Belum genap 2 bulan berjalan Bekasi kembali mengalami lonjakan kasus covid 19, menurut data laporan yang dihimpun dari Dinas kesehatan Kota Bekasi sudah terkonfirmasi sebanyak 89.770 jiwa pertanggal 29 Januari 2022, kemudian kasus terkonfirmasi covid 19 mengalami penambahan pada tanggal 30 Januari 2022. Artinya, kasus naik menjadi 90.667 jiwa dengan kenaikan sekitar 897 jiwa yang tersebar di 56 Kelurahan. (www.bekasikota.go.id)
Lonjakan tajam kasus terkonfirmasi covid 19 yang terbilang cepat dan drastis menyebabkan Bekasi masuk ke dalam kategori level 2. Kondisi ini akhirnya turut mempengaruhi kegiatan sekolah siswa yang sebelumnya Pemkot Bekasi tetap memberlakukan kegiatan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas dengan kapasitas 50%. Seiring dengan munculnya klaster sekolah, akhirnya PTM pun dihentikan. (megapolitan.kompas.com)
Mengantisipasi tren naiknya pasien covid, RSUD Kabupaten Bekasi menyatakan diri siap menjadi rumah sakit khusus covid, seperti ketersediaan oksigen. Sayangnya untuk merealisasikan ketersediaan oksigen saja, RSUD Kabupaten Bekasi masih harus mengandalkan sumber anggaran yang berasal dari asing. Di kutip dari beritatrans.com kabarnya anggaran sebesar Rp 1,4 miliar didanai oleh CSR di Singapura. Anggaran inilah yang nantinya akan dipergunakan oleh RSUD memproduksi oksigen secara mandiri kemudian didistribusikan ke tabung-tabung oksigen di puskesmas.
Miris memang di tengah badai covid 19 yang kembali melonjak adanya suntikan dana asing tidak seharusnya merasa tenang-tenang saja. Sebaliknya, kondisi ini semakin jelas menunjukan bahwa lemahnya penguasa hari ini tidak ada obat dalam mengatasi covid 19 harus bergantung pada asing. Ini yang dinamakan ketidakmandirian kalau sebetulnya penguasa tidak siap dalam mengantisipasi penyebaran wabah. Disadari atau tidak, intervensi asing akan semakin kental mencengkeram negeri ini dalam hal layanan kesehatan masyarakat.
Hal ini tidak bisa dilepaskan karena rapuhnya sistem ekonomi pemerintah yang bergantung pada luar negeri sehingga selamanya akan mudah didekte oleh asing. Barat dengan watak kapitalistiknya memanfaatkan situasi demi menangguk untung. Terbukti di tahun sebelumnya saja Indonesia mengambil langkah pinjaman dari IMF dengan bunga sebesar US$40 miliar untuk jangka 5 tahun mengingat Indonesia sangat terbuka dengan 'bantuan' asing. Ibaratnya tak ada makan siang gratis, barat tidak pernah benar-benar tulus dalam memberikan bantuan kepada negara yang membutuhkan. Untuk kesekian kalinya urusan covid harus takluk lagi pada asing.
Di sisi lain belum selesainya kasus covid mengindikasiian bahwa pemerintah sejatinya tidak sepenuh hati melakukan penanganan. Terlihat bagaimana kebijakan penguasa yang kerap berubah-ubah, tak jelas dan membingungkan masyarakat. Mengakibatkan lahirnya ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah akibat beberapa temuan kasus pasien yang dicovidkan pasca terkuaknya bisnis PCR yang melibatkan pejabat negara.
Terdegredasinya rasa ketidakpercayaan pada pemerintah makin lengkap manakala sikap abai masyarakat menjadi-jadi disaat kasus covid sempat melandai, beragam penyebabnya karena perasaan jenuh harus berdiam diri cukup lama di rumah sementara kebutuhan hidup menuntut untuk dipenuhi. Belum lagi sikap acuh masyarakat terhadap penyebaran varian baru covid.
Sulit rasanya untuk mendapatkan upaya maksimal dilakukan oleh penguasa dalam masalah kesehatan. Jika tidak ada perubahan nyata dalam struktur anggaran. Tidak semestinya sumber anggaran penanganan wabah menggantungkan diri pada bantuan luar negeri. Bukankah ini merupakan bentuk nyata ketidakmandirian negara.
Anggaran yang kuat ditopang oleh kemandiran ekonomi hanya bisa ditemukan jika pondasinya adalah sistem pemerintahan Khilafah Islam. Seorang Khalifah nantinya diminta sigap mencari solusi terbaik ketersediaan dana yang diperoleh dari fa'i, kharaj dan shadaqoh. Apabila sewaktu-waktu negara ditimpa kondisi yang tidak diinginkan seperti terjadinya wabah.
Butuh upaya serius untuk merealisasikannya. Agar bisa memutus ketergantungan pada luar negeri dalam bidang kesehatan tidak hanya dalam situasi normal tapi juga ketika saat pandemi melanda.
Wallahu’alam bishowab.
Mia Annisa (Pemerhati Sosial)
0 Komentar