Keberanian Muskan Khan dalam menunjukkan identitas kemuslimahannya patut diapresiasi dan diacungi jempol. Tak banyak perempuan yang berani melakukan aksi heroik semacam itu di tengah rezim India yang sangat represif terhadap Islam. Saat itu dia meneriakkan takbir. "Ya, saya memang berteriak Allahu Akbar. Ketika saya takut, saya memanggil Allah dan itu memberi saya kekuatan," demikian ungkapnya saat di wawancarai.
Tampak sekali faktor pendorong utama keberanian Muskan Khan adalah keyakinannya pada Allah. Keberaniannya untuk tetap mengenakan hijab menunjukkan keteguhannya melaksanakan syariat Islam. Dan tentu ini bukan persoalan mudah. Butuh kekuatan ekstra untuk menumbuhkan rasa berani di tengah gelombang Islamophobia.
Menghadapi islamophobia yang sudah mendunia dan bersifat struktural ini memang butuh kekuatan ekstra. Sebab islamophobia yang saat ini berkembang sudah sangat sistemik dan berkelindan dengan banyak kepentingan. Karenanya butuh kekuatan yang mampu mendongkrak keberanian kaum muslimin untuk segera menghentikan islamophobia ini.
Kekuatan Akidah: Kunci Utama
Sejarah menunjukkan bahwa kekuatan akidah adalah satu-satunya kekuatan yang tidak bisa ditembus oleh siapapun dan dengan apapun. Secara individual, kekuatan akidahlah yang membuat para sahabat Rasul SAW begitu teguh memegang ajaran Islam kala gelombang islamophobia melanda kaum Quraiys.
Islamophobia juga melanda para pembesar Qurays saat mereka melihat agama baru yang dibawa Rasulullah Muhammad saw mulai berkembang di Mekkah. Saat itu tokoh-tokoh kafir Quraisy menolak dakwah Rasulullah saw dengan berbagai cara. Mereka mulai dengan cara yang halus yakni lobi dan tawaran harta, tahta dan wanita agar beliau menghentikan dakwah. Saat semua itu gagal, mereka mulai dengan cara yang kasar yakni “black campaign” dengan menyebut Rasulullah sebagai tukang sihir, lalu menganiaya hingga memboikot beliau dan pengikutnya selama sekitar tiga tahun.
Ingat kisah Sumayyah, ibunda Ammar bin Yasir? Dia adalah syuhada pertama di kalangan muslimah yang meninggal akibat siksaan keji oleh rezim Qurays hanya karena keteguhannya memegang kalimat syahadat. Dia tidak bersedia murtad. Kekuatan aqidahnya telah mengantarkan pada militasi yang sangat kokoh. Demikian pula dengan Bilal bin Rabah. Siksaan yang diterimanya tak mampu menggoyahkan keimanannya kepada Allah Swt. Bibirnya terus basah untuk mengucapkan, “Ahad, Ahad.”
Kekuatan akidah ini telah menjadi kunci utama keteguhan orang-orang yang beriman. Tak hanya di masa Rasulullah, tapi juga di masa nabi-nabi sebelumnya. Kisah Asiyah, istri Fir’aun adalah salah satu contoh akan kekuatan akidah ini. Keyakinan yang kokoh ini juga yang membuat seorang ibu melompat ke parit yang menyala bersama bayinya dalam kisah Ashabul Ukhdud.
Karenanya wajar, Islam senantiasa menanamkan akidah dan menuntut agar kaum muslimin terus menguatkan keyakinannya hanya kepada Allah swt. Allah Swt berfirman:
وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوٓا۟ إِلَٰهًا وَٰحِدًا ۖ لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ
“Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia.” (QS. At Taubah: 31)
Akidah yang kuat dan kokoh tentu tidak datang begitu saja. Butuh upaya lebih untuk membuatnya tertancap dan kokoh dalam hati sanubari. Karena itulah Rasulullah membina para sahabat di rumah Arqam bin Arqam. Beliau menguatkan akidah para sahabat hingga mereka memiliki jiwa militan yang sangat kuat. Proses pembinaan yang luar biasa inilah yang mengantarkan para sahabat pada sikap berani menyampaikan kebenaran yang dating dari Rabbnya meski harus menghadapai ujian dan cobaan yang amat sangat berat.
Karena itu penanaman akidah itu harus dilalui dengan proses pembinaan sebagaimana dilakukan Rasulullah. Membina akal para sahabat agar orientasi hidupnya tak lagi tertuju pada dunia. Membina pemikiran para sahabat agar senantiasa menyandarkan segala aktivitasnya pada ketentuan syariat Islam. Membina nafsiyah para sahabat agar mampu menahan segala hawa nafsunya menuju pada kemasiyatan.
