Kasus dugaan korupsi pengadaan proyek satelit di Kemenhan mulai mengemuka usai diungkap oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, beberapa waktu lalu. Mahfud mencurigai adanya praktik pencurian uang rakyat yang dilakukan Ryamizard Ryaducu (pikiranrakyat.com, 20/1/2022).
Kasus ini mencuat saat Indonesia digugat oleh London Court of International Arbitration karena Kemenhan tidak membayar sewa satelit sesuai kesepakatan. Kasus dugaan korupsi satelit yang diduga berlangsung sejak 2015 hingga 2021 yang ditaksir merugikan negara hingga Rp515 Miliar (cnnindonesia.com, 18/1/2022).
Menurut Rocky Gerung, dibukanya dugaan perkara pencurian uang rakyat dalam pengadaan satelit Kemenhan, menunjukkan sifat dari area pertahanan yang dimiliki Indonesia adalah abu-abu (law-justice.co, 20/1/2022).
Zona pertahanan Indonesia demikian abu-abu, sebagaimana penilaian yang telah dirilis oleh Transparency International Indonesia (TII) bahwa sejak periode Juni 2019-Desember 2020, sektor pertahanan Indonesia memperoleh skor 47 atau masuk kategori D. Artinya, pertahanan Indonesia berisiko tinggi terjadi korupsi.
Setidaknya, terdapat lima indikator yang digunakan. Pertama, risiko politik dan kebijakan. Kendati memiliki kekuasaan formal yang kuat terhadap pengawasan di sektor pertahanan, dalam praktiknya pengawasan DPR masih belum optimal karena menghadapi konflik kepentingan dan minimnya keahlian atau kepakaran.
Kedua, risiko personil. Meluasnya pengaruh dan kewenangan militer dalam urusan sipil dan dalam penyediaan fungsi keamanan internal belum diikuti sepenuhnya mekanisme tata kelola cukup kuat untuk mengurangi risiko korupsi.
Ketiga, risiko anggaran. Penerapan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik terhambat peraturan kategori informasi terbuka oleh Kemenhan yang ketat. Begitu pula ketidakjelasan pendapatan di luar anggaran yang dihasilkan oleh TNI terutama yang berada di wilayah abu-abu.
Keempat, risiko operasi militer. Indonesia belum memiliki langkah pencegahan anti-korupsi yang kuat. Ironisnya, doktrin militer tidak membahas korupsi sebagai isu strategis untuk operasi.
Kelima, risiko pengadaan. Pengadaan logistik pertahanan sebagian besar bersifat single source dan pemilihan prosedur pengadaan tidak dinilai oleh badan pengawasan eksternal. Alhasil, berpotensi meningkatkan risiko korupsi dalam prosesnya. Kemudian, kewajiban pemenuhan kontrak offset berjalan sangat tidak transparan.
Sementara kualitas transparansi pengadaan rendah. Seperti rincian kontrak tidak tersedia untuk umum dan pembelian kerap tidak diungkapkan. Tidak hanya itu, sebagian besar akuisisi tidak dimasukkan dalam portal pengadaan umum karena hanya dilakukan melalui pemberian langsung atau tender terbatas.
Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, Al Araf mengamini hasil penilaian TII. Menurutnya, situasi sektor pertahanan memiliki risiko tinggi terjadi korupsi yang penting diawasi publik karena nilai anggaran di sektor pertahanan sangat tinggi. Selain itu, dalih kerahasiaannya di sektor pertahanan menjadi sarana pergumulan koneksi politik dalam memperebutkan kepentingan sumber pendanaan.
Demikian pula soal broker ini sudah jadi rahasia umum, bahkan ada yang mengaitkannya dengan mafia. Pemerhati Pertahanan Connie Rahakundini Bakrie mengungkapkan ada mafia alutsista berinisial "Mr M" yang mengambil keuntungan dari transaksi alutsista di Indonesia (cnbcindonesia.com, 3/5/2021).
Pihak ketiga ini umumnya merupakan broker yang menjadi kepanjangan tangan perusahaan asing sebagai penyedia alutsista dengan pihak pemesan dari dalam negeri, dalam hal ini Kementerian Pertahanan maupun pengguna yakni TNI.
Olehnya, perlu aturan yang jelas membuat anggaran yang keluar agar tidak lagi menimbulkan pertanyaan mengenai arahnya. Ada kekhawatiran bagaimana anggaran tersebut terkena mark-up maupun spesifikasinya kena downgrade.
Demikian wajah riil pertahanan Indonesia yang masih terus memperebutkan anggaran untuk kepentingan segelintir orang. Korupsi sistemik yang berlangsung pada proyek alutsista merupakan sinyalemen bobroknya sistem yang menaungi pemerintah saat ini.
Seharusnya, Industri pertahanan dan keamanan merupakan hal krusial bagi kemandirian dan wibawa sebuah negara, akan tetapi dalam sistem pertahanan yang berbasis kapitalistik hanya disibukkan dengan praktik culas.
