Arteria Dahlan dilaporkan oleh sejumlah elemen masyarakat ke Polda Jawa Barat, akhir Januari lalu. Mengutip dari laman cnnindonesia.com tanggal 4/02/2022, anggota Komisi 3 DPR dari Fraksi PDIP ini dianggap telah menyinggung masyarakat Sunda ketika mempermasalahkan pemakaian Bahasa Sunda oleh pihak Kejaksaan Tinggi Jawa Barat di dalam rapat III DPR RI.
Namun, akhirnya kepolisian menghentikan kasus ini karena yang bersangkutan memiliki hak imunitas sebagai anggota dewan. Hak imunitas ini tertuang dalam Pasal 224 UU MD3 dimana anggota DPR tidak dapat di tuntut pidana di depan pengadilan, di pasal 1 karena pernyataan, pertanyaan, pendapat dan di pasal 2 karena sikap, tindakan, kegiatan, di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR. Jika ingin terus dilanjutkan, maka masuknya ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR bukan kepolisian.
Berbeda dengan kasus Edi Mulyadi, yang sama-sama dilaporkan karena dianggap menghina suku Dayak, seketika langsung diproses secara hukum bahkan kini telah menjadi tersangka ujaran kebencian SARA dengan ancaman 10 tahun penjara. Edy dilaporkan karena menyebutkan Kalimantan Timur sebagai tempat jin buang anak, ketika mengkritisi pemindahan Ibukota Negara.
Sementara itu, Peneliti Formappi Lucius Karus menilai hak imunitas DPR ini menjadi tameng untuk melindungi perilaku buruk anggota dewan. Lucius menyampaikan, “Dengan pasal imunitas itu, tak ada batasan benar atau salah, baik atau buruk bagi anggota DPR dalam menjalankan tugasnya. Semua bebas dilakukan, bak surga punya mereka sendiri. Jadi, dalam konteks anggota DPR masih selalu rentan melakukan tindakan yang tidak etis, pasal imunitas akan menjadi tameng yang merusak etika, karena harus melindungi perilaku buruk anggota,”. (beritasatu.com, 05/02/2022).
Dalam UUD 1945 pasal 28D (1) disebutkan: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Faktanya hari ini, penegakkan hukum bak pisau yang tajam ke bawah tumpul ke atas. Ketika kasusnya menimpa rakyat kecil, hukum begitu cepat diproses. Namun saat melibatkan orang besar, tokoh bahkan pejabat dengan nilai kejahatan yang tidak ringan, terkesan berbelit-belit. Apalagi ketika menyeret pihak-pihak yang berbeda pandangan dan atau kritis terhadap kebijakan-kebijakan penguasa.
Kontradiksi ini terjadi di bawah sistem demokrasi yang konon menjunjung tinggi keadilan dan hak asasi manusia. Namun faktanya, tidak semua manusia mendapatkan hak yang sama. Terdapat standar ganda, dimana dalih has asasi diberlakukan dikasus yang satu, sementara dilanggar pada kasus yang lain, tergantung siapa melibatkan apa. Kebebasan berpendapat diberikan tanpa batas pada satu pihak, sementara pendapat dari pihak lain yang kebetulan bersebarangan apalagi dalam bentuk kritikan langsung di vonis sebagai ujaran kebencian, penghinaan, provaktor dan sebagainya.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena demokrasi adalah rumusan hasil akal pikir manusia, yang sifatnya lemah dan serba terbatas. Standar baik-buruk, benar-salahpun kemudian menjadi subyektif tergantung siapa yang merumuskan. Sehingga mustahil akan melahirkan aturan yang benar-benar obyektif dan mampu mengakomodir seluruh kepentingan.
Maka, selama aturan hidup dibuat oleh manusia, selama itu pulalah akan muncul perbedaan, pertentangan, bahkan memicu perselisihan dan kericuhan. Karena semua pihak akan mencoba mempertahankan pendapatnya dan tau mengamankan kepentingannya. Sifat individualistik ini sendiri lahir karena masuknya virus sekulerisme, dimana agama dijauhkan dari kehidupan. Agama hanya dipakai ketika beribadah kepada Tuhan, maka aktifitas diluar itu, termasuk dalam hal membuat hukum atau undang-undang tidak menggunakan aturan agama tapi aturan buatan manusia. Terbukti, dengan sistem buatan manusia, problematika umat yang ada tidak pernah benar-benar tuntas, kecuali hanya parsial (sebagian) dan sifatnyapun sementara.
Oleh karena itu, aturan hidup dan kehidupan tidak boleh datang dari manusia, tetapi harus datang dari yang menciptakan manusia. Karena pencipta tentu paling tahu dengan detail tentang apa-apa yang diciptakannya. Allah SWT adalah pencipta manusia dan seluruh alam semesta sekaligus juga pengatur, Al Khaliq Al Mudabbir. Maka, aturan terbaik yang pasti benar, pasti sempurna dan akan membawa kebaikan adalah aturan dari Allah SWT yang memang diperuntukkan untuk seluruh umat manusia.
Di dalam Islam, tidak ada hak imunitas dalam hukum. Semua akan diberlakukan sama tanpa terkecuali. Motivasinya bukan manfaat ataupun kepentingan kelompok tertentu, tapi motivasi keimanan. Dorongan yang kuat untuk terikat dengan aturan Allah, karena merasa menjadi hamba Allah yang tak pernah lewat dari pengawasanNya dan tak mungkin bisa menghindari siksaNya ketika sengaja berbuat dosa.
Individu yang bertaqwa apalagi yang bersangkutan adalah seorang pejabat akan menjaga betul lisan maupun perbuatannya. Sementara itu umat yang bertaqwa akan terus melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, saling mengingatkan demi kebaikan bersama tanpa ada perbedaan perlakuan ataupun pembelaan, karena halal-haram yang menjadi patokan. Selain itu didukung pula oleh negara yang secara total menerapkan hukum sesuai dengan Al-Quran dan sunah. Maka keadilan akan terwujud tanpa harus gembar-gembor hak asasi manusia, teriak-teriak kebebasan dan sebagainya, tapi penerapannya jauh panggang dari api. Karena seluruh perbuatan manusia pada hakikatnya terikat dengan hukum dari sang pencipta manusia, Allah SWT. Adakah yang lebih baik dari hukum buatan Allah ?
Oleh : Anita Rachman
0 Komentar