Lawan Dirangkul, Kawan Dipukul

 


Dilansir oleh tvOnenews.com (27/1/2022), Komandan Operasi Mayor Arnoldus Kocu akhirnya mengeluarkan pernyataan menyusul penembakan terhadap tiga orang prajurit TNI. Arnoldus Kocu adalah salah seorang komandan dari kelompok yang dinamai Kelompok Kriminal Besenjata (KKB) Papua oleh pemerintah Indonesia. Dahulu KKB Papua disebut OPM (Organisasi Papua Merdeka). Pergantian penamaan ini dimaksudkan karena pertimbangan pemerintah untuk mengubah paradigma terhadap penanganan kaum separatis di Papua ini.

Diubahnya penyematan nama bagi kelompok separatis Papua dari OPM menjadi KKB papua ini menunjukkan bahwa jika anggota KKB Papua ini tertangkap, maka ia akan dianggap sebagai pelaku kriminal, bukan pelaku tindakan separatis. Padahal telah nyata bahwa sejak dulu OPM selalu menyuarakan referendum bagi Papua merdeka. Kemudian pemerintah Indonesia menanggapi ‘teriakan’ referendum ini dengan membentuk Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua.

Namun anggaran besar yang diberikan bagi Otsus itu ternyata hanya dinikmati oleh segelintir elit politik saja. Masyarakat Papua tidak mendapat secuilpun ‘jatah kue.’ Hal inilah yang kemudian memunculkan gerakan perlawanan yang lebih masif oleh OPM, hingga melakukan tindak kriminal. Inilah cikal bakal dimulainya berbagai macam tindak terorisme. Bahkan saat ini, anggota KKB Papua telah melakukan teror dengan menggunakan senjata mutakhir, Kompas.com (29/1/2022).

Kemenhan.go.id pada 15/3/2019 pernah menurunkan pernyataan Menteri Pertahanan RI saat itu, yaitu Ryamizard Ryacudu terkait tujuan KKB Papua. Menurut Ryamizard, KKB Papua adalah kelompok bersenjata yang ingin agar Papua melepaskan diri dari NKRI. Karenanya, kelompok tersebut telah dapat dikategorikan melakukan gerakan separatisme yang mengancam keutuhan NKRI. Gerakan separatisme ini sering beraksi di sekitar kawasan Pegunungan Papua, seperti wilayah Puncak, Yahukimo, Nduga dan Intan Jaya.

Jadi, meski saat ini di wilayah Papua sedang diberlakukan Operasi Damai Cartenz 2022, tetapi nyatanya KKB Papua berani melakukan penyerangan dan menembaki para prajurit TNI. Operasi yang beranggotakan gabungan antara TNI dan Polri ini ternyata tidak punya gigi. Terbukti, upaya persuasif dan preventif yang dilakukan tidak diindahkan oleh KKB Papua. Mereka tetap akan menyerang siapapun yang berani memasuki wilayah mereka.

Kapolda Papua Irjen Pol Mathius D. Fakhiri kemudian hanya berani mengutuk penyerangan KKB Papua terhadap anggota TNI di Distrik Gome, Puncak pada Kamis (27/1/2022) itu. Lagi-lagi, upaya persuasif-pun dikedepankan. Mathius meminta kepada Bupati Puncak untuk membangun komunikasi aktif dengan KKB. Padahal telah nyata bahwa, Serda Rizal, Pratu Tupas Barazza dan Pratu Rahman dari TNI menjadi korban yang tewas dalam penembakan oleh KKB tersebut. Nyawa para prajurit itu dan nyawa prajurit-prajurit yang telah terlebih dahulu gugur nyata tidak dihargai oleh pemerintah Indonesia.

Inikah sikap yang dipilih oleh pemerintah menghadapi kelompok separatis yang bertekad melepaskan diri dari NKRI? Tidak bisakah pemerintah bersikap tegas terhadap kelompok-kelompok yang selalu merongrong kedaulatan negara? Berapa banyak lagi nyawa anak bangsa yang harus dikorbankan akibat sikap lembek pemerintah ini? Bahkan KSAD Jenderal Dudung Abdurachman pada Selasa (23/11/2021) sempat mengeluarkan pernyataan bahwa KKB Papua adalah saudara kita. Jadi sebenarnya mereka itu lawan atau kawan?

