Ada Apa Dibalik Perubahan Logo Halal Oleh Kemenag?



Perubahan logo halal yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama menuai polemik. Pasalnya, logo halal yang lama sangat terlihat dan terbaca jelas kata “halal” di logo tersebut. Sedangkan di logo yang baru kata “halal” tak terbaca huruf Ha, Lam, Alif dan Lam secara jelas. Justru logo halal dengan design yang baru terlihat sangat kental dengan simbol salah satu budaya di Indonesia.


Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag) telah menetapkan design logo halal yang baru dan berlaku secara nasional. Penetapan logo tersebut ditanda tangani oleh Kepala BPJPH Muhammad Aqil Irham dan berlaku efektif sejak 1 Maret 2022. Aqil Irham menjelaskan logo halal Indonesia secara filosofi mengadaptasi nilai-nilai ke-Indonesiaan. Bentuk dan corak yang digunakan merupakan artefak-artefak budaya yang memiliki ciri khas yang unik berakterk kuat dan mempresentasikan Halal Indonesia (Bisnis.com, 12/03/2022)


Logo halal baru yang dikeluarkan Kemenag menunjukkan kearifan lokal yang seringkali didengung-dengkan untuk mengakomodir berbagai keberagaman suku, agama, dan adat istiadat yang ada di Indonesia. Kearifan lokal inilah yang senantiasa dikedepankan untuk mengatasi berbagai kasus SARA yang seing terjadi. Hal ini pun dilakukan Presiden Jokowi dengan melakukan ritual di Ibu Kota Baru (IKN) dengan menyatukan 35 tanah dan air yang dibawah oleh 35 pejabat daerah masing-masing.


Ketua Umum MUI Sumatera Barat, Buya Dr, Gusrizal Gazahar mengatakan bahwa logo halal baru yang dikeluarkan oleh Kemenag, menunjukkan semakin jauhnya dari menumbuhkan rasa kebersamaan dalam kehidupan berbangsa. Cita rasa monopoli dan tak memandang sisi lain dari umat, semakin kental dihadirkan. Design logo halal yang baru menyiratkan misi kesukuan tak akan membuat nyaman karena logo tersebut akan dipakai oleh berbagai etnis bahkan sampai ke luar negeri.


Logo halal yang ditetapkan di Indonesia, bukanlah sekedar simbol semata. Tetapi memiliki makna yang besar dan penting khususnya untuk umat Islam yang notabene menjadi agama mayoritas penduduk di Indonesia. Logo halal pada produk makanan dan minuman untuk memastikan “aman’ untuk dikomsumsi oleh umat Islam. Makna “aman” disini dipastikan makanan dan minuman tersebut tidak mengandung unsur-unsur atau bahan-bahan yang diharamkan oleh aturan Islam.


Kemenag sebagai pemegang otoritas label halal yang berkolaborasi dengan MUI dan BPOM. Menjalankan amanat perundang-undangan pasal 37 UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Peran ini harus benar-benar dijalankan sesuai dengan tujuannya untuk menghadirkan kenyamanan, keamanan, keselamatan dan ketersediaan produk halal bagi masyarakat yang mengkomsumsi dan menggunakan produk-produk tersebut.


Namun, pada faktanya walaupun ada label halal di produk salah satu makanan dan minuman, belum tentu dipastikan kehalalannya. Karena label halal rentan dimanipulasi untuk kepentingan tertentu. Sebagai contoh, kebijakan pemerintah yang membolehkan menjual minuman keras (khamr) dengan dalih kearifan lokal. Padahal jelas, bahwa dalam Islam khamr diharamkan untuk dikomsumsi dan diperjualbelikan. Lagi-lagi, dengan berbagai alasan ekonomi aturan pun bisa dirubah sesuai keinginan penguasa yang berkolaborasi dengan pengusaha.


Perubahan logo halal ini dikhawatirkan dapat dimanipulasi dengan berbagai kepentingan dan dalih kearifan lokal. Kekhawatiran bukan tanpa alasan, karena saat ini dengan kita menemukan produk yang tidak halal bebas dijual di mini market. Hal ini tentu sangat membahayakan kaum muslim yang memiliki aturan dan syarat halal dan thayyib ketika mengkomsumsi makanan dan minuman.


Kearifan lokal yang sangat kental dengan adat istiadat, sangat rentan untuk melanggar aturan yang telah ditetapkan aturan Islam. Disinilah seharusnya peran negara dijalan dan kehadirnya untuk melindungi dan menjaga warganya dari berbagai makanan, minuman dan produk lainnya yang akan membahayakan akal dan jiwanya.


Namun sayangnya, kita tinggal dan hidup dalam payung kapitalisme dimana penguasa dalam sistem ini hanya berfungsi sebagai fasilitator dan regulator semata. Penguasa hanya akan melindungi dan menjaga kepentingan warganya dari golongan tertentu. Sedangkan masyarakat lainnya dibiarkan secara mandiri untuk menjaga akal dan jiwanya dari makanan dan minuman yang diharamkan dan berbahaya bagi kesehatan.


Inilah potret buram kehidupan yang hanya menganggap peran agama menjadi urusan privat dan tidak berwenang mengatur urusan kehidupan. Walaupun umat Islam menjadi agama mayoritas, tetap saja kebutuhan mereka untuk dapat mengkomsumsi makanan dan minuman sesuai syariat agama tidak difasilitasi. Justru kepentingan dan kebutuhan minoritas lebih cenderung dilindungi dengan dalil kearifan lokal.


Oleh : Siti Rima Sarinah

Posting Komentar

0 Komentar