Proyek pembangunan dan pemindahan ibukota negara yang diberi nama Nusantara telah bergulir. Nusantara sebuah wilayah otonom pada tingkat provinsi, tidak memiliki DPRD, dan akan dipimpin oleh seorang Kepala Otorita IKN yang ditunjuk langsung oleh Presiden RI. UU IKN pun telah disahkan pada 18 Januari 2022 silam.
Menurut buku saku pemindahan IKN yang dimodelkan sebagai smart city-yang dibuat Bappenas-pemindahan IKN dibagi menjadi 3 periode, yaitu: Pertama, periode 2020-2024, yakni pembangunan infrastruktur utama, seperti Istana Kepresidenan, Gedung MPR/DPR, perumahan di area utama IKN. Dilanjutkan pembangunan infrastruktur dasar untuk menunjang 500 ribu penduduk tahap awal. Presiden RI akan resmi pindah ke IKN sebelum 16 Agustus 2024.
Kedua, periode 2025-2035, pembangunan pusat inovasi dan ekonomi, menyelesaikan pemindahan pusat pemerintahan IKN, dan mengembangkan sektor-sektor ekonomi prioritas. Ketiga, periode 2035-2045, pembangunan seluruh infrastruktur dan ekosistem tiga kota untuk percepatan pembangunan Kaltim.
Proyek ini bukan tanpa pro kontra. Berbagai kalangan memandang saat ini pemindahan IKN bukanlah program mendesak. Apalagi di tengah pandemi yang melanda dan berbagai masalah bangsa yang sedemikian kompleks. Namun sesuatu yang sudah digagas dan menjadi keputusan oligarki tentu tak semudah itu diredam. Tanpa memperhatikan hal lain di luar kepentingan dan keuntungan mereka, proyek ini diniscayakan berjalan terus.
Namun belum apa-apa proyek ini sudah menemui beberapa masalah. Pertama, masalah pembiayaan. Anggaran pembangunan dan pemindahan IKN ke Kalimantan, diakui Menkeu Sri Mulyani akan diambil dari anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan APBN. Semula proyek ini hanya dianggarkan Rp466 triliun (angka perkiraan Bappenas), namun Anggota Komisi V DPR Suryadi Jaya Purnama memperkirakan anggaran bisa membengkak menjadi 3 kali lipatnya yaitu menjadi Rp1.470 triliun. (economy.okezone.com) Politisi PKB Luqman Hakim pun memperkirakan minimal pembengkakan anggaran ada di angka Rp 700 triliun (wartaekonomi.co.id). Ini mengingatkan kita pada anggaran Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang dibangun Cina. Anggaran awalnya Rp60 triliun kemudian membengkak menjadi Rp114,24 triliun, sebagian anggarannya juga diambilkan dari APBN.
Sementara tahun ini utang luar negeri Indonesia mencapai Rp6.500 triliun dengan belanja pemerintah untuk membayar utang mencapai Rp350 triliun atau setara dengan 15% penerimaan pajak, sehingga sangat membebani APBN 2022, yang sudah mengalami defisit 3%. Terlebih belum lama ini Indonesia mendapat teguran dari IMF ditujukan kepada BI agar tidak lagi mengalirkan dana ke APBN. Tentu hal ini akan berdampak pada beban APBN, karena tidak lagi bisa mengandalkan support dari BI.
Dalam UU IKN tidak dicantumkan besaran anggaran IKN dan proporsi sumber dananya. Kemenkeu menyatakan akan membuat berbagai skema dengan proporsi masing-masing dan tengah menghitung kemungkinan anggaran yang bisa direlokasi dan di-refocusing dalam APBN 2022 dan membuat ancang-ancang pemanfaatan aset negara (repurposing) yang bisa mendukung anggaran IKN.
Pemerintah sebelumnya memperkirakan kebutuhan anggaran (Rp466 triliun) ini akan dipenuhi melalui APBN sebesar Rp89,4 triliun (19,2%), Rp253,4 triliun dari kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) (54,4%), dan Rp123,2 triliun dari swasta (26,4%). Namun dalam situs ikn.go.id pada 17 Januari 2022 menampilkan perkiraan dari sumber APBN sebesar 53,5% dan sisanya 46,5% berasal dari KPBU, BUMN, dan sektor swasta. Data ini dihapus di situs tsb keesokan harinya.
