Menyoal Toleransi ala Demokrasi



Kegaduhan kembali menyeruak. Kali ini seputar toa masjid dan gonggongan anjing. Pasalnya adalah ketidaktepatan analogi yang disampaikan oleh Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas. Menag menganalogikan gonggongan anjing saat menjelaskan aturan pengeras suara di masjid. Sontak saja, analogi ini menuai kecaman. 


Meski menag telah memberikan klarifikasinya, namun isu semacam ini sepertinya bakal terjadi lagi dan lagi. Serangan terhadap Islam terus saja dilancarkan. Faktanya, kegaduhan ini muncul tak lama setelah polemik tentang wayang haram yang menimpa ustadz Khalid Basalamah dan isu tentang KDRT yang menimpa ustadzah Oki Setiana Dewi. 


Jika dicermati, beberapa kejadian yang hampir berdekatan waktunya itu memang bermuara pada sebuah pandangan. Pandangan ini menuding ajaran Islam tidak memiliki nilai toleransi. Pandangan ini menuntut Islam diposisikan sama dengan agama-agama yang lain sekaligus menuntut agar umat Islam tidak menampakkan keteguhan mereka dalam memegang Islam dan toleran terhadap umat beragama yang lain.  


Padahal toleransi yang dituntut ini justru konsep yang sangat kabur. Mengapa? Karena toleransi ini muncul sebagai produk dari demokrasi. Secara konsep demokrasi dianggap menjunjung tinggi nilai toleransi. Toleransi ini dianggap sebagai solusi bagi berbagai perbedaan dan keanekaragaman yang ada. 


Dalam konsepnya demokrasi memang memberikan kebebasan untuk berekspresi dan berbuat sesuai keyakinannya selama tidak bertentangan dengan kebebasan orang lain. Namun masalahnya, dalam kondisi apa sebuah kekebasan itu dianggap bertentangan dengan kebebasan orang lain ini tidak jelas. Siapa yang berhak menyatakan bahwa sebuah kebebasan itu telah melanggar kebebasan orang lain? Apa standar sebuah kebebasan itu dianggap melanggar kebebasan orang lain?


Parameter yang tidak jelas inilah justru menjadi pangkal munculnya berbagai penistaan dan penghinaan terhadap Islam. Para pembenci Islam bisa dengan bebas menista ajaran Islam dan menghina Allah dan Rasul-Nya. Atas nama demokrasi dan kebebasan berekspresi dan berpendapat, mereka bebas melakukan apa saja. Tapi tidak demikian dengan umat Islam. 


Lihatlah pada praktiknya, kata toleransi ini digunakan dalam agenda “perang opini”. Tujuannya untuk meneguhkan paham demokrasi-sekular-liberal dan menyerang ajaran dan simbol Islam.  


Sebagai contoh, seorang muslim yang menyebut kafir pemeluk agama selain Islam, juga penganut paham kufur seperti sosialisme-komunisme dan sekularisme, dianggap intoleran. Pada saat praktik L68T  disebut sebagai perilaku bejat, amoral dan menyimpang dari Islam, maka penyebutan itu dianggap anti toleransi. Ketika demokrasi, liberalisme dan sekularisme dinyatakan sebagai paham kufur, ini pun disebut intoleran. Ketika ada seruan untuk menegakkan kembali syariah dan khilafah, ada sebagian kaum muslim malah menolak dengan alasan merusak toleransi antarumat beragama dan mengancam keutuhan bangsa.


Sebaliknya, mengakui kebenaran agama selain Islam, melegalkan praktik L68T, menerapkan demokrasi-liberalis-sekuler adalah wujud toleransi. Demikianlah, kata “toleransi” dipakai secara semena-mena untuk menyerang ajaran dan simbol Islam serta meneguhkan sistem demokrasi-sekular.


Karena itu, demokrasi yang meniscayakan model toleransi semacam ini harus segera diganti. Demokrasi inilah yang memicu munculnya banyak konflik horizontal antar umat beragama. Demokrasi inilah yang justru mengusik ketenangan dan kedamaian yang telah tercipta sebelumnya. Karenanya kaum muslimin seharusnya segera sadar untuk membuang sistem yang rusak dan merusak ini dan menggantinya dengan sistem Islam saja. 


Penulis: Kamilia Mustadjab


Posting Komentar

0 Komentar