Isu nuklir Korea Utara dan upaya pelucutannya adalah isu yang akan senantiasa bergulir di kawasan Timur Jauh. Selama Amerika Serikat (AS) masih melihat efektivitasnya, ia akan tetap menjadi strategi politik AS di kawasan ini. Sampai saat ini, isu itu masih jadi strategi permanen politik AS di kawasan Timur Jauh.
AS sebagai negara pertama dan satu-satunya dalam konstelasi internasional saat ini perlu untuk mempertahankan posisinya. AS berambisi agar politik internasional tetap bersifat unipolar dengan ia sebagai kutubnya. Agar kepentingan-kepentingan nasionalnya atas dunia bisa terlaksana dengan mudah. Oleh karena itu, AS akan senantiasa menciptakan suasana agar negara yang berpotensi menjadi pesaingnya tidak sampai muncul lalu menggeser posisinya.
Untuk kawasan Timur Jauh, secara tinjauan strategis, dipandang penting bagi AS. Dari arah Samudera Pasifik, menjadi penting bagi batas-batas AS. Selain itu, di Samudera Pasifik terdapat dua kekuatan besar yang dapat menjadi bahaya terhadap AS. Dua kekuatan itu adalah Jepang dan Cina.
Jepang, saat ini, merupakan negara dengan kekuatan ekonomi yang besar yang dapat mempengaruhi masalah ekonomi internasional. Sebagai bangsa yang mempunyai karakteristik pemberani dan senantiasa melakukan sesuatu dengan baik, Jepang tumbuh menjadi negara industri maju. Dulu Jepang, walaupun negara kecil, tumbuh menjadi negara adidaya dan tak takut menyerang Cina untuk mencaplok satu wilayahnya pada Perang Tiongkok. Jepang juga tidak pernah ragu menyerang AS, karena Jepang menganggap AS berbahaya bagi negaranya. Serangan Jepang terhadap AS yang terkenal adalah serangan terhadap Pearl Harbour pada 7 Desember 1941. Jepang pun pernah bersekutu dengan Jerman ketika Perang Dunia II. Walau akhirnya dinyatakan kalah.
Hanya saja, setelah kekalahannya di Perang Dunia II, AS sebagai pemenang -untuk memaksakan dominasinya- menjadikan industrialisasi Jepang bukan lagi berdasarkan industri perang melainkan berdasarkan perdagangan dan pertumbuhan ekonomi saja. Semua itu untuk mencegah Jepang agar tidak berkecimpung kembali di kancah internasional. Bahkan, saat ini, Jepang dalam konstelasi politik internasional menjadi negara satelit bagi AS. Politik luar negeri Jepang terikat dengan AS dalam ikatan kepentingan.
Sedangkan Cina merupakan emerging country. Kekuatan dan invasi ekonomi Cina ke berbagai belahan dunia lewat program Belt Road Initiative-nya cukup menakutkan bagi AS. Kekuatan militer Cina pun juga cukup menakutkan. Saat Angkatan darat China adalah pasukan darat terbesar di dunia dengan 915.000 tentara tugas aktif, hampir dua kali lipat dari jumlah tentara angkatan darat AS yang berjumlah 486.000 personel, menurut Laporan Kekuatan Militer China 2020 yang dirilis Pentagon. Dan, belanja militer China berada di urutan kedua setelah AS dengan perkiraan pengeluaran sebesar USD 252 miliar.(www.merdeka.com). Saat ini, hubungan AS dan Cina bisa dikatakan laksana perang dingin jilid 2.
Dalam hal ini, AS perlu membatasi gerak dari negara-negara kuat di kawasan Timur jauh, terutama Cina. Akhirnya AS merekayasa problem yang membara untuk menyibukkan Cina. Dengan demikian Cina tidak bisa melebarkan pengaruh politiknya lebih luas lagi. Problem itu adalah provokasi nuklir Korea Utara. Inilah strategi politik permanen AS di Timur Jauh.
AS akan terus memunculkan masalah yang menyibukkan Cina tapi tak membuat kesulitan bagi AS. Karenanya AS senantiasa berambisi untuk melibatkan berbagai negara di kawasan Timur Jauh ini dalam masalah Korea. Seperti yang terjadi baru-baru ini. AS bertemu Jepang dan Korea Selatan di Hawaii untuk membicarakan nuklir Korut. Dan, Menlu AS, Anthony Blinken senantiasa menekankan bahwa Jepang dan Korsel berada dalam pihaknya. “Kami benar-benar bersatu,” kata Blinken setelah pembicaraannya dengan Menteri Luar Negeri Jepang Yoshimasa Hayashi dan Menteri Luar Negeri Korea Selatan Chung Eui-yong. Dan, memastikan dua negara ini akan manut dengan apa yang didiktekan oleh AS. Dia mengatakan negara-negara itu "berkonsultasi dengan sangat dekat" tentang langkah-langkah lebih lanjut yang mungkin mereka ambil dalam menanggapi Korea Utara. (www.dunia.tempo.co)
Inilah strategi politik luar negeri AS di kawasan Timur Tengah. Sebagai kawasan yang trauma dengan penjajahan fisik, kawasan ini tidak akan dijajah oleh AS dengan penjajahan fisik. Tapi, AS akan mengemasnya dengan penjajahan yang sifatnya lebih lembut yaitu penjajahan politik, ekonomi, dan budaya. Bentuknya dengan hubungan-hubungan serta kesepakatan-kesepakatan ekonomi, politik, dan budaya. Sehingga lahirnya tidak seperti dikte-dikte imperialistik tapi hubungan-hubungan internasional.
Hanya saja, yang tidak boleh dilupakan di kawasan Timur Jauh juga Islam sedang berkembang dengan pesat terutama di Indonesia dan Malaysia. Islam ideologi muncul kembali. Gaung penegakan syariat Islam dalam penegakan Khilafah di sana terdengar semakin lama semakin nyaring. Dan, ketika tiba saatnya, Khilafah dengan metode kenabian akan tegak atas ijin Allah, lalu ia akan menggulung kekuatan penjajah dan membebaskan kaum muslimin di seluruh dunia. Allahu Akbar!
Penulis: Rini Sarah
0 Komentar