Pengarusan moderasi beragama sudah merambah memasuki dunia pendidikan, mulai dari anak usia dini, sekolah dasar, sekolah menengah, sekolah atas serta ke perguruan tinggi. Ditjen Pendidikan Islam Kemenag telah melatih fasilitator moderasi beragama untuk mendampingi implementasi moderasi beragama di Sekolah. Fasilitator nantinya yang akan memberikan pelatihan langsung kepada guru dan siswa serta mahasiswa di daerah proyek percontohan di antaranya ada 6 provinsi yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, DI Yogyakarta, dan DKI.
Ikhtiar penguatan moderasi beragama oleh Kemenag juga dengan menyiapkan kader muda sebagai duta moderasi beragama. Tujuannya merekrut kader-kader muda untuk membuat program-program dan rencana aksi ke masyarakat untuk menanamkan nilai-nilai moderasi beragama. Tidak hanya itu, pengarusan moderasi beragama juga terlaksana di sekolah penggerak. Saat ini, Menteri Nadiem bersama Kemenag sedang menggodok materi moderasi beragama untuk menyisipkannya dalam kurikulum Program Sekolah Penggerak. Sekolah telah menjadi tempat pengajaran moderasi beragama yang akan makin menjauhkan generasi muda dari Islam yang benar.
Mereka juga meminta kampus mengawal program moderasi beragama melalui Rumah Moderasi Beragama di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Hal itu tampak jelas dari pernyataan Menag Yaqut bahwa pelembagaan moderasi beragama perlu kontribusi konkret dari PTKIN sebagai pusat moderasi dalam perspektif Islam. Harapannya, PTKIN mampu menjadi pusat pengembangan moderasi beragama. Oleh sebab itu, mereka memaksa PTKIN agar menjadikan moderasi beragama sebagai salah satu isu utama dalam aktivitas belajar mengajar, riset, dan pengabdian masyarakat, dengan fokus pada kajian keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan.
Juga mendorong para mahasiswa menjadi agen moderasi, sebagaimana pernyataan Wakil Menag Zainut saat memberikan pembekalan mahasiswa UIN Alauddin Makassar, Sulawesi Selatan, yang akan menjalani program KKN. Ia mengatakan bahwa mahasiswa sebagai duta moderasi beragama yang menjadi katalisator untuk mendesiminasikan wawasan dan paham keislaman yang inklusif, toleran dan damai.
Sungguh memprihatinkan, lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi tempat mendidik generasi dengan pemahaman Islam yang benar, malah menjadi tempat menyemai moderasi beragama. Padahal, moderasi beragama merupakan pemikiran berbahaya mengancam generasi karena:
Pertama, moderasi merusak keyakinan akan kebenaran Islam. Anggapan semua agama adalah benar membuat generasi menjadi bingung dalam memegang teguh keyakinannya akan Islam karena sangat berkaitan erat dengan akidah generasi. Jika pondasi akidahnya mudah terkoyak sungguh berbahaya. Akidah ibarat akar pohon, jika akarnya tidak kuat maka pohonnya akan mudah roboh. Alhasil, generasi akan mudah rapuh bahkan tidak menutup kemungkinan dengan mudahnya berpindah keyakinan karena tidak memiliki pegangan yang kuat yang tertancap pada pemikiran mereka. Mereka akan berpikir semua agama sama, menuju Tuhan dan surga yang sama, asalkan saling menyayangi, dan saling menghargai. Padahal dalam akidah Islam mengajarkan hanya Islamlah agama yang benar.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surah ali-Imran ayat 19 yang artinya, “Sesungguhnya agama (yang diridai) disisi Allah hanyalah Islam.” Kemudian juga Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surah ali-Imran 85, yang artinya, “Dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.”
Kedua, moderasi menciptakan krisis identitas dan islamophobia. Moderasi beragama makin memperparah kepercayaan diri pada generasi, mereka mengalami krisis identitas akut, bahkan semakin membuka peluang terciptanya islamophobia (ketakutan terhadap Islam). Tidak sedikit orang tua yang terpengaruh pemahaman ini lalu timbul kekhawatiran pada anak-anak mereka, takut dicap radikal. Pada akhirnya berefek pelarangan kepada anak-anaknya untuk berhubungan dengan yang bersifat keagamaan. misalkan berpakaian Muslim yang syar'i seperti berkerudung lebar, gamis, ataupun bagi yang anaknya laki-laki memakai celana cingkrang.
Lebih jauh lagi anak-anak dilarang mengikuti pengajian, takut dianggap ekstrem. Para orang tua menganggap lebih aman jika anak-anak mereka mengikuti kegiatan-kegiatan seni atau olahraga. Menjadikan para orang tua lebih suka anaknya mengikuti aktivitas hura-hura (seperti datang ke konser) daripada ikut kajian Islam dengan kata lain ‘lebih baik liberal daripada radikal’.
Pada akhirnya lahirlah generasi yang hedonis (serba boleh), mengabaikan hukum-hukum Islam, tidak tertarik menjadi Muslim yang taat tapi malah malu menjadi Muslim. Menurut mereka Islam tidak menyenangkan, mereka sangat antipati dengan Islam karena terlalu menintervensi urusan orang lain, mengekang kebebasan mereka. Apalagi dengan dakwah Islam, mereka menganggap ini adalah aktivitas radikal, menganggu ruang privasi orang lain.
Di sinilah letak kesalahannya. Justru sebagai Muslim kita harus bangga menampakan identitas kita sebagai Muslim, berusaha menyebarkan dien ini kepada semua orang. Juga kewajiban kita mempelajari, mengkaji Islam lebih dalam, mencari tahu kebenarannya, dengan bertanya kepada para ulama yang memiliki kapabilitas dalam keilmuannya, agar tidak terjadi kesalahpahaman dan islamophobia ini tidak terjadi lagi pada generasi mendatang.
