Hidup di kota metropolitan tidak selalu indah dan enak seperti dalam bayangan. Mudahnya akses serta banyaknya fasilitas umum yang tersedia tidak lantas membuat warga Jakarta bebas menikmati air bersih. Air bersih adalah sumber kehidupan, tanpa adanya air tentu kehidupan tidak akan mungkin berjalan selayaknya. Hal inilah yang masih sering menjadi kendala bagi warga Jakarta, yakni kesulitan mendapatkan air yang bersih.
Anggota DPRD DKI Jakarta menyinggung soal masih ada 35 persen wilayah Jakarta krisis air bersih. Padahal air bersih merupakan salah satu kebutuhan dasar masyarakat. “Hal ini juga yang selalu menjadi kritik kami ke eksekutif, penetrasi air bersih masih mandek di angka 65 persen. Artinya masih ada 35 persen warga yang belum dapat akses air bersih. Padahal penyediaan air bersih ini ada dalam RPJMD,” kata Anggota DPRD Frkasi PDIP Komisi D Yuke Yurike, saat dihubungi oleh detik.com, Selasa (25/1/2022).
Seperti yang tengah dialami oleh warga di Kampung Kubur Baru, dilaporkan air PAM bermasalah disana. Air tidak hanya susah mengalir, tapi juga berbau. Beberapa rumah warga memutuskan memilih membeli air dari gerobak pedagang. Tindakan itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan air bersih. (detiknews.com, 25/1/2022).
Permasalah serupa kerap terjadi tidak hanya di Kampung Kubur Baru, tetapi juga dialami beberapa wilayah lainnya di Jakarta. Beralihnya penggunaan dari air tanah ke air PAM dan yang semisalnya mau tidak mau harus dilakukan. Terjadinya penurunan kualitas air tanah, air yang tadinya masih bisa dipakai sehari-hari bahkan juga untuk dikonsumsi sekarang sudah tidak bisa lagi. Namun, dengan membayar sejumlah tertentu tergantung dari banyaknya pemakaian selama sebulan, warga akan mendapatkan akses layanan air bersih. Hal ini yang dinyatakan oleh seorang warga Kelurahan Kelapa Gading Barat, Kecamatan Kelapa Gading, Jakara Utara, yang mengaku tak punya pilihan lain dalam akses layanan air bersih di ibu kota. (liputan6.com, 4/10/2021).
Serupa tapi tak sama, jika warga Jakarta kesulitan mendapatkan air bersih disebabkan letak geografisnya yang dekat dengan lautan, sehingga air yang diambil dari tanah akan terus mengalami penurunan baik dari segi kuantitas dan kualitasnya. Berbeda dengan warga di Sukabumi, daerah yang terletak diantara kaki Gunung Gede dan Gunung Pangrango, serta berada di ketinggian 584 meter di atas permukaan laut. Sekarang pun dalam kondisi yang memprihatinkan dalam hal akses air bersih.
Seperti diketahui, sejak berdirinya beberapa perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di sana memberikan dampak cukup pelik bagi warga sekitar. Jutaan meter kubik air di bawah tanah terus dirongrong oleh perusahaan tersebut. Sebagai contoh, salah satu wilayah yang terdampak adalah warga Desa Babakan Pari, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, sulit mendapatkan akses air bersih. Saban hari mereka harus menggunakan air keruh mengalir dari persawahan, air itu berasal dari aliran Sungai Cigoong telah bercampur air limbah rumah tangga. Di bagian hulu, terdapat sebuah MCK (mandi, cuci, kakus) terbuat dari batako dan beratap asbes. (merdeka.com, 2/10/2013).
Dari kedua kasus sulitnya akses air bersih tersebut, bisa dilihat kesamaan permasalahannya. Yaitu diberikan atau dibiarkannya penanganan air bersih ke pihak swasta atau privatisasi dan bukan dipegang oleh pemerintah atau negara. Sehingga alih-alih rakyat, khususnya warga Jakarta akan mendapatkan akses air bersih yang melimpah serta gratis atau paling tidak murah harganya, yang ada mereka harus membayar dengan jumlah yang cukup mahal hanya untuk mendapatkan akses air bersih tadi.
Di tempat lain pun, warga justru hanya mendapatkan sisa-sisa air yang sudah tercemar, bahkan sangat tidak layak pakai. Padahal di wilayah tempat tinggalnya banyak sekali sumber mata air, melimpah ruah. Sehingga subur tanahnya dan menjadi tempat yang sangat baik untuk pertanian. Eksploitasi besar-besaran akan air tanah di wilayah itu membuat warga sekitar bagaikan tikus mati di lumbung padi, begitu miris dan menyedihkan.
Swastanisasi atau yang akrab didengar dengan istilah privatisasi dalam penanganan sumber air bersih tentu bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945, yang berbunyi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam sistem yang berjalan saat ini pemerintah seakan tidak memiliki ‘gigi’ untuk mengambil alih kembali pengelolaan sumber air bersih tersebut. Karena tidak dapat dipungkiri adanya perselingkuhan antara pengusaha dan penguasa ‘nakal’, sehingga restu pun didapatkan meski harus mengorbankan kepentingan rakyat banyak.
Hal ini berbeda dengan Islam, begitu vitalnya peran air dalam kehidupan, sehingga di dalam Islam pengelolaannya pun tidak bisa diserahkan kepada pihak swasta atau individu. Tertulis di dalam hadis Nabi Saw, “Kaum muslim (manusia) berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR. Abu Dawud & Ahmad). Itu artinya sumber daya alam seperti halnya barang tambang, migas, dan termasuk air tidak boleh dikelola swasta atau dimiliki individu, tetapi harus dikelola oleh pemerintah dan negara, lalu negara berkewajiban memberikan kepada rakyatnya secara gratis.
Bukan aspek manfaat atau mendapatkan untung sebanyak-banyaknya seperti halnya sistem kapitalisme jika sudah terkait dengan kepentingan rakyat. Di dalam Islam tidak ada istilah untung rugi jika hal tersebut memang harus diberikan atau dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Hal tersebut tergambar di masa kepemimpinan Nabi Muhammad Saw, dimana pada saat itu Rasulullah telah memberikan izin kepada Abyadh untuk mengelola tambang garam. Namun, saat mengetahui bahwa tambang garam tersebut termasuk harta milik umum, Rasulullah Saw lalu mencabut pemberiannya tersebut dan melarang tambang tersebut dimiliki secara pribadi. Wallahualam.
Oleh : Elif Shanum
0 Komentar