Pembangunan gedung pencakar langit di Jakarta terus dilakukan. Sayangnya, kondisi tersebut berbanding terbalik dengan minimnya keberadaan ruang terbuka hijau di ibu kota. Konon Jakarta yang dulunya asri, kini berubah menjadi hutan beton.
Akhir tahun 2021 lalu, dilansir dari laman mediaindonesia.com, 1/12/2021, Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Provinsi DKI Jakarta kembali mematangkan revisi Perda Nomor 1 tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang telah memasuki tahap harmonisasi. Ketua Bapemperda DPRD DKI Jakarta, Pantas Nainggolan mengatakan bahwa pembahasan fokus pada mekanisme pemanfaatan lahan milik warga yang berdiri di zona hijau atau Ruang Terbuka Hijau (RTH). Menurutnya, hal ini cukup krusial dan butuh penyempurnaan di beberapa pasal.
Pantas menjelaskan bahwa penyempurnaan dilakukan pada pasal 113 ayat 2. Di mana pemilik lahan yang berdiri di atas zona hijau kini boleh membuat bangunan berupa hunian dan tempat usaha dengan sejumlah syarat yang telah ditetapkan. Syarat tersebut dimaksud ditetapkan dalam pasal 115 yakni untuk hunian, Lahan Perencanaan (LP) dapat dimanfaatkan maksimal 80% saja, sementara 20%-nya wajib dijadikan RTH dengan lebar minimal lima meter. Sedangkan untuk tempat usaha hanya bisa dibangun 70% sementara 30%-nya untuk RTH (mediaindonesia.com, 1/12/2021).
Dari fakta di atas, kiranya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, di antaranya: Pertama, apakah revisi Perda mengenai RDTR memang ditujukan untuk warga ibu kota yang lahannya masuk zona hijau semata? Warga yang mana? Karena faktanya, banyak wilayah yang dulunya ditetapkan sebagai daerah resapan air dan ruang terbuka hijau, kini menjadi permukiman dan area bisnis. Warga dari kalangan menengah ke bawah kecil kemungkinan bisa sampai membangun kawasan seperti itu. Yang memiliki kemampuan tersebut hanyalah selevel pengusaha.
Buktinya, berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) 1985-2005, terdapat delapan kawasan yang kini sudah beralih fungsi. Daerah-daerah tersebut adalah Kemang, Antasari, Pantai Indah Kapuk, Kelapa Gading, Cengkareng, Pondok Indah, Senayan, dan Sunter. Pada RUTR 1985-2005, Kemang merupakan kawasan yang dulunya hanya diperuntukan bagi permukiman dan daerah resapan air. Namun, kini kawasan tersebut sudah berubah menjadi kawasan perdagangan dan jasa. Pada peta Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) 2014, kawasan itu sudah berubah menjadi zona campuran, miris.
Kedua, alih-alih memudahkan warga untuk memanfaatkan lahan sebagai hunian. Yang terjadi di lapangan justru masih banyak warga ibu kota yang tinggal di wilayah padat penduduk, tidak layak huni dan kumuh. Kebanyakan golongan marginal ini justru tinggal di lahan "ilegal" yang kemudian tergusur karena mereka tidak punya kuasa atas lahan itu. Apartemen mewah dan hotel berbintanglah yang justru makin menjamur di Jakarta.
Menurut catatan Colliers Indonesia, selama kuartal pertama tahun 2018, pasokan apartemen di Jakarta bertambah 5.589 unit yang berasal dari sembilan proyek apartemen. Senada, menurut Ketua Umum Real Estat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mengatakan bahwa ketersediaan apartemen untuk dijual telah mengalami over supply. Dia juga memprediksi penjualan apartemen mengalami peningkatan pada tahun 2022. Tentu, bangunan sekelas apartemen bukan untuk warga ibu kota yang merupakan kalangan menengah ke bawah. Tapi, untuk golongan pengusaha atau warga negara asing.
Ketiga, Idealnya pemerintah sadar bahwa urbanisasi yang tidak terbendung adalah masalah utama masyarakat Jakarta sulit mendapatkan hunian yang layak. Pemerintah harus menekan laju urbanisasi, bukan justru mengalihfungsikan lahan. Tentu masalah ini tidak lepas dari peran pemerintah pusat dalam membuat aturan untuk menekan angka penduduk yang hijrah ke Jakarta.