Kedua, masalah hukum. RUU IKN telah disahkan menjadi UU IKN hanya memakan waktu 42 hari (3 November 2021-18 Januari 2022). Terbilang sangat singkat dan terkesan buru-buru. Berbagai kalangan pun mengkritisi. Legislatif berdalih mereka melakukan pembahasan RUU IKN dengan sangat efektif dan efisien sehingga mampu diselesaikan dengan cepat. Sidang paripurnanya pun berjalan sangat lancar, semua menyetujuinya kecuali fraksi PKS. Di waktu yang sama pemerintah mengatakan UU IKN ini sangat diperlukan sebagai jaminan kepastian hukum bagi para investor.
Mereka yang tergabung dalam Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) telah mendaftarkan Permohonan Uji Formil UU IKN ke Mahkamah Konstitusi pada 2 Februari 2022. Mereka meminta MK menyatakan UU IKN tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Beberapa alasan yang melatarbelakanginya adalah: Pertama, proses penyusunan dan pembentukan UU IKN tidak berkesinambungan. Dalam permohonannya, banyak cacat formil dalam UU IKN. Di antaranya tidak masuk dalam UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN (2005-2025) tapi mendadak muncul dalam RPJM (2020-2024), dan diloloskan DPR. Kedua, UU IKN adalah konspirasi jahat yang dilakukan pemerintah dengan DPR. Mereka menilai pemerintah dan DPR menyembunyikan hal-hal esensial dan strategis (antara lain: rencana induk, struktur organisasi, wewenang otorita, pembagian wilayah, proses perpindahan lembaga negara dan ASN, dan pendanaan) yang seharusnya menjadi konten UU tapi tidak dinyatakan dalam UU IKN, tapi nantinya dimasukkan dalam Peraturan Pelaksana UU dan tersebut akan menjadi wilayah domain penguasa. Ketiga, pemerintah dan DPR tidak memperhatikan masalah efektivitas, terutama masalah sosiologi masyarakat. Terutama dalam penanganan pandemi di Indonesia. Kepentingan publik diabaikan. Keempat, tidak dibuat karena benar-benar dibutuhkan dan kelima, tidak melibatkan partisipasi publik bermakna.
Ketiga, masalah kepemilikan tanah. IKN sedianya akan dibangun di sebagian lahan Kecamatan Sepaku (Kab. Penajam Paser Utara) dan Kecamatan Samboja (Kab. Kutai Kartanegara) dengan total luas 256.000 hektar. Lahan tersebut diklaim adalah murni tanah negara. Nyatanya keluarga besar dan kerabat Kesultanan Kutai Ing Martadipura mengklaim hal yang berbeda, setidaknya 120.000 hektar tanah mereka diklaim milik negara. Semua itu merupakan tanah warisan kepada 6 pemangku hibah Grand Sultan. Sementara sejumlah masyarakat yang menempati atau mengelola sebagian tanah tersebut hanya memegang hak pakai. Hal ini dibantah pemerintah melalui Gubernur Kaltim Isran Noor.
Namun 6 pemangku hibah membeberkan sejumlah bukti atas kepemilikan lahan Kesultanan Kutai Kartanegara yang diklaim menjadi milik pemerintah, di antaranya: Pertama, surat Pengadilan Negeri Tenggarong yang berisikan Surat Ketua Pengadilan Daerah Tingkat II Kutai nomor: W.1.8 PCHT.10-76-A/1997. Disebutkan memandang sangat perlu adanya penetapan kepemilikan tanah adat keluarga besar Kesultanan Kerajaan Kutai Kartanegara/Grand Sultan sebagai jaminan perlindungan hukum bagi setiap ahli warisnya. Kedua, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) no: 05/lhn-1960, Pasal 20, ketentuan konversi Pasal 18 (Grand Sultan) tanggal 24-9-1960, terkait hukum adat, dikuatkan Peraturan Menteri Pertanahan dan Agraria No. 03/1962 UU ini mencantumkan hak kepemilikan yang sah dari keluarga Kesultanan Kutai Kartanegara
Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai nomor: HUK-898/C-43/Ahr080/1973 tentang Penetapan Hak Kepemilikan Tanah Adat Keluarga Besar Grand Sultan. Hak kepemilikan hibah tanah adat Kesultanan Kutai serta isi kandung buminya, meliputi Muara Wahau dan sekitarnya, Bentian Besar dan sekitarnya. Hak kepemilikan tanah adat juga meliputi Sangkulirang, Bontang, Sangatta, Muara Badak, Sanga-Sanga, Anggana, Long Pahangai, Long Iram, Tabang, S.Seluwang, Samboja dan sekitarnya, serta meliputi wilayah kesultanan se-Kabupaten Tingkat II Kutai (mediacakrawala.net)
Proyek IKN dan Kedaulatan NKRI
Megaproyek IKN dengan anggaran yang fantastis ini jelas menimbulkan banyak sekali imbas kepada masyarakat Indonesia. Permasalahannya bukan pada pindah atau tidaknya IKN, tapi kondisi dan kemampuan negara saat ini tidak memungkinkan. Pindah ibukota negara bukanlah hal yang mendesak saat ini, seyogyanya pemerintah bisa menundanya.
Bisa dipastikan dalam proyek seperti ini akan banyak bermunculan para mafia tanah. Ini bisa memengaruhi peningkatan anggaran pembebasan lahan dan merugikan masyarakat. Risiko lain yang mungkin terjadi adalah BUMN/D yang dilibatkan dalam membangun IKN bisa jadi juga akan mengalami masalah keuangan. Dalam hal ini negara harus turun tangan juga menyuntikkan dana lewat penyertaan modal negara, atau swastanisasi BUMN/D. Ditambah lagi besaran dana anggaran yang dibutuhkan dalam proyek IKN ini tidak bisa dipastikan dan cenderung membengkak.
Intinya pada defisit pendanaan, ketidakmampuan finansial negara. Dengan tuntutan pendanaan APBN yang besar dan ketentuan 2022 adalah tahun terakhir defisit anggaran boleh menyentuh angka 3%, maka negara akan berusaha melakukan setidaknya 3 hal, yaitu menambah utang luar negeri, meningkatkan pendapatan fiskal, dan mengurangi porsi anggaran pos yang lain. Untuk membayar beban utang yang bertambah tentu pendapatan fiskal akan digenjot sedemikian rupa. Dalam hal ini tentu lagi-lagi masyarakat yang menderita karena beban pajak yang tinggi dan menurunnya daya beli. Pemotongan anggaran juga akan memastikan berkurangnya pelayanan publik bagi masyarakat atau pemerataan pembangunan di wilayah lain yang akan tersendat bahkan terhenti.
Dari sini sudah terbayang jelas kezaliman yang terjadi. Negara abai akan keselamatan rakyat di tengah pandemi. Hak rakyat dirampas, tidak dipenuhi. Ditambah lagi rakyat masih dibebani dengan pajak yang tinggi, menurunkan daya beli dan daya hidup manusia.
Fakta yang menarik adalah sejumlah pembangunan infrastruktur pendukung di IKN telah dimulai sejak Juli 2020 oleh Kementerian PUPR, yaitu pembangunan bendungan yang diperlukan untuk menunjang pasokan air bersih bagi masyarakat di IKN Nusantara dan mereduksi banjir 55%. Bendungan Sepaku Semoi ini berada di Desa Tengin Baru, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara dan akan rampung pada 2023. Kementerian PUPR juga membangun infrastruktur pendukung penunjang pasokan air bersih, berupa intake dan jaringan pipa transmisi sungai. Selain itu juga tengah mengerjakan proyek Jalan Lingkar Sepaku sepanjang 5,77 km demi memperlancar akses dari Balikpapan ke Pusat IKN. Nantinya akan disusul pembangunan jalan tol dari Bandara Sepinggan di Balikpapan menuju IKN.(bisnis.com)
Jadi beberapa proyek pendahuluan sudah dijalankan selama 1,5 tahun sebelum UU IKN terbit. Padahal pada saat itu Indonesia sudah dilanda pandemi covid19. Nampak jelas bahwa proyek ini telah direncanakan dan akan terus digulirkan bagaimana pun keadaannya. Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Gita Putri Damayana menegaskan hal ini dengan mengatakan pemerintah lebih mementingkan agenda elite daripada UU yang dibutuhkan publik saat ini. Tentu saja yang dimaksud adalah kalangan oligarki.
