Isu radikalisme dan terorisme tak henti-hentinya digulirkan oleh pemerintah. Dan selalu saja dikaitkan dengan Islam dan kelompok-kelompok Islam. Sebagai upaya untuk mendistorsi ajaran Islam dan memberi stigma negatif kepada umat Islam. Seperti dagangan yang tak ada habisnya, isu tersebut terus dimunculkan dengan berbagai macam narasi.
Kali ini, yang menjadi sasaran untuk melancarkan propaganda isu terorisme dan radikalisme adalah pondok pesantren dan masjid. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI menyebutkan bahwa terdapat 198 pondok pesantren berafiliasi dengan sejumlah jaringan teroris. Diklaim bahwa penilaian tersebut didasarkan pada sejumlah indikator yang berkenaan dengan radikalisme suatu kelompok.
Indikator yang dimaksud adalah ponpes tersebut memiliki motif untuk masuk ke jaringan teroris, karena memiliki kesamaan ideologi, politik ataupun gangguan keamanan. Ideologi tersebut yaitu pemikiran takfiri, atau mengkafirkan orang yang berbeda dengan kelompoknya. Juga tercermin dari sikap intoleran atau tidak menghargai perbedaan.
Indikator lainnya yaitu anti pemerintah yang sah dan anti pancasila dan pro khilafah. Kemudian mereka menyebarkan hoaks, konten-konten hate speech, adu domba dan sebagainya untuk menyebarkan ajarannya.
Melalui laman CNNIndonesia.com (28/01), Brigjen Ahmad Nurwakhid selaku Direktur Pencegahan BNPT RI menjelaskan bahwa sejumlah jaringan teroris yang eksis di Indonesia mendirikan ponpes untuk mengembangkan ajarannya secara terselubung. Dituding juga bahwa sejumlah pengurus yang bertugas di ponpes adalah anggota aktif dari organisasi teroris. Selain itu, sejumlah ponpes tersebut diduga melakukan penggalangan dana untuk disalurkan ke jaringan teroris sebagai biaya operasional.
Tak hanya terhadap ponpes, pada laman HarianAceh.co.id, Brigjen Umar Effendi selaku Direktur Keamanan Negara Badan Intelije Keamanan Mabes Polir mengatakan akan melakukan pemetaan terhadap masjid-masjid untuk mencegah penyebaran paham terorisme. Bahkan beberapa masjid telah disasar oleh BNPT dan dimasukkan dalam kategori ‘keras’.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Badan Kerja Sama Pondok Pesantren Indonesia (BKsPPI), KH. Akhmad Alim kepada Republika.id (26/1) menyebutkan bahwa mengaitkan ponpes dengan gerakan terorisme berarti mencoreng nama baik pesantren. Sebab menurutnya, pesantren merupakan produk asli pendidikan Indonesia sebelum adanya pendidikan nasional.
Wajar jika selama ini, narasi terorisme dan radikalisme selalu diarahkan kepada Islam dan umatnya. Bukan tanpa alasan, pasca peristiwa 11 September di kota New York, Amerika Serikat (AS) menyatakan war on terrorism (perang melawan terorisme). Bahkan AS siap mengerahkan segala macam cara untuk melangsungkan program War on terrorism tersebut untuk menghentikan segala bentuk tindakan teroris yang ada di seluruh dunia.
Namun realitasnya, narasi war on terrorism ini hanya ditujukan kepada Islam saja. Kekerasan yang terjadi di sejumlah negeri-negeri Islam seperti invasi AS atas muslim Irak dan Suriah, penjajahan Israel atas muslim Palestina, pembantaian Hindu atas muslim India, kriminalisasi Cina atas muslim Uighur, dan genosida yang dilakukan etnis Budha di Myanmar atas pelakunya tak pernah dilabeli dengan sebutan terorisme. Padahal perbuatan mereka terkategori tindakan teror bahkan pelanggaran HAM berat.