Pencucian uang misalnya yang seyogyanya dijerat dengan hukuman yang berat karena termasuk dalam extraordinary crime. UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, pelaku hanya dikenakan pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar (pasal 3), padahal jumlah uang rakyat yang dijarah mencapai setengah triliun lebih.
Maka jangan heran, jika wilayah Indonesia mudah diintervensi asing, Malaysia berani mengklaim Malaka dan Cina mendeklarasikan Natuna sebagai milik mereka. Situasi carut marut pertahanan Indonesia, bukan hanya karena perilaku korup pejabat yang berwenang namun konflik kepentingan yang mempertaruhkan keutuhan negara.
Berbeda dengan Islam, persoalan pertahanan erat kaitannya dengan perindustrian, negara Islam fokus pada bagaimana menghasilkan industri berat, baik yang menghasilkan produk untuk konsumen akhir maupun yang menghasilkan alat-alat berat yang dibangun dan diatur dalam satu kerangka berpikir dan paradigma berlandaskan akidah Islam.
Dengan demikian, dengan kepemimpinan ideologis maka peluang pejabat negara melakukan praktik korupsi dapat dikontrol dan diminimalisir, karena konsekuensi hukum yang akan diterima bagi seseorang yang terlibat korupsi amat berat.
Sistem hukum pidana Islam disyariatkan untuk mencegah manusia dari tindak kejahatan. Allah SWT berfirman (yang artinya): Dalam hukum qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, hai orang-orang berakal, supaya kalian bertakwa (TQS al-Baqarah: 179).
Syariah telah menetapkan suatu perbuatan sebagai dosa (dzunûb) yang harus dikenai sanksi. Jadi dosa itu substansinya adalah kejahatan, termasuk pencurian, (Abdurrahman al-Maliki, 1990. Nidzam al-Uqubat).
Had secara bahasa bermakna mencegah, secara syara’ bermakna hukuman yang telah ditetapkan yang hukumnya wajib dalam rangka mencegah seseorang melakukan tindak kriminal yang menyebabkan timbulnya hukuman tersebut, (Ahmad bin Umar asy-Syathiri al-Husaini dalam kitab Al-Yaqut al-Nafis, hal. 184).
Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, pejabat hanya berhak memperoleh gaji atau kompensasi dari tugas atau pekerjaan mereka. Bukan mengambil uang milik rakyat, baik dalam bentuk suap, hadiah, mark up, apalagi menjarah secara terang-terangan. Karena itu hukumnya haram yang berarti membawa dampak pada penerapan sanksi.
Tindakan Nabi saw. yang memeriksa pejabatnya ini kemudian diikuti oleh para Khalifah setelahnya. Karena itu pada zaman Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., beliau menerapkan kebijakan pembuktian terbalik, baik dengan cara mengirim mata-mata maupun atas laporan dari rakyatnya.
Dalam kitab Al-Amwal, karya Abu Ubaid disebutkan, ketika Amru bin as-Sha’q melihat harta para pejabat itu bertambah, maka fenomena itu tidak bisa diterima, hingga disampaikan kepada Umar bin al-Khattab, (Al-Imam al-Hafidz Abu Ubaid, Kitab al-Amwal, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, hal. 282).
Akhirnya, Umar mengirim utusan untuk menemui mereka, di antara Sa’ad dan Abu Hurairah. Umar membagi harta mereka menjadi separuh diserahkan kepada negara, separuh diserahkan kepada mereka.
Oleh sebab itu, mekanisme pembuktian terbalik atau apa yang dikenal dengan prinsip, “Min Aina Laka Hadza (dari mana kamu mendapatkan ini)?” maka seharusnya kekayaan pejabat yang terus menumpuk, diaudit secara ketat, independen dan transparan termasuk proyek penyewaan satelit oleh Kemenhan.
Kitab Mausu’ah Fiqh Umar bin al-Khattab, ada laporan yang sampai ke telinga Amirul Mukminin tentang walinya di Mesir, Amru bin al-Ash ra. karena hartanya bertambah. Beliau akhirnya mengirim mata-mata untuk memastikan keadaan mereka.
Karena itu, merupakan kebiasaan Umar bin al-Khaththab, ketika mengangkat seseorang menjadi pejabat, beliau akan mencatat hartanya, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Kanz al-Ummal, karya ‘Ala’uddin al-Hindi. Dicatat, kemudian dihitung, setelah itu diaudit.
Dimulai dari laporan kekayaan tiap tahun, kemudian dihitung pertambahannya. Jika ada pertambahan yang tidak wajar atau masuk akal maka bisa dimintai pertanggungjawaban.
Itulah cara yang dilakukan oleh khalifah Umar bin al-Khaththab, terlebih di saat pandemi. Sebagaimana Umar melakukan audit terhadap unta yang dibeli oleh Abdullah bin Umar, di saat paceklik. Meski hartanya itu didapatkan dengan cara yang sah, tetapi tidak layak, karena sedang susah dan hidup menderita. Wallahu’alam
Oleh : Rabihah Pananrangi
0 Komentar