Ini menjelaskan banyak hal. Alasan pemindahan IKN yang tidak disebutkan dalam UU IKN, fakta yang ada di lapangan menunjukkan bahwa tidak ada satu pun alasan logis untuk meneruskan proyek ini di tengah rengkuhan pandemi dan lilitan hutang luar negeri. Kapitalisasi dan liberalisasi yang dijalankan para oligarki dan dilayani sepenuh hati oleh para penguasa adalah motif paling masuk akal. Hal ini diamini oleh sistem demokrasi yang meniscayakan pembuatan aturan dan hukum dilakukan oleh tangan-tangan manusia yang dituntun oleh para pemilik kepentingan, dalam hal ini yang menguasai modal.
Skenario terburuk adalah ketika proyek ini mangkrak. Akankah kita mengalami nasib yang sama dengan krisis yang menimpa Sri Lanka akibat ketidakmampuan membayar hutang kepada China untuk proyek Pelabuhan Hambantota, hingga akhirnya memberikan saham pelabuhan yang dibangun sebanyak 70% dan hak kelola selama 99 tahun kepada China. Atau seperti Uganda yang terancam kehilangan Bandara Internasional Entebbe, satu-satunya bandara internasional yang menangani lebih dari 1,9 juta penumpang per tahun, akibat jebakan hutang China. Terbayangkah ketika proyek ini mangkrak maka denyut nadi IKN ada di dalam genggaman para investor, berikut SDA yang ada, mungkin juga dengan bentuk kompensasi lainnya. Kita dijarah dan menjadi budak tawanan di negeri sendiri.
Semakin banyak suatu negara melibatkan dana swasta dan asing maka semakin tinggi ketergantungan negara kepada pihak swasta dan asing tersebut. Hingga akhirnya harga mahal harus dibayar berupa hilangnya kedaulatan negara.
Pembangunan (Ibu) Kota dalam Pandangan Islam
Di masa peradaban Islam, setidaknya ibu kota negara Khilafah mengalami perpindahan sebanyak 4 kali. Yang pertama dari Madinah ke Damaskus. Kedua, dari Damaskus ke Baghdad. Ketiga, pasca hancurnya Baghdad akibat serangan tentara Mongol, ibu kota Khilafah berpindah ke Kairo. Terakhir, dari Kairo ke Istanbul. Semua perpindahan tersebut memiliki alasan politik dan mengedepankan kemaslahatan umat.
Dalam Islam, prioritas pembangunan akan mengutamakan hal-hal berikut: Pertama, pembangunan berorientasi pada visi pelayanan umat. Negara akan berfokus pada pembangunan yang lebih urgen memenuhi kebutuhan serta mempermudah rakyat dalam menikmatinya, seperti sistem layanan kesehatan, infrastruktur pendidikan yang merata, perbaikan sarana publik, dan lain-lain.
Kedua, pembiayaan pembangunan tidak boleh dengan skema investasi asing atau utang luar negeri. Negara akan membiayai penuh infrastruktur dengan dana yang bersumber dari Baitul mal, yakni hasil harta ganimah, fai, kharaj, jizyah, usyur, hasil pengelolaan barang tambang, dan sebagainya. Negara juga dapat menarik dharibah (pajak) untuk pembiayaan infrastruktur. Strategi ini hanya boleh terjadi ketika kas baitulmal benar-benar kosong. Itu pun hanya untuk membiayai sarana dan prasarana vital, dan hanya mengambil dari kaum muslim, laki-laki, dan mampu, tidak selainnya.
Ketiga, untuk memindahkan ibu kota baru tentu memerlukan perencanaan yang matang. Pemindahan ibu kota mestinya dilakukan secara optimal dari aspek kota baru yang dibangun, kota yang ditinggalkan, dan selama masa transisi tersebut, pelayanan rakyat tidak boleh terganggu.
Dalam Islam, kapitalisme dan liberalisme akan ditendang jauh-jauh. Konsep kepemilikan akan tunduk kepada aturan syariat. Penguasa akan menjalankan periayahan dengan amanah mengedepankan kemaslahatan islam dan kaum muslimin. Segala aturan tunduk kepada hukum syara’. Sehingga tidak akan berani seorang penguasa untuk bermain mata dengan pengusaha mana pun, atau mempermainkan peri kehidupan rakyatnya, terlebih lagi menggadaikan umat, aset umat dan kepentingan umat demi kenikmatan duniawi. Karena fikrul Islam akan menjaganya dari perbuatan serong atas ketentuan yang telah Allah turunkan.[]
Oleh : Yanti
Aktivis Dakwah Muslimah Depok
0 Komentar