Pepesan Kosong Perlindungan Perempuan dan Anak dalam dunia Kapitalisme


 

Kekerasan terhadap perempuan dan anak terus menerus terjadi dalam dunia kapitalisme. Di Indonesia, kekerasan terhadap anak meningkat selama kurun waktu 2019-2021. Berdasarkan pengumpulan data milik Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), kekerasan pada anak di 2019 terjadi sebanyak 11.057 kasus, pada 2020 terjadi 11.279 kasus, dan hingga November 2021 terjadi 12.566 kasus dengan jenis kekerasan seksual sebesar 45 persen, kekerasan psikis 19 persen, dan kekerasan fisik 18 persen. (cnn.indonesia.com, 9/12/2021).

Dirilis dari sumber yang sama, kekerasan terhadap perempuan terjadi sebanyak 8.800 kasus pada 2019, 8.600 kasus pada 2020, dan 8.800 kasus pada 2021. Adapun jenis kekerasan yang paling banyak terjadi berupa kekerasan fisik hingga 39 persen, kekerasan psikis 29,8 persen, kasus sisanya berupa kekerasan seksual.

Di tingkat Internasional, kekerasan terhadap perempuan mewabah di setiap negara dan budaya. WHO mengungkapkan hasil penelitiannya bahwa 24 persen remaja dari usia 15-19 tahun mengalami kekerasan dari pasangan intimnya. Artinya, satu dari empat orang telah mengalami kekerasan sebelum ia berusia 20 tahun. (graziadaily.co.uk, 18/2/2022).

Beberapa bulan sebelumnya, bbc.com pada 10 Maret 2021 melaporkan bahwa WHO telah merilis data survey di 161 negara antara tahun 2000-2018 (tidak termasuk selama masa pandemi Covid-19), sebanyak 641 juta perempuan mengaku pernah mengalami kekerasan oleh pasangan. Sebanyak enam persen di luar itu, perempuan di seluruh dunia mengatakan telah diserang oleh orang lain yang bukan suami atau pasangan mereka.

WHO juga melaporkan bahwa hampir satu dari empat perempuan yang bertempat tinggal di negara-negara berpenghasilan rendah seperti di Kepulauan Oceania tepatnya di Fiji, Kawasan Asia Selatan, dan Sub-Sahara Afrika lebih berisiko mengalami kekerasan fisik dan seksual dari pasangannya. Sedangkan Kawasan Eropa dan Asia Tengah menurun menjadi satu dari lima perempuan.

Atas permasalahan yang timbul, para pegiat gender dan kaum feminis telah dan tidak kurang dalam menggandeng pemerintah dalam berbagai program nasional dan internasional yang mereka gadang-gadang sebagai solusi. Program Pengarusutamaan Gender (PUG) misalnya, telah diluncurkan melalui Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Hal ini dilanjutkan di berbagai daerah seperti di Kota Tangerang Selatan melalui Peraturan Walikota Tangerang Selatan Nomor 32 Tahun 2018 tentang Rencana Aksi Daerah Pengarusutamaan Gender.

Berbagai peraturan lainnya juga telah dibuat seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protokol Mencegah, Menindak dan Menghukum Perdagangan Orang terutama Perempuan dan Anak, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2012 tentang Perlindungan Anak.  

Selain itu, KemenPPPA juga mempunyai institusi di kepolisian maupun juga rumah sakit untuk menangani korban-korban kekerasan terhadap perempuan dan anak. (kemenpppa.go.id, 23/2/2016). Berbagai Rumah Perlindungan dan Trauma Center (RPTC) dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTDPPA) sudah tersebar di Indonesia. Belum lagi berbagai organisasi masyarakat yang tergabung dalam aksi-aksi feminisme yang bekerja di akar rumput.

Namun, upaya-upaya di atas tak membuahkan hasil. Bahkan, saat sudah mendapatkan sentuhan intensif dari pihak international. Di ranah internasional sejak lama. Kekerasan terhadap perempuan sudah menjadi isu prioritas sejak dilaksanakannya Kerangka Aksi Beijing hasil Konferensi Dunia IV Wanita Beijing tahun 1995. Sepuluh tahun sebelumnya, yakni tahun 1985, konsep kekerasan terhadap perempuan pertama kali diangkat pada Konferensi Dunia Wanita III di Nairobi. Kemudian, Deklarasi mengenai Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan oleh PBB dilakukan pada 1993.

 Di Ranah Internasional, PBB yang sudah berdiri sejak 24 Oktober 1945 telah membentuk United Nations Woman (UN Woman) yang didedikasikan untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Organisasi ini berkerja sama dengan pemerintah dan masyarakat sipil anggota PBB untuk merancang hukum, kebijakan, program, dan layanan yang mereka butuhkan dalam rangka memuluskan target Sustainable Development Goals berupa kesetaraan gender (gender equality).  

Namun, seperti diketahui, kejahatan terhadap perempuan, apalagi anak-anak, kini semakin masuk pada tatanan krisis. Indonesia yang sudah menjadi anggota PBB sejak 28 September 1950 juga mengalami kengerian yang tak kalah parah disbanding negara lainnya di dunia. Artinya, hingga detik ini, hampir 77 tahun solusi kapitalisme untuk perempuan dan anak tak mampu diselesaikan, apalagi dituntaskan.

Diterapkannya kehidupan sekuler kapitalisme dengan kebebasannya dalam berekspresi dan berperilaku justru telah menimbulkan kekacauan di mana-mana, khususnya terhadap perempuan dan anak yang berefek besar pada hancurnya generasi mendatang. Keluarga sudah dihancurkan eksistensinya, dan jika pun masih bersatu, telah kehilangan romantisme dan nilai-nilai moral serta adab yang seharusnya ada dalam sebuah keluarga. Hal ini berbeda dengan Islam.

Islam menempatkan perempuan dan anak-anak dalam posisi mulia sebuah peradaban. Islam memberikan hak-hak perempuan dengan tanggung jawabnya yang proporsional. Demikian pula terhadap anak. Berbagai aturan syariat telah Allah tetapkan untuk menjamin keamanan dan kenyamanan semua pihak, termasuk perempuan dan anak-anak, baik di tingkat individu, masyarakat, maupun negara.

Dalam Islam, kedudukan anak itu sangat spesial. Sejak dalam kandungan , ia dilarang untuk diaborsi tanpa alasan yang dibenarkan syara’. Ketika lahir, ia diberi nama yang baik, di-aqiqah-i, disusui secara sempurna selama dua tahun, diasuh (hadhonah) oleh ibunya sampai ia bisa mandiri dalam memenuhi kebutuhannya sendiri. Sementara ayah memenuhi nafkahnya berupa pemenuhan kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal, keamanan, Kesehatan, juga pendidikannya.

Jika anak yang dilahirkan adalah perempuan, maka kewajiban nafkah dari orang tua berakhir saat memasuki wilayah perkawinan. Lalu suami akan mengambil peran sang ayah untuk dirinya. Jika ayah tak mampu lagi memenuhi nafkahnya, maka akan jatuh kewajiban nafkah anak kepada keluarga dan kerabat pihak laki-laki yang mampu. Jika tidak ada lagi yang mampu memberikan nafkah pada anak tersebut, maka negara akan mengambil kewajiban itu, sehingga tidak ada yang terlantar dalam dunia Islam.

Para perempuan pun tidak akan sempat menerima kekerasan, apalagi berupa kekerasan seksual dan lain sebagainya. Sebab, masyarakat dan negara memegang prinsip dalil Rasulullah saw sebagai berikut:

Rasullulah SAW bersabda, 'Sesama Muslim itu bersaudara. Oleh karena itu, jangan menganiaya dan jangan mendiamkannya. Siapa saja yang memperhatikan kepentingan saudaranya, Allah akan memperhatikan kepentingannya. Siapa saja yang melapangkan satu kesulitan sesama Muslim, niscaya Allah akan melapangkan satu kesulitan dari beberapa kesulitannya di hari kiamat. Siapa saja yang menutupi kejelekan seorang Muslim, Allah akan menutupi kejelekannya pada hari kiamat'.'' (HR Bukhari-Muslim).

Negara akan menegakkan hukum secara tegas, sehingga tidak ada alasan bagi orang lain untuk semena-mena, seperti melakukan kekerasan terhadap perempuan dengan berbagai modelnya. Mereka dapat mengerjakan kewajiban lainnya seperti berkarir dan berdakwah setelah mengurus kewajiban di dalam keluarganya. Hal ini adalah kebebasan perempuan, meski ia telah ditanggung nafkahnya oleh walinya.

Semua tatanan hidup itu tidak mungkin dipenuhi oleh sistem kapitalisme yang terus menerus menghisap darah rakyatnya. Karena itu, ambrukkan kapitalisme, tegakkan peradaban khilafah! Wallahu a’lam.

Oleh Annisa Al Munawwarah
Aktivis dakwah Kampus dan Pendidik Generasi


 

 

 

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar