Muncul di media, akan ada rencana pemetaan masjid demi mencegah paham radikal. Mengutip dari laman cnnindonesia.com 03/02/2022, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Desi Prasetyo mengatakan, tugas utama pemetaan masjid ada pada Majelis Ulamat Indonesia (MUI), Kementerian Agama (Kemenag), dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), bersama Polri sebagai pelapis atau second line. Rencana ini dilakukan karena katanya ada sebagian masjid yang dinilai keras.
Tidak dijelaskan apa indikator yang digunakan untuk menilai masjid “keras” atau “tidak keras”. Tidak pernah pula ada pembahasan secara mendalam dan komprehensif melibatkan semua pihak terkait, tentang seperti apa dan bagaimana paham radikal yang dimaksud. Selama ini yang terjadi hanya sebatas klaim sepihak bahwa kelompok A radikal, B tidak radikal, C toleran, D intoleran dan seterusnya serta “memaksa” publik untuk mau tidak mau akhirnya menerima.
Kegaduhan juga muncul ketika ketua BNPT, Boy Rafli Amar mengeluarkan pernyataan bahwa 198 pesantren di Indonesia terafiliasi terorisme. Meskipun tidak berselang lama, Boy melakukan klarifikasi dan meminta maaf secara terbuka karena telah membuat pernyataan yang meyakiti hati umat Islam. Boy berdalih, bukan bermaksud untuk mengeneralisir lembaga pondok pesantren, namun yang dimaksudkan adalah oknum atau individu yang terhubung dengan pihak-pihak yang terkena proses hukum terorisme.
Bukan sekali dua kali narasi-narasi yang terkesan menyudutkan Islam dan umat Islam dikeluarkan oleh para tokoh publik bahkan pejabat negara. Tidak jarang juga, setelah muncul kegaduhan, mereka cukup melakukan klarifikasi, revisi narasi bahwa bukan seperti itu yang dimaksud, kemudian meminta maaf dan polemikpun dianggap selesai.
Bagaimana beberapa waktu lalu KSAD Dudung mengeluarkan pernyataan jangan terlalu dalam memperlajari agama karena akan berdampak terjadi penyimpangan, yang kemudian diklarifikai oleh stafnya. Kemudian, penyataan kontroversialnya yang menyatakan “berdoa pakai bahasa Indonesia, Tuhan bukan orang Arab”, telah dilaporkan, namun hingga hari ini belum juga ada tindakan. Selain itu nama-nama seperti Abu Janda, Ade Armando, Deni Siregar, Habib Kribo dan banyak nama lain, yang juga sudah dilaporkan karena sering membuat gaduh bahkan jelas-jelas menistakan agama Islam, seolah tak tersentuh oleh hukum.
Berbeda sekali perlakuannya terhadap tokoh muslim, ustadz ataupun aktifis dakwah yang notabene tidak berada pada barisan penguasa. Salah sedikit saja mereka dalam sikap atau ucapan ketika menanggapi kondisi umat, permasalahan bangsa atau kebijakan-kebijakan yang ada, secepat kilat langsung diproses secara hukum. Sebut saja Ustadz Alfian Tanjung, Ustadz Maher Thuwailibi, Ustadz Habib Bahar bin Smith, Habib Rizieq Syihab, hingga beberapa aktivis dakwah dan mahasiswa yang mendapatkan intervensi, dipenjara atau ancaman droup out (DO) dari kampus.
Mereka yang vokal menyampaikan kritik atas kebijakan yang dinilai merugikan rakyat, membongkar kegagalan pemerintah dengan dasar data dan bukti yang jelas, dicap sebagai provokator, pelaku ujaran kebencian, penyebar hoax, dan lain-lain.
Bukankah seharusnya dalam sistem demokrasi yang mengagungkan kebebasan berpendapat, setiap kritik layaknya disambut baik? Bukankah kritik demi perubahan yang lebih baik adalah wujud dari rasa peduli terhadap nasib rakyat dan negeri ini?. Bagaimana kemudian kritik tersebut ditindaklanjuti dengan mengajak para ahli dibidangnya duduk bersama, berdiskusi, mendengarkan aspirasi, melakukan evaluasi dan mencari solusi. Jika memang benar-benar ingin bangsa ini maju dan kemajuannya dirasakan seluruh warga negaranya, setiap jiwa, bukan hanya rata-rata, apalagi hanya oleh segelintir orang atau kelompok saja.
