Ketika Nyawa tak lagi Berharga, Islam Tawarkan Solusi Paripurna




Krisis moral menjadi penyakit kronis generasi bangsa akibat sistem liberal sekuler.


Pada 26 Januari 2022, Tribunnews.com memberitakan kasus pembunuhan berencana yang terjadi di daerah Pondok Gede, Kota Bekasi. Seorang pemuda berusia 18 tahun tewas di tangan temannya sendiri dengan cara yang miris, kehabisan napas karena dibekap. Alasan pelaku sederhana, kesal karena tidak diajak melamar kerja. 


Pelaku sempat memalsukan informasi kematian korban. Ia melaporkan bahwa korban meninggal karena terjatuh dari tangga. 


Seorang saksi mata yang dipaksa bungkam oleh pelaku akhirnya buka suara sehingga polisi melakukan autopsi ulang pada jenazah. Hasilnya jenazah meninggal karena kehabisan napas. 

Polisi pun menangkap pelaku yang tengah bersembunyi di rumah neneknya.


Kejadian miris lainnya terjadi di Jatiasih, Bekasi pada 2 Februari 2022. Seorang ibu tega membuang anaknya ke tempat pembuangan sampah tak lama setelah melahirkan. Sang ibu merasa malu karena anak tersebut hasil hubungan di luar nikah. 


Menurut keterangan Kasat Reskrim Polres Metro Bekasi, Alexander Yurikho, keluarga pelaku tidak mengetahui kehamilan pelaku sehingga pelaku melahirkan sendiri di kamar mandi rumahnya (Tribunnews.com, 4/2/2022).


Sejak 2016, Indonesia menelurkan Program Pendidikan Karakter (PPK). 


Pendidikan karakter ini mengandung lima nilai utama yang bersumber dari Pancasila, yaitu religius, nasionalisme, integritas, kemandirian, dan kegotongroyongan (kemendikbud.go.id, 17/7/2017).


 Program nasional ini mendorong sekolah, keluarga (orang tua), dan masyarakat agar bersinergi membentuk ekosistem yang kondusif untuk terciptanya karakter bangsa yang diharapkan. 


Namun kita bisa melihat sendiri, bahwa sampai detik ini program tersebut tidak terbukti mampu mengangkat moral bangsa sebagaimana yang diharapkan. Harapan agar keluarga dan masyarakat turut serta menjadi pengontrol karakter pun tidak berjalan. 


Ketika kriminalitas dan tindakan tak bermoral terjadi, hukuman yang berlaku tidak memberikan efek jera yang membuat tindakan tersebut berhenti. Masalah yang sama kembali terulang baik itu pembunuhan, hamil di luar nikah, maupun membuang bayi. Mengapa ini bisa terjadi?


Tindakan-tindakan tersebut akan terus berulang dalam sistem kehidupan yang memisahkan agama dari kehidupan. Akar permasalahannya ada dua: pendidikan moral yang tidak paripurna, dan sistem hukum yang tidak membuat jera. Kedua hal tersebut membutuhkan peran negara sebagai institusi legal untuk menerapkannya.


Dekadensi moral terjadi perlahan selama berabad-abad setelah Rasulullah ﷺ wafat. Puncaknya adalah ketika kekhalifahan Turki Ustmani runtuh pada 1924. 


Saat ini, sistem pemerintahan di dunia terbagi menjadi dua berdasarkan landasan ideologinya. Kapitalisme dengan sistem demokrasinya, dan Komunisme dengan sistem tangan besinya. Pada kedua sistem ini, tercermin masalah yang khas. 


Pertama, pada sistem demokrasi. Pemerintah pusat merancang berbagai program setiap kali periode kepemimpinan baru berjalan, namun pelaksanaannya diserahkan pada otonomi daerah. Hal ini menyebabkan program yang diusung tidak mampu menyentuh masyarakat secara menyeluruh. Tidak ada kontrol yang berjalan optimal tersebab demokrasi tidak menjadikan negara—dalam hal ini kepala negara—sebagai pemeran utama yang bertanggung jawab penuh. Alhasil dari tahun ketahun, program yang diusung tidak akan mampu mencapai hasil terbaik. 


Kedua, pada sistem otoriter. Dengan tangan besinya negara mampu memaksa rakyat memiliki nilai-nilai karakter sebagaimana yang dirancang negara. 


Meski demikian, nilai-nilai tersebut lahir dari pemikiran manusia. Alhasil nilai-nilai karakter tersebut tidak melindungi individu dari dorongan berbuat kriminal dan asusila .


