Air Bersih Menjadi Barang Langka, Cermin Abai Penguasa



  

"Air adalah urat nadi tubuh kita, ekonomi kita, bangsa kita dan kesejahteraan kita." - Steven Johnson. 

Wajar jika ada masyarakat yang kehidupannya tidak layak ketika air bersih saja sulit untuk mereka dapatkan. Faktanya di zaman serba canggih seperti saat ini, ternyata masih ada warga yang kesulitan mendapatkan air bersih. Kawasan Jakarta Utara, tepatnya di Penjaringan, Muara Angke, sampai hari ini masih mengalami krisis air bersih.

Dilansir dari kompas.com (22/2/2022), warga kampung Blok Eceng, Blok Empang, dan Blok Limbah di Muara Angke, mengaku untuk mandi saja harus menunggu hujan turun. Perkampungan ini telah ada sejak tahun 1989-an, kini dihuni kurang lebih 4.068 jiwa dengan 1.286 kepala keluarga. Pada awalnya mereka masih bisa memenuhi kebutuhan air bersih dengan menggunakan sumur. Tetapi, air sumur tersebut mengalami penurunan kualitas dengan sangat drastis. Baunya menyengat, berminyak, dan asin.

Menurut penuturan warga, krisis ini telah berlangsung 40 tahun lamanya. Selama itu pula warga mau tidak mau harus membeli air isi ulang galon untuk minum. Sementara untuk keperluan sanitasi warga membeli air pikulan  dalam kemasan jerigen. Rata-rata per keluarga harus menyediakan dana kurang lebih Rp.1,14 juta per bulan hanya untuk air. Itu bukan harga yang murah bagi warga Muara Angke karena sebagian besar warga hanya berprofesi sebagai nelayan tradisional. Terlebih saat pandemi melanda, bertambah berat beban warga.

Untuk memberikan solusi atas masalah tersebut, kini pemprov DKI tengah menyiapkan pembangunan kios air di 100 lokasi tahun ini. Pembangunan kios air tersebut telah direncanakan oleh PAM Jaya, badan usaha milik Pemprov DKI Jakarta.

Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Afan Adrianstah berjanji akan mempercepat realisasi pembangunan kios air di tiga blok kampung itu. Namun kios air tersebut nantinya diberikan secara cuma-cuma. Ada tarif yang diberlakukan pemprov untuk setiap air yang digunakan warga tersebut. Tentunya dengan tarif yang murah sesuai Pergub 57 Tahun 2021 tentang penyesuaian tarif otomatis air minum (Kompas.com, 22/2/2022).

Sungguh miris apa yang dialami warga Muara Angke. Air merupakan kebutuhan utama untuk bertahan hidup. Tidak terbayang setiap harinya selama bertahun-tahun lamanya warga memenuhi kebutuhan air dengan membeli air pikulan dengan harga yang mahal. Padahal untuk isi perut pun bisa jadi mereka terlunta-lunta.

Mengapa ini bisa terjadi? Di balik gencarnya pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemprov DKI maupun pusat di berbagai wilayah. Mengapa untuk mengalirkan air bersih ke kawasan Muara Angke sulit direalisasikan?. Sekalinya pemprov memberikan solusi pun, masih harus dengan membayar.

Begitu miris hidup di zaman serba materislistik seperti hari ini. Air yang notabene kebutuhan dasar masyarakat setiap waktunya diperjualbelikan. Di kota-kota besar seperti Jakarta, baik air minum atau air untuk kebutuhan sanitasi memang telah merata semuanya berbayar.

Pemerintah pusat mestinya tidak boleh pula menutup mata akan masalah ini. Jika pemerintah daerah tidak sanggup mengatasi pipanisasi ke wilayah Muara Angke, seharusnya pemerintah pusat memberikan bantuan solutif untuk itu semua. Karena sepantasnya penguasa hadir untuk membuat kehidupan masyarakatnya nyaman dan tentram.

Tapi dengan sistem kapitalisme yang mencengkram negeri ini, tampaknya kehadiran penguasa hanya ada saat hajatan 5 tahunan saja. Saat mereka butuh suara rakyat. Yakni saat mereka butuh anak tangga menuju tampuk kekuasaan. Setelah mereka naik, anak tangga itu pun mereka lempar begitