Sumber Pendapatan Asli Daerah atau PAD menjadi bahasan menarik pada rapat kerja (Raker) Komisi II DPRD Kota Bogor dengan Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM (Disperindagkop) pada Kamis 27 Januari 2022. Pembahasan merosotnya PAD Kota Bogor yang begitu tajam dari Rp 1,1 triliun menjadi Rp 960 miliar, menjadi perhatian khusus. Adanya program kerja dari Dinas Perdagangan, Industri dan UMKM (DinKUKMDagin) menjadi sorotan, termasuk adanya kebocoran pendapatan minuman beralkohol (minol) yang dijajakan di Kota Bogor.
Peredaran minol di Kota Bogor sebenarnya sudah dibatasi dengan Peraturan Wali Kota (Perwali) nomor 48 tahun 2019 tentang Petunjuk Teknis Penertiban Minuman Beralkohol di Kota Bogor. Ketua Komisi II DPRD Kota Bogor Edy Darmawansyah mengharapkan DinKUKMDagin bisa mengawasi peredaran minol, agar loss potential (potensi kehilangan) PAD bisa ditekan, karena ini kebocoran yang sangat besar. (repjabar.republika.co.id 28/1/2022)
Miris, ternyata minol menjadi salah satu sumber pendapatan daerah melalui mekanisme pajak yang dipungut dari izin peredaran minol. Kota Bogor yang terkenal dengan sebutan Kota Santri, ternyata PAD-nya ada yang berasal dari minol yang jelas-jelas diharamkan oleh Allah Swt.
Dalam sistem kapitalisme memang tidak memandang apakah kota tersebut religius atau tidak. Selama sistem ini yang dipakai, maka standar materi (demi mendapatkan keuntungan) akan terus digaungkan. Standar halal haram tak akan pernah digunakan. Maka untuk mengubah semua ini dibutuhkan sistem yang memang menjadikan halal dan haram sebagai standar hidup.
Oleh karenanya untuk membersihkan PAD dari harta haram, tak ada jalan lain selain mengubah sistemnya. Sistem yang akan mengubah mekanisme ekonomi sesuai aturan sang pencipta, menghilangkan semua yang diharamkan olehNya. Halal dan haram menurut aturan Ilahi menjadi patokan bahwa yang halal akan membawa pada kebaikan dan keberkahan, sementara yang haram akan membawa kemudaratan (keburukan) serta jauh dari keberkahan. Sistem semacam ini hanya ada dalam sistem Islam.
Islam mempunyai panduan atas semua problematika ini. Penerapan sistem ekonomi Islam telah terbukti mampu menyejahterakan negara dan rakyatnya, tanpa memanfaatkan hal-hal yang telah diharamkan Allah Swt. Peradaban gemilang di masa Rasulullah Saw. menjadi kepala negara, hingga kepemimpinan dari para khalifah setelah beliau, menjadi bukti sejarah yang tak bisa dipungkiri.
Sumber perekonomian negara khilafah bertumpu pada empat sektor, yaitu pertanian, perdagangan, industri dan jasa yang tentu sesuai hukum syara. Juga sumber-sumber yang berasal dari harta milik negara dan milik umum yang dikelola oleh negara. Sumber pendapatannya bukan berasal dari pajak sebagaimana yang diterapkan dalam sistem kapitalis saat ini.
Adapun jika negara mengalami krisis keuangan yang bisa saja terjadi karena faktor peperangan, atau faktor alam seperti kondisi cuaca yang ekstrim sehingga mengganggu pertanian, atau bencana alam yang mempengaruhi ekonomi dan keuangan negara. Atau akibat adanya faktor wabah dengan terputusnya jalur perdagangan. Maka negara khilafah akan berupaya mengefektifkan semua pos pemasukan yang dikelola dalam baitulmal. Jika belum terpenuhi, khilafah akan membuka tabarruat (sumbangan) dari kaum muslimin. Jika masih belum terpenuhi, maka khilafah akan memberlakukan dharibah (pajak). Namun penerapan pajak dalam sistem Islam berbeda jauh dari penerapan pajak dalam sistem kapitalis.
Dalam sistem Islam, pajak hanya akan dipungut jika negara memang dalam keadaan sulit dan kas baitulmal kosong. Pajak dalam sistem Islam tidak dipungut secara merata hanya kepada kaum muslimin yang mampu saja. Syaikh 'Abdul Qadim Zallum mendefinisikan dharibah (pajak) sebagai “harta yang diwajibkan Allah Swt. kepada kaum muslimin untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka pada kondisi ketika tidak ada harta di baitulmal" (al-Amwal fi Daulati al-Khilafah).
Pajak tidak diterapkan secara permanen (terus-menerus). Pajak diwajibkan atas kaum muslimin hanya untuk menutupi kekurangan biaya terhadap berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang diwajibkan, tanpa berlebih. Artinya jika kekurangan biaya tersebut sudah tertutupi maka khilafah tidak boleh lagi memungut pajak. Dengan demikian dalam sistem Islam tidak dikenal PPh (Pajak Penghasilan), PPN (Pajak Pertambahan Nilai), PBB (Pajak Bumi Bangunan), PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah), Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Daerah dan lain sebagainya.
Demikianlah sistem Islam telah mengatur ekonomi dan keuangan negara sesuai syariat Islam. Penerapan sistem ini harus secara integral dalam bingkai negara khilafah. Khilafah tentunya tidak akan menjadikan hal-hal yang diharamkan Allah sebagai pemasukan kas negara. Hal ini sama saja dengan mengundang azab dari Allah Swt.
Allah Al Ghaniy, Allah Maha Kaya, sangatlah luas rezekiNya. Dalam QS. Hud ayat 6, Allah Swt. berfirman yang artinya “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”.
Ayat tersebut tentunya semakin memperjelas bahwa Allah Swt. pasti memberikan rezeki pada setiap makhlukNya. Tentunya rezeki yang halal sesuai hukum syara. Andai saja negeri ini mau melepaskan sistem busuk kapitalisme, dan mengganti dengan menegakkan dan menerapkan sistemNya, yakni sistem khilafah, niscaya tak akan ada lagi sumber pendapatan daerah maupun negara yang berasal dari sesuatu yang memang sudah jelas keharamannya. Meraih keberkahan dunia dan akhirat dengan sistemNya, menyelamatkan pemimpin dan rakyat dari azabNya tersebab hal-hal yang tidak diridaiNya. Wallahu a'lam.
Oleh : Titin Kartini
0 Komentar