Kapitalisme maupun Komunisme memisahkan agama dari kehidupan, sehingga tidak menempatkan aturan dari pencipta sebagai koridor berpikir dan bertindak. 


Jangankan memahami bahwa manusia adalah makhluk yang butuh aturan dari pencipta, keraguan atas pencipta pun masih bebas berkeliaran dan menjangkiti jiwa masyarakat. Padahal manusia adalah makhluk, sehingga dalam menjalani kehidupannya membutuhkan panduan.


Panduan terbaik hanya akan datang dari pencipta. Pencipta adalah yang paling mengetahui apa yang baik dan salah untuk mahkluknya.


Pemahaman yang benar bahwa manusia adalah makhluk dan butuh aturan dari pencipta hanya akan muncul bila manusia mengemban ideologi yang benar, yaitu ideologi Islam.


Ideologi Islam menjadikan akidah Islam sebagai landasan pemikiran (aqliyah) dan kecenderungan diri (nafsiyah / muyuul). 


Sehingga setiap individu akan meyakini secara pasti bahwa dirinya adalah makhluk yang tunduk pada pencipta dan pengatur yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. 


Ketika akan memenuhi kebutuhan jasmani dan nalurinya, seseorang yang menjadikan akidah Islam sebagai landasan akan mampu menghukumi apakah perbuatan atau benda yang akan digunakan sesuai atau tidak dengan aturan yang dibuat Allah Ta’ala.


Tentulah ia akan memiliki kecenderungan pada hal-hal yang halal dan menolak yang haram. Inilah yang disebut sebagai kepribadian Islam (syaksiyah Islamiyah).


Kualitas kepribadian Islam seseorang akan meningkat dengan dua cara: Pertama akalnya senantiasa disirami dengan pemahaman Islam. Kedua, hidup dalam suasana yang mendukung dan menjaga keimanannya. 


Berdasarkan penjabaran di atas, sudah jelas bahwa penyelesaian krisis moral tidak bisa dilakukan parsial hanya dengan membuat program pendidikan berkarakter.


Menyelesaikan krisis moral harus dilakukan mengakar dengan mengubah sistem kehidupan menjadi sistem kehidupan Islam, termasuk dengan sistem pemerintahannya.


Rasulullah ﷺ telah mencontohkan bagaimana caranya suatu negara mampu menciptakan individu berkepribadian mulia di dalamnya.


Pertama, negara wajib melakukan pembinaan (tastqif) pada setiap masyarakatnya melalui dakwah. 


Kedua, Syiar-syiar dakwah dilakukan berkesinambungan sebagai bagian dari interaksi negara dengan umat (tafa’ul ma’a al ummah). Dengan begitu masyarakat senantiasa disirami dengan pemahaman Islam.


Kondisi masyarakat yang telah memahami bahwa akidah Islam adalah landasan hidup akan mengantarkan pada kondisi yang ketiga yaitu negara yang siap menerapkan sistem kehidupan Islam (istilaam al hukm). 


Ketika Islam telah menjadi aturan hidup, maka akan terwujud suasana yang mendukung dan menjaga keimanan. 


Inilah yang akan menggerakan setiap individu untuk amar ma’ruf nahi munkar. Kontrol sosial pun akan tercipta. 

Perilaku amoral seperti berzina dan kriminalitas bisa saja masih terjadi meski sistem kehidupan Islam telah tegak. 


Namun itu terjadi bukan karena sistem kehidupannya, melainkan karena keniscayaan godaan syaithan. Beberapa dari golongan manusia akan ada yang tetap terperosok. Maka dari itu sistem hukum Islam (uqubat) hadir untuk membersihkan dosa pelaku dan memberikan efek jera pada masyarakat. Angka kejahatan dan tindakan amoral pun dapat ditekan, tidak menjadi keumuman seperti sekarang.


Islam hadir sebagai solusi terhadap dua akar permasalahan perilaku amoral. Pertama, pendidikan karakter yang berlandaskan akidah Islam.


Kedua, hukum yang membuat jera. Kedua hal ini menjadi kewajiban negara untuk menjalankannya. Dan negara yang akan menjalankan kedua hal tersebut adalah negara yang mengadopsi sistem pemerintahan Islam.


Krisis moral dan permasalahan lainnya yang tak berujung adalah hasil dari meninggalkan aturan sang pencipta. Maka sudah saatnya kita mengembalikan Islam sebagai sistem kehidupan agar masyarakat madani berkarakter luhur dapat tercipta.


Oleh Ainani Tajriyani, S.Farm. (Aktivis Dakwah)




Posting Komentar

0 Komentar