Allah SWT Berfirman yang artinya, “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Surah al-Mujadilah: 11).
Ketiga, moderasi mencetak generasi sekuler. Dengan moderasi beragama tanpa mereka sadari akan mudah ditanamkan ide-ide sekuler, seperti syariat Islam sudah tidak sesuai zaman, terlalu kaku dan kuno. Yang terpenting adalah esensi ajaran Islam itu sendiri tanpa merujuk pada pemahaman Islam yang sebenarnya. Mereka pun akan berpegang teguh pada nilai moral, toleran, anti kekerasan, ramah terhadap keragaman budaya lokal, walaupun menabrak syariat demi menjaga kerukunan sekalipun kemusyrikan.
Moderasi ini mencekoki anak-anak tidak perlu menerapkan Islam secara keseluruhan karena hidup dalam masyarakat yang plural/beragam dalam bingkai negara yang demokratis. Oleh karena itu Islam hanya bisa diterapkan individu, tidak bisa oleh negara karena akan menimbulkan perpecahan. Mengambil syariat terkait individu seperti ibadah ritual, akhlak, tapi meninggalkan ajaran Islam yang mengatur urusan kehidupan bermasyarakat dan negara (politik, ekonomi, pendidikan, sosial budaya dan sebagainya).
Tentu saja ini sangat bertentangan dalam Islam itu sendiri. Allah SWT Berfirman, yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu” (QS al-Baqarah: 208).
Keempat, moderasi menghalangi pemahaman akan kesempurnaan Islam. Dengan moderasi ini, generasi terhalang untuk mempelajari pemahaman Islam yang kaffah. Yang mereka pahami berislam hanya seputar ibadah ritual saja, misalkan shalat, puasa dan lainnya. Atau pun berakhlak mulia seperti jujur, yang penting tidak mengganggu orang lain, bersikap baik, rajin bersedekah tanpa mengetahui ada kewajiban untuk menegakan kepemimpinan Islam, memakai sistem ekonomi Islam, berhukum Islam dalam kehidupan keseharian termasuk kehidupan bernegara.
Mereka tidak tahu setiap permasalahan yang dialami kaum Muslim saat ini dapat diselesaikan dengan syariat Islam, yaitu menerapkan Islam kaffah dalam individu, masyarakat dan negara. Jika mereka mendapat pemaham Islam yang utuh, mereka akan menyadari Islam itu agama dan sistem yang sempurna mengatur seluruh aspek kehidupan, sehingga dapat menyelesaikan problematika umat.
Kelima, moderasi adalah westernisasi. Moderasi beragama hakikatnya westernisasi (proses pembaratan atau peniruan budaya Barat) di segala aspek kehidupan melalui 4F (fun, fashion, film, food), Barat terus mempropagandakan ideologinya. Generasi Muslim saat ini terjebak dalam arus westernisasi. Mereka sangat tertarik dengan segala sesuatu dari budaya Barat dan merasa rendah dengan budaya Islam. Dianggapnya budaya Islam itu kolot, tidak menyenangkan, kaku, terbelakang yang akhirnya mereka tinggalkan. Sementara pemikiran Barat yang liberal dan sekuler mereka anggap modern dan maju. Inilah yang sesungguhnya mereka inginkan mencetak generasi Muslim yang sekuler dan liberal berkepribadian Barat, sehingga mereka mudah membodohi generasi muslim.
Sebagaimana pernyataan Angel Rabasa (peneliti senior pada RAND Corporation, yaitu NGO yang memberi saran dan masukan ke Security Council Amerika Serikat) ketika ditanya Gus Hamid (Prof Dr. Hamid Fahmy Zarkasy, seorang guru besar filsafat Islam) di sebuah simposium di Tokyo, “Apa itu moderat?” Maka jawabnya, “Moderat artinya adalah orang yang mau menerima pluralisme, feminisme, kesetaraan gender, demokrasi, kemudian humanisme dan lain sebagainya.”
Jika merujuk penjelasan Angel Rabasa kepada Gus Hamid ini, jelas moderasi didesain untuk mendorong umat Islam menerima segala yang dinilai baik oleh peradaban Barat. Dengan kata lain, jika ada umat Islam yang tidak menerima segala yang disiarkan dan dipropagandakan Barat, ia tidak moderat. Oleh karena itu, harus menganggapnya sebagai radikal dan beragam stigma buatan Barat.
Inilah ancaman nyata yang mengincar generasi Muslim. Lantas sikap apakah yang harus kita lakukan? Tentunya tugas kita bersama menjelaskan moderasi bukanlah dari Islam, sangat berbahaya bagi generasi karena dapat menjauhkan dari ajaran Islam yang sebenarnya bahkan bisa memberikan stigma negatif pada generasi Muslim. Moderasi seolah manis, membawa kebaikan dan berbagai kemaslahatan, tapi hakikatnya ia racun berbalut madu yang merusak generasi.
Maka, butuh banyak peran dari berbagai pihak untuk memahamkan hal ini, mulai dari lingkup keluarga, masyarakat, negara juga lembaga pendidikan yang berkaitan erat dengan generasi. Semua harus berperan aktif melindungi generasi. Sayangnya kita tidak akan mendapatkannya dalam sistem kufur saat ini, karena negara malah memiliki peran yang besar dalam merusak generasi.
Perlindungan hanya bisa dilakukan oleh negara yang memiliki sistem yang benar, yang memiliki visi dan misi yang jelas dalam membina dan mengurusi generasi Muslim. Yakni negara yang menerapkan syariat Islam secara kaffah yakni Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah.[]
Penulis: Herna Yuliana
0 Komentar