Menurut Islam, menjaga keutuhan wilayah negara adalah sebuah kewajiban. Karenanya, jika ada sekelompok orang yang berusaha memisahkan diri dari wilayah negara dengan perlawanan bersenjata, hal itu merupakan sesuatu yang dilarang. Tindakan perlawanan kepada negara (bughat) harus dikenai sanksi diperangi oleh negara, dengan maksud untuk memberikan pelajaran bagi para pelakunya, jika mereka Muslim. Namun, jika pelaku bughat adalah Non-Muslim, maka mereka harus diperangi hingga habis, (al-Mâliki, Nidzam al-‘Uqubat, hal. 79).

Inilah yang pernah dilakukan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib ra saat beliau menjabat sebagai kepala negara di Madinah. Khalifah Ali kemudian mengobarkan perang Shiffin ketika harus memerangi Mu’awiyah bin Abi Sufyan, seorang Wali (Gubernur) di Syam yang menolak berbaiat kepada khalifah Ali (tahun 37 Hijriah). Tindakan yang sama dilakukan pula khalifah al-Mu’tashim dari Bani Abbasiyyah. Khalifah al-Mu’tashim mengerahkan tentaranya untuk memerangi Abdurrahman ad-Dakhil di Spanyol, karena Abdurrahman ad-Dakhil berpotensi memisahkan Spanyol dari wilayah Kekhilafahan Abbasiyyah.

Dalam menjaga keutuhan wilayah Daulah Islam, Syariat Islam harus menempuh dua pendekatan yang berbeda. Pertama adalah pendekatan militer, kedua adalah pendekatan damai. Kedua pendekatan ini harus selalu dilandasi dengan upaya politik. Hal ini karena tidak semua upaya menjaga keutuhan wilayah Daulah Islam tepat ditempuh dengan pendekatan militer, ataupun sebaliknya.

Contohnya adalah saat terjadinya tindak separatisme di wilayah Balkan pada zaman Kekhilafahan Bani Utsmaniyyah. Gerakan separatisme ini terjadi akibat provokasi negara-negara kafir Eropa. Langkah salah yang diambil oleh khalifah pada waktu itu adalah melakukan serangan militer. Padahal sesungguhnya, Daulah Islam saat itu bisa melakukan tindakan membongkar upaya provokasi kaum kafir terhadap penduduk di wilayah itu. Ketika langkah yang dipilih adalah melakukan tindakan militer, maka justru kemudian menambah berkobarnya upaya separatisme.

Upaya damai dengan strategi politik yang tepat pernah ditempuh pula oleh Hizbut Tahrir pada tahun 1990-an. Saat itu, Amerika melakukan upaya memisahkan Yaman Utara dengan Yaman Selatan. Ini adalah skenario jahat Amerika Serikat. Hizbut Tahrir, sebuah partai politik global kemudian mengambil tindakan dengan menyeru ahl al-halli wa al-‘aqdi (orang-orang yang mempunyai pengaruh) di sana. Alhasil, dengan pertolongan Allah, api separatisme inipun berhasil dipadamkan, sehingga negara Yaman tetap utuh hingga saat ini.

Karenanya, terkait menjaga keutuhan negara, Allah SWT telah mengingatkan umat Islam melalui firman-Nya, “Jika kalian berselisih dalam suatu perkara, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya,” (QS an-Nisa’ ayat 59). Sejalan dengan itu, Syariat Islam yang diterapkan oleh Khalifah dapat menghilangkan perselisihan yang berpotensi merusak kesatuan dan persatuan umat dan wilayah negara. Ada kaidah fiqih yang berbunyi, “Perintah imam (Khalifah) dapat menghilangkan perselisihan.”

Di samping itu, harus diingat pula, dalam Syariat Islam ada larangan merebut kekuasaan dari pemangkunya. Hal ini seperti yang dituturkan oleh Ubadah bin Shamit, “Hendaknya kami tidak merebut kekuasaan dari pemangkunya.” Kecuali, kata Nabi, “Jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, yang bisa kalian buktikan di hadapan Allah,” (HR Muslim). Alhasil, sikap tegas pemimpin negara memang sangat diperlukan dalam menghadapi setiap upaya separatisme. Jika pemimpin tidak tegas, maka tentulah rakyat yang akhirnya akan menjadi korban. Solusi berdasarkan Syariat Islam juga mutlak penerapannya. Jika tidak, lihatlah akibat dari kondisi carut marut seperti yang terjadi saat ini. []


Oleh Dewi Purnasari
Aktivis Dakwah Politik

Posting Komentar

0 Komentar