Begitulah seharusnya proses pembinaan itu berlangsung di tubuh kaum muslimin. Dengan begitu jiwa-jiwa militan ini akan terbentuk dengan sangat kokoh dan memunculkan sikap berani menyerukan setiap kebenaran dan kuat dalam menahan diri dari berbagai kemaksiyatan.
Khilafah Solusi Tuntas Islamophobia
Melawan islamophobia yang sudah sistemik tentu tidak cukup hanya dengan jiwa militan yang terbentuk dari kekuatan akidah. Sebab Rasulullah pun juga tidak mencukupkan dengan itu. Ketika ujian, cobaan dan intimidasi yang dialami para sahabat terus meningkat Rasul mulai memikirkan cara lain, yakni dengan berhijrah.
Rasulullah mengutus Ja’far bin Abi Thalib untuk memimpin kaum muslimin berhijrah ke Habasyah. Saat itu, negeri tersebut merupakan kerajaan yang dipimpin Raja Najasyi, seorang Kristen yang saleh dan adil. Di sana kaum muslimin akhirnya bisa hidup lebih tenang dan menjalankan syariat Islam karena raja Najasyi sendiri pada akhirnya menyatakan berislam setelah mendengar penjelasan yang sangat gamblang tentang Islam dari Ja’far bin Abi Thalib.
Selain ke Habasyah, Rasulullah pun melakukan negosiasi kepada beberapa kabilah yang datang berhaji ke Mekkah. Sebab hijrah yang diinginkan bukan hanya sekadar pindah biasa, namun Rasulullah berharap hijrah ini mampu membuat syariat Allah tegak di bumi. Dari sekian banyak kabilah, akhirnya suku Aus dan Khazraj dari Madinahlah yang menerima dakwah Rasul dan mempersilakan kaum muslimin untuk berhijrah ke Madinah.
Pasca hijrah ke Madinah, Rasulullah mulai menerapkan Islam secara paripurna di seluruh wilayah Madinah dalam bingkai sebuah negara, Daulah Islamiyah. Hingga kaum Qurays di Mekkah menjadi semakin geram dan terus menebar opini negatif dan narasi miring tentang Islam dan Rasulullah saw. Ketegangan meningkat di jazirah Arab saat itu. Gerakan islamophobia yang dipimpin oleh orang-orang kafir Qurays terus menggalang kekuatan termasuk bersekutu dengan kaum Yahudi yang tinggal di Madinah dan sekitarnya.
Saat itu gerakan islamophobia struktural yang dipimpin oleh Qurays telah mendapat lawan yang seimbang, yakni kekuatan struktural Daulah Islamiyah yang dipimpin langsung oleh Rasulullah saw. Sejak itu pula islamophobia yang awalnya menguat lambat laun berkurang dan akhirnya menghilang.
Mengapa? Karena dengan penerapan Islam secara kafah, semua masyarakat merasakan kehidupan yang tentram, damai dan sejahtera. Sehingga ketakutan mereka pada Islam tak lagi menemukan faktanya. Itulah yang diungkapkan dalam sejarah saat Islam masih berkuasa.
Dalam catatan sejarah, penaklukan Andaluasia adalah contohnya. Penaklukan yang dipimpin oleh Thariq bin Ziyad ini pada awalnya membuat para pendeta bersembunyi dan meninggalkan rumah mereka dalam keadaan ketakutan karena khawatir adanya tindakan balas dendam dari umat Islam. Namun, nyatanya tidak. Mereka dapat kembali ke kampung halaman mereka dan mulai hidup baru di bawah kekuasaan Islam yang adil.
Komunitas Kristen dan Yahudi tetap memegang dan menerapkan hak hukum otonom dalam setiap perselisihan yang tidak melibatkan hak kaum Muslim. Mereka juga mempunyai pemimpin-pemimpin mereka sendiri, seperti uskup dan komite (bangsawan yang ditunjuk) untuk mewakili mereka dalam pemerintahan Muslim.
Demikianlah sejatinya penerapan Islam secara kafah akan mampu menghilangkan penyakit islamophobia yang melanda sebagian besar umat manusia. Islamophobia ini muncul akibat persepsi buruk dan stigma negatif tentang Islam yang dihembuskan para penguasa yang tak menginginkan Islam tegak secara paripurna.
Penutup
Karenanya jiwa-jiwa militan yang telah terbentuk dengan keukuatan akidah ini harus dipahamkan untuk segera berupaya lebih kuat dalam berjuang menegakkan Daulah Khilafah. Karena tanpa khilafah, islamophobia struktural yang kini berkembang akan sulit dipadamkan. Dengan kata lain, secara individual kekuatan akidah menjadi kuncinya dan secara komunal harus ada upaya untuk menegakkan institusi yang akan menerapkan Islam secara kafah. Wallahualam.
Penulis: Kamilia Mustadjab
0 Komentar