Sementara kelompok-kelompok Islam atau oknum muslim yang dicurigai berafiliasi dengan gerakan teroris ditindak tegas, diberi cap teroris, ditangkap bahkan ditembak mati walau keterlibatan mereka baru sebatas dugaan. Karenanya, isu terorisme yang sering diangkat oleh negara-negara Barat ditujukan hanya untuk menyerang Islam. Bahkan dipropagandakan di negeri-negeri Islam tak terkecuali Indonesia. Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah untuk menciptakan framing buruk dan phobia terhadap Islam.
Ajaran jihad dituduh sebagai ajaran yang memprakarsai gerakan teroris. Bahkan mengklaim ponpes yang membahas materi jihad sebagai ponpes yang mengajarkan ajaran teroris. Padahal jihad merupakan perintah yang agung. Dengan jihad ajaran Islam yang mulia bisa menyebar ke seluruh dunia, termasuk semangat jihadlah yang mendorong para Ulama dan santri untuk memperjuangkan kemerdekaan negeri ini sehingga bisa terbebas dari penjajahan.
Dalam Islam, tindakan membuat kerusakan, meneror untuk menciptakan rasa takut kepada masyarakat dan menghilangkan nyawa manusia diharamkan. Semua tindakan tersebut kriminal tersebut tidak disebut sebagai bagian dari jihad. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyebut jihad sebagai tindakan untuk menghilangkan hambatan-hambatan fisik yang akan menghalangi sampainya cahaya Islam bagi manusia. Dalam jihad sendiri, Allah SWT menetapkan batasan-batasan yang wajib ditegakkan oleh umat Islam. Yakni, bahwa jihad harus dilakukan oleh negara, tidak boleh oleh individu atau kelompok.
Jika Daulah Islam melakukan jihad maka pasukan kaum muslimin diharamkan melukai dan membunuh perempuan, anak kecil, orangtua, rakyat yang tidak ikut serta dalam peperangan, termasuk larangan merusak fasilitas umum seperti pemukiman warga, sekolah, rumah sakit, perkantoran, dan infrastruktur. Dilarang juga merusak tanaman dan membunuh hewan kecuali yang ditunggani dalam peperangan.
Karenanya, jihad merupakan perintah Allah Swt yang agung. Bukan tindak kejahatan dan ancaman. Justru saat keutuhan negeri ini tengah berada dalam ancaman gerakan saparatis dan kekayaan alamnya menjadi rebutan negara-negara imperialis seperti yang terjadi saat ini, semangat jihad dari umat Islam di Indonesia harus ditumbuhkan, agar Indonesia bisa terbebas dari penjajahan dan disintergrasi.
Demikian pula dengan isu war on radicalism sebagai kelanjutan dari program war on terrorism. Wacana ini bertujuan untuk memperkuat upaya Barat memadamkan cahaya Islam dan mematikan potensi kebangkitan Islam dan kaum muslimin. Jika terorisme ditujukan pada gerakan fisik, maka radikalisme ditujukan pada gerakan pemikiran.
Barat menargetkan melalui propaganda war on radicalism ini, masyarakat dunia khususnya umat Islam menjadi salah dalam memahami agamanya, meragukan ajaran agamanya, dan takut terhadap Islam. Dengan begitu, kaum muslimin akan enggan untuk mempelajari dan mendalami ajaran Islam. Serta tidak mau menjalankan dan mengemban Islam sebagai sistem kehidupan. Phobia Islam yang meracuni masyarakat akibat fitnah yang dilancarkan dibalik isu radikalisme pun akhirnya menjauhkan umat dari ajaran Islam yang agung.
Sementara ajaran-ajaran Islam seperti Islam kaffah dan khilafah mereka sebut sebagai pemikiran intoleran, anti Pancasila dan anti pemerintah. Lalu para pengembannya mereka tuduh sebagai muslim radikal. Artinya, setiap muslim yang merindukan diterapkannya Islam kaffah dan tegaknya khilafah termasuk jika mereka mendakwahkannya akan disebut sebagai gerakan radikalisme. Lantas war on radicalism menjadi senjata mereka untuk menghantam para pengemban Islam kaffah dan khilafah sekaligus menghambat laju perjuangan penegakan khilafah.