Faktanya, narasi-narasi yang menyudutkan Islam masih saja bermunculan. Pernyataan-pernyataan kontroversial terus berulang tanpa ada tindakan, bahkan publik membaca seolah sengaja dijaga melalui para buzzer. Maka kondisi inilah sejatinya yang menjadi pemicu umat terpecah. Masyarakat awam yang belum semuanya memahami Islam secara utuh, sangat mungkin terbawa dengan opini yang digulirkan, hingga akhirnya ikut membenci islam, ikut anti terhadap syariat, termasuk ikut mendukung perlakuan driskiminatif terhadap pihak yang dianggap berseberangan. Mereka akan saling berbenturan baik pandangan, pendapat hingga penyikapan ketika menghukumi sebuah fakta atau masalah.
Hari inipun antara fakta dan opini dibuat rancu dan bias. Slogan kebebasan berpendapat diterapkan dengan standar ganda. Satu pihak dibiarkan bebas berujar apapun, dalam hal ini terkait Islam dan umat Islam, sementara pihak yang lain dipersekusi ketika sama-sama bersuara menyampaikan pendapat, hanya karena tidak satu barisan dengan penguasa.
Terbaru, diskriminasi hukum tampak jelas terlihat pada kasus Edi Mulyadi dan Arteria Dahlan. Sama-sama dianggap menghina salah satu suku di Indoneisa, tetapi perlakuan hukumnya tidak sama. Edi Mulyadi langsung dijadikan tersangka dan ditahan, sementara Arteria Dahlan yang notabene adalah anggota DPR RI belum juga ada tindakan, bahkan disebutkan memiliki hak imunitas sehingga tidak bisa ditahan.
Jika kondisi ini terus berlanjut, maka korban terbesar tidak lain adalah umat Islam itu sendiri. Potensi kekuatan umat yang ketika bersatu begitu besar, untuk sama-sama membangun bangsa, akhirnya tercerai berai. Satu sama lain saling curiga, saling merasa paling benar kemudian menyalahkan bahkan membenci dan memusuhi yang lain.
Ibarat lidi yang terlepas ikatannya, umat menjadi lemah hingga sangat mudah dipatahkan. Terbukti umat tak punya kuasa ketika sumber daya alamnya dikeruk asing dan aseng. Umat tak punya banyak pilihan ketika semua aktifitas ekonominya berbasis ribawi. Umat kewalahan mengontrol pergaulan anak-anaknya, karena bebasnya dunia mempertontonkan gaya hidup yang tanpa batas. Bahkan teriakan rakyat yang kelaparan tak menyurutkan niat pemindahan ibu kota yang menyedot biaya luar biasa besar. Memang inilah tujuan mereka yang sesungguhnya, membuat umat terus berseteru, hingga memalingkan dari musuh yang sebenarnya.
Maka persatuan adalah salah satu kunci umat untuk bangkit. Namun tidak cukup hanya dengan persatuan saja, tetapi Islamnya sendiri juga harus kembali kepangkuan umat secara utuh, tidak hanya diambil sebagian kemudian yang lain ditinggalkan, karena Islam bukan agama prasmanan.
Selama lebih dari 13 abad umat muslim seluruh dunia bersatu dalam satu kepemimpinan, tanpa melihat ras dan golongan, bersama dalam perbedaan dengan tetap konsisten menggenggam erat syariat hingga berhasil menorehkan jejak kegemilangan yang banyak tercatat di buku-buku sejarah dunia.
Bukan Islam yang memicu perpecahan umat, tapi justru sikap-sikap diskriminasi dan kriminalisasi terhadap Islam dan umatnyalah yang membuat persatuan menjadi terbelah, berkubu-kubu. Maka sudah saatnya umat bersatu, menghadapi musuh yang satu, yaitu siapa pun yang tak menginginkan Islam kembali tegak.
Ketika Islam tegak, tidak ada celah lagi bagi siapa pun untuk merongong umat muslim, merampok kekayaannya, merusak moral dan akidah generasinya. Pemimpinnya akan menjadi perisai, pelindung, pengayom tak hanya muslim tapi seluruh umat manusia.
Oleh Anita Rachman
0 Komentar