Perempuan Ibu Kota dalam Penjara Liberalisme

 


Kesetaraan gender menjadi isu yang seakan tidak ada habisnya untuk dikupas. Sepak terjang para pejuang feminisme sangat terasa baik di tingkat eksekutif maupun legislatif. Terlebih, di kehidupan Ibu Kota yang keras. Sayangnya, jargon-jargon yang katanya membela hak-hak perempuan hingga kini belum juga membuat kaum wanita di Jakarta sejahtera seutuhnya.

Seiring berjalannya waktu, kaum feminis juga menginginkan perempuan harus bisa berperan dan memberikan kontribusi setara dengan laki-laki terutama dalam bidang pembangunan nasional. Menurut mereka, hal itu sebagai bentuk emansipasi perempuan dalam mewujudkan kesetaraan. Salah satunya pemberlakukan kuota pencalonan perempuan minimal 30% di parlemen.

Sejalan dengan ide tersebut, dilansir dari halaman bawaslu.go.id,24/11/2020, anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo mengatakan bahwa hal tersebut sangat berpengaruh terhadap keterlibatan perempuan sebagai peserta pemilu di Indonesia. Terlebih lagi terdapat mekanisme diskualifikasi menjadi peserta pemilu yang mampu memaksa partai politik untuk memenuhi kuota minimal 30% perempuan tersebut.

Namun, apakah benar keberadaan wanita di parlemen mewakili kepentingan perempuan dan memberi kontribusi signifikan terhadap pemenuhan hak-hak perempuan? Sayangnya, dikutip dari laman kompas.com,20/1/2022, menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), laporan kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat dalam kurun waktu tiga tahun terakhir yakni 2019-2021.

Selain itu, Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI tahun 2021, terdapat 1.063 kasus kekerasan terhadap perempuan yang 'terlaporkan' di wilayah DKI Jakarta. Dari total 1.063 kasus tersebut, 662 kasus di antaranya adalah korban berusia kurang dari 17 tahun. Adapun perincian kasus kekerasan terhadap perempuan terdiri dari kekerasan fisik (39 persen), kekerasan psikis (30 persen), dan kekerasan seksual (12 persen) (wartakotalive.com,26/11/2021).

Laporan tersebut membuktikan bahwa nasib wanita dan anak tidak ditentukan dari partisipasi kaum perempuan di parlemen. Padahal konon berbagai aturan sudah dibuat berdasarkan kontribusi suara perempuan di jajaran struktur dan organisasi pemerintah. Faktanya, kekerasan dan penindasan masih saja dirasakan kaum hawa.

Terkait kekerasan seksual yang dialami perempuan, maraknya prostitusi daring yang melibatkan anak-anak di Jakarta dan kota-kota penyangganya, terbukti sudah masuk level darurat. Fenomena tersebut seperti 'puncak gunung es' yang harus diselesaikan bersama secepatnya. Awal tahun 2021 lalu disambut dengan terbongkarnya praktik prostitusi anak di beberapa wilayah di antaranya: Apartemen Green Pramuka, Jakarta Pusat, kemudian di wilayah Kelapa Gading, Jakarta Utara, selain itu di Hotel Alona, Kota Tangerang, dan juga prostitusi dan pelecehan seksual yang melibatkan anak-anak di kota Bogor dan Bekasi (republika.co.id, 28/5/2021).

Belum lagi nasib buruh perempuan akibat himpitan UU Cipta Kerja di tengah pandemi. Laman gatra.com, 11/12/2021, mewartakan bahwa Selama pandemi Covid-19, Koordinator Buruh Perempuan FPBI, Khotiah mencatat bahwa banyak buruh perempuan yang mengalami pemotongan gaji hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak. Khotiah mengatakan sudah terdapat sebanyak 10 perusahaan di Jabotabek yang melakukan hal tersebut secara sepihak kepada buruh perempuan. Mayoritas bekerja di perusahaan tekstil.

Tidak hanya itu, bagaimana dengan masalah depresi yang melanda kaum ibu di Ibu Kota? Ditambahkan lagi dengan kondisi pandemi Covid-19 yang membuat orang, khususnya kaum ibu semakin tertekan sehingga menyebabkan meningkatnya gangguan kesehatan mental. Selain itu, menurut catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) depresi anak selama pandemi diduga berujung pada kasus bunuh diri, mengerikan.

Teranyar, BPJS Ketenagakerjaan membuat aturan baru yakni Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT yang diundangkan tanggal 4 Februari 2022. Aturan tersebut terkait klaim layanan Jaminan Hari Tua (JHT). Peserta BPJS Ketenagakerjaan hanya boleh mencairkan JHT saat berusia 56 tahun. Miris, padahal menteri tenaga kerja saat ini adalah Ida Fauziyah dan dia seorang perempuan. Namun, dia tidak punya kuasa apapun terhadap jaminan hari tua bagi pekerja perempuan khususnya. 

Melihat fakta memilukan tersebut, terbukti bahwa keikutsertaan perempuan dalam Parlemen belum juga memberi kebaikan terhadap perempuan. Begitu banyak aturan dibuat untuk menyelesaikan permasalahan perempuan. Alih-alih tuntas, masalah malah datang bertubi-tubi. Angka keterwakilan perempuan di parlemen nyatanya belum mampu merespon masalah utama yang dihadapi oleh perempuan.

Tentu kondisi yang sama juga dirasakan perempuan di kota lain di seluruh pelosok Indonesia. Betapa kemiskinan, pelecehan, penindasan, dan eksploitasi menghimpit kaum perempuan dimanapun ia berada. Nestapa tersebut terjadi tidak lepas dari sistem yang diadopsi dan diterapkan oleh negara kita saat ini yakni sistem demokrasi kapitalisme yang melahirkan liberalisme dan sekularisme. Sistem ini memiliki cara pandang yang khas dan berpengaruh pada kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.

Oleh sebab itu, para perempuan yang katanya berkiprah di jajaran pemerintah pemikirannya terpenjara dengan paham sekuler dan liberal yang diembannya. Sehingga, suara mereka tidak jua membebaskan kaumnya dari keterpurukan. Tanpa mereka sadari, mereka justru menjadi kaki tangan para kapital menjadikan kaumnya barang komoditi ekonomi.

Sejatinya, hukum di sistem sekuler ini tidak mampu memberantas kasus penindasan, kekerasan dan kejahatan seksual pada perempuan dan anak. Faktanya, kasus kian marak, tetapi pelakunya tidak juga jera. Hal tersebut disebabkan hukum dalam sistem kapitalisme memelihara kondisi lingkungan materialistik dan konsumtif. Tidak lain agar sistem ini tetap eksis, salah satunya dengan membuat gempuran propaganda yang mendukung sistem melalui berbagai media.

Karena sistem rusak ini memandang perempuan sebagai komoditas yang layak dieksploitasi. Maka, cara pandang dan berpikir perempuan pun diracuni dengan paham kebebasan atau liberalisme. Sehingga, kaum perempuan terpenjara dalam pemikiran yang salah tentang hakikat kehidupan. Standar kebahagiaan akhirnya hanya sebatas jika mempunyai banyak uang, gelar, kedudukan yang tinggi, dan hal lain yang berstandar pada materi. Gaya hidup hedonistik melanda kaum wanita. Hal ini diperparah karena paham sekularisme yang menafikan aturan agama dalam menjalani kehidupan. 

Sayangnya, pemerintah justru terkesan abai terhadap fenomena yang menimpa perempuan. Pemerintah bahkan mendukung kondisi yang menzalimi kaum perempuan dengan membiarkan perusahaan mengeksploitasi pekerjanya dan melegalisasi prostitusi dengan dalih untuk pemberdayaan ekonomi perempuan.

Sebagai negara dengan Islam sebagai agama mayoritas, sudah sepatutnya berkaca bagaimana agama Islam memandang permasalahan perempuan ini. Sejatinya, Islam merupakan satu-satunya agama dan sistem yang mempunyai solusi tuntas atas permasalahan perempuan, karena ia berasal dari Allah Swt. yang menciptakan manusia beserta alam semesta. Harusnya pemerintah merujuk pada Al Quran dan as sunnah sebagai sumber pembuatan hukum. 

Islam memuliakan perempuan di tengah penghinaan dan penindasan terhadap perempuan. Peran perempuan di keluarga, masyarakat, bahkan bernegara sangat besar dan berpengaruh. Terutama dalam mendidik anak sebagai harapan masa depan dunia. Peran perempuan, terutama ibu sangat menentukan kualitas generasi selanjutnya.

Islam tidak mewajibkan perempuan untuk bekerja, namun tidak juga ada larangan dalam Islam bagi perempuan untuk bekerja. Hanya saja, kini perempuan yang bekerja identik sebagai "alat komoditi" yang justru menguntungkan pihak kapitalis.

Islam mewajibkan kaum pria untuk mencari nafkah, bukan perempuan. Jika tidak ada kepala keluarga, maka kewajiban bagi kerabat dekat untuk membantu saudaranya. Jika kerabat dekatnya juga tidak mampu, maka negara berkewajiban untuk membantu rakyat miskin dengan memberikan zakat..

Islam mengatur kepemilikan untuk pendistribusian kekayaan yang telah Allah anugerahkan. Monopoli kekayaan oleh segelintir orang dilarang dalam Islam. Melalui pengaturan kepemilikan ini, dana untuk penyediaan lapangan pekerjaan, pelayanan publik, pendidikan, dan pemenuhan kebutuhan primer warga negara bukan lagi impian karena semua dikelola dengan adil oleh negara,

Islam tidak melarang perempuan berkiprah di parlemen. Tapi, ada beberapa ranah yang memang tidak bisa diduduki perempuan. Karena sejatinya laki-laki adalah pemimpin bagi wanita. Namun, Islam memiliki sistem dan aturan yang sempurna, sehingga tanpa dominasi suara perempuan di parlemen pun hak-hak perempuan akan terjamin. wallahu’alam bishawab.

Oleh Anggun Permatasari


Posting Komentar

0 Komentar