas memperlihatkan sikap tebang pilih dalam hukum di negeri ini. Dinyatakan bahwa perlu mendapatkan izin dari presiden untuk bisa melanjutkan kasus tersebut ke jalur hukum. Arteria Dahlan selaku anggota komisi III DPR RI memiliki hak imunitas hukum, sehingga tidak bisa dipidanakan. Hal ini dinyatakan oleh Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Endra Zulpan menyatakan, Arteria selaku anggota dewan dilindungi Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). (Kompas.com, 05/02/2022).
Kebebasan berbicara dan berpendapat diperbolehkan khusus bagi anggota dewan, dengan alasan bahwa hal tersebut terkait dengan fungsi serta wewenang dan tugasnya. Meskipun hal tersebut bisa saja melanggar kode etik dan kesopanan. Pernyataan atau pendapat yang terkait dengan SARA semestinya diperhatikan dan tidak dibiarkan begitu saja. Hal ini akan memunculkan adanya perlakuan diskriminasi terhadap suku, agama, ras, dan antar golongan tertentu dan ini sudah bertentangan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang selama ini mereka gembar gemborkan.
Menjadi kontradiksi, jika kebebasan berbicara dan berpendapat yang digadang-gadang di dalam sistem demokrasi ternyata tidak berlaku untuk rakyat kecil. Kebebasan itu hanya berlaku bagi para pemangku jabatan dan kekuasaan. Apalagi jika yang berbicara dan berpendapat tadi adalah oposan pemerintah, sudah bisa dipastikan jeruji besi sudah menantinya. Masyarakat seakan mafhum dengan apa yang sedang terjadi di negeri ini. Menyuarakan kebenaran akan tetapi jika hal itu menyinggung kepentingan para penguasa rezim sudah bakal dipidanakan.
Berbeda kondisinya jika yang bersuara dan berpendapat tadi adalah ‘kawan’ nya rezim, meskipun banyak yang protes bahkan sudah melaporkannya ke pihak berwenang, dengan santainya si pelaku akan berjalan dengan jumawa karena ia yakin memiliki ‘imunitas hukum’ tadi.
Gambaran buruk akan keadilan di dalam sistem demokrasi terpampang jelas, masihkah akan bertahan dan memilihnya sebagai asas hidup? Omong kosong semua slogan demokrasi bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Yang ada adalah suara para penguasa dan kapitalis adalah suara Tuhan. Rakyat hanya dijadikan sebagai tunggangan, untuk memuluskan kepentingan para penguasa dan pemilik modal tadi. Jika sudah tercapai apa keinginan mereka, jangankan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat akan diperhatikan, sekedar berbicara dan berpendapat saja tidak didengar. Alih-alih diperhatikan, yang ada justru dipidanakan.
Rusaknya sistem demokrasi tidak hanya berhenti disitu, adanya aturan atau undang-undang yang membuat anggota dewan menjadi kebal hukum adalah bukti lemahnya aturan buatan manusia. Hukum yang begitu sarat kepentingan dan tujuan kelompok tertentu. Begitu mudah dibuat, dirubah bahkan dengan mudahnya dihapus atau dihilangkan yang pastinya sesuai dengan hawa nafsu mereka. Yang penting bisa menyelamatkan kepentingannya para oligarki.
Lain hal di dalam Islam, kontrasnya Islam yang digunakan sebagai sistem kehidupan dengan demokrasi terlihat begitu jelas. Di dalam Islam tidak mengenal kebal atau imunitas dalam hukum. Penegakan hukum secara adil, tanpa ada diskriminasi niscaya di dalam Islam. Banyak ayat-ayat Al Qur’an yang memerintahkan muslim untuk menegakkan hukum tanpa ada pembedaan.
Rasulullah Saw menekankan keadilan harus ditegakkan bagi seluruh manusia demi meraih rida Allah Swt. Sebab ketidakadilan mengarah kepada penindasan dan penyiksaan. Dijelaskan di dalam kitab Ensiklopedi Muhammad, bahwa semua bangsa terdahulu hancur karena perselisihan dan perkara diantara mereka yang disebabkan ketidakadilan dan kecurangan dari pihak-pihak berkuasa.
Salah satu ayat mengenai keadilan ada di dalam Surat An-Nisa ayat 135. Dalam ayat itu disebutkan, umat muslim diperintahkan untuk melaksanakan keadilan dan tidak mengikuti hawa nafsunya. “Janganlah mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.” demikian bunyi terjemahan ayat tersebut. Wallahualam.
Penulis: Elif Shanum
0 Komentar