Keempat, dengan adanya revisi tersebut sangat menampakkan bahwa pemerintah yang mengadopsi sistem kapitalisme liberal ini berwatak "profit oriented", sehingga mengabaikan aspek lingkungan. Padahal, dalam Sustainable Development Goals (SDGs) aspek ekonomi, sosial, lingkungan merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Artinya, hanya model ekonomi yang tunduk pada kepentingan sosial dan keseimbangan lingkungan yang diperbolehkan untuk dibangun dalam periode 2016-2030. Jika demikian, berarti SGDs retorika belaka.
Berdasarkan artikel "The Change and Transformation of Indonesian Spatial Planning after Soeharto's New Order Regime: The Case of the Jakarta Metropolitan Area" dari Departemen Perencanaan Komunitas dan Regional Alabama Agricultural and Mechanical University, Amerika Serikat, ribuan hektar area hijau, daerah tangkapan air, hutan lindung, dan hutan kota di Jakarta berubah menjadi mal, perkantoran, apartemen dan pusat bisnis, bukan permukiman warga (kompas.com, 20/1/2020).
Kelima, revisi ini sangat bertolak belakang dengan komitmen pemprov untuk menanggulangi banjir yang kerap melanda ibu kota. Sebab, jika zona hijau yang masih tersisa di DKI Jakarta dijadikan lahan hunian, perkantoran atau bisnis, maka air hujan tidak akan terserap. Ujung-ujungnya, hujan deras sebentar saja jalan-jalan di wilayah Jakarta akan mudah tergenang dan kebanjiran.
Miris, kondisi tersebut menegaskan bahwa di alam kapitalisme, negara tidak punya wewenang penuh membuat aturan. Campur tangan para kapital senantiasa mewarnai setiap kebijakan yang dilahirkan. Akhirnya, melahirkan paradigma pembangunan kapitalistik yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi dan mementingkan keuntungan.
Buktinya, lahan yang jelas-jelas masuk zona hijau sebagai daerah resapan semakin hari berkurang berubah menjadi bangunan beton. Jargon-jargon yang selalu digembar-gemborkan hanya sebagai pemanis. Rakyat selalu dikorbankan untuk memuluskan ambisinya. Namun, ketika terjadi bencana akibat dampak aturan yang kapitalistik rakyat dikambinghitamkan.
Tentu kenyataan pahit ini berbeda dengan paradigma pembangunan Islam. Dalam aturan Islam negara wajib memenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya termasuk rumah/hunian. Dalam sistem Islam negara merupakan pusat/penanggung jawab penuh dalam pembangunan. Pemerintahan dalam sistem ini sangat independen, sehingga memprioritaskan pembangunan untuk kemaslahatan umat semata. Pandangan dalam sistem kapitalisme justru memandulkan fungsi negara. Negara hanya sebatas regulator.
Mekanisme pembangunan dalam sistem Islam juga sangat memerhatikan hak rakyat. Sistem Islam akan memberikan kompensasi yang setimpal bahkan lebih pada rakyatnya jika ada hak rakyat yang terambil. Sistem birokrasinya juga disederhanakan agar perizinannya mudah. Namun, pemerintah Islam juga akan menerapkan syarat yang harus dipenuhi agar pembangunan tidak mengganggu keseimbangan lingkungan.
Kebijakan berupa master plan yang dibuat pemerintah Islam juga menyertakan semua unsur baik hukum syara', sosial, ekonomi, dan lingkungan. Jika pembangunan yang dilakukan baik di lahan pribadi maupun umum akan menimbulkan bahaya, maka pemerintah berhak menarik izinnya. Jika ada yang melanggar, maka Khilafah tidak segan memberi sanksi tanpa pandang bulu.
Oleh karena itu, berkurangnya zona hijau di ibu kota sejatinya akibat dari paradigma pembangunan kapitalistik. Selama sistemnya masih terus diadopsi dan masih menjadi dasar pemerintah membuat kebijakan, maka cita-cita meraih pembangunan yang ramah lingkungan hanya mimpi. Jika kita menginginkan pembangunan yang fokus pada kemaslahatan umat dan keseimbangan lingkungan. Maka, menjadikan sistem Islam sebagai landasan pengambilan kebijakan merupakan pilihan tepat. Karena selain kebaikan, "the real Islam rahmatan lil alamin" akan tercurah, wallahualam bishawab.
Oleh Anggun Permatasari
0 Komentar