Tentu sikap demikian menjadi ambigu, sebab negeri yang katanya menjunjung tinggi HAM, termasuk memberi jaminan pada tiap rakyat menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya, justru menghalangi umat Islam mendapatkan hak konstitusionalnya, bahkan konsistensi mereka dalam menjalankan ajaran agamanya disebut sebagai sebuah tindak kejahatan.
Jika ketaatan seorag muslim kepada ajaran agamanya seperti menjaga akidah dengan tidak ikut serta dalam perayaan agama lain dinilai ajaran intoleran maka ini sama saja dengan merusak ajaran Islam. Sebab hal tersebut aadalah persoalan akidah sama sekali tidak berkaitan dengan toleransi antar umat beragama.
Demikan pula halnya dengan keinginan umat Islam untuk hidup dalam naungan Islam kaffah. Bukan sebatas tuntutan keimanan, melainkan menjadi tuntutan keadaan. Sebab hanya syariat Islam sajalah yang bisa menyelesaikan semua persoalan manusia dalam kehidupannya. Dalam cengkeraman ideologi kapitalisme, dunia justru semakin kacau dan dilanda masalah yang tak berujung.
Indonesia sendiri saat ini masih dalam ancaman virus corona, ekonomi krisis, utang negara melambung tinggi, pendidikan sekuler gagal membangun generasi berkualitas, kehidupan sosial dalam bayang-bayang kejahatan seksual, juga sistem politik yang gagal menciptakan keadilan dan kesejahteraan. Semua itu akibat dari penerapan hukum buatan manusia dan pengabaian terhadap hukum Islam. Satu-satunya solusi agar Indonesia dapat keluar dari krisis hanyalah dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah. Jika syariat yang mulia ini dimatikan dengan tuduhan radikalisme maka semakin jauhlah Indonesia dari solusi.
Termasuk ide khilafah yang disebut sebagai ajaran sesat dan mengancam NKRI. Padahal hal tersebut sangat bertentangan dengan realitas khilafah itu sendiri. Khilafah justru menjadi sistem negara yang berhasil mempersatukan seluruh umat dan bangsa. Sekaligus menjadi institusi yang menerapkan syariat secara kaffah dan sistem politik pemerintahan terhebat di masanya.
Karenanya, jika Islam diberi framing negatif maka umat akan phobia terhadap Islam. Mereka akan takut untuk mengkaji Islam lebih dalam, termasuk takut istiqamah menjalankan Islam secara kaffah. Takut juga untuk menerima dakwah Islam juga takut jika Islam diterapkan secara kaffah dalam bingkai khilafah. Hingga pada akhirnya umat akan jauh dari Islam, dan semakin tenggelam dalam kesesatan dan kegelapan.
Oleh karena itu, narasi jahat dibalik isu terorisme dan radikalisme harus mendapat perlawanan dari umat Islam. Umat wajib membela Islam dari berbagai macam fitnah yang menyerangnya. Tidak boleh takut dengan ajaran Islam sebab Islam diturunkan oleh Allah sebagai agama rahmat. Umat juga wajib untuk bersungguh-sungguh mendalami Islam, mengamalkannya dan berjuang demi tegaknya Islam. Sebab hanya dengan cara itu sajalah segala bentuk intimidasi terhadap Islam akan dihentikan.
Yang lebih utama adalah, terwujudnya khilafah islamiyah sebagai satu-satunya pelindung Islam dan umat. Selama khilafah tidak ada selama itu pula musuh-musuh Islam akan melancarkan serangannya untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Namun jika khilafah terealisasi, Islam dan kaum muslimin akan meraih kemuliaannya dan terlindungi dari berbagai fitnah keji dan kotor. Syariat Islam akan diterapkan secara kaffah serta dakwah dan jihad akan ditinggikan agar seluruh dunia berada di bawah naungan Islam yang mulia.
Penulis: Suriani. S.Pd.I (Pemerhati Kebijakan Publik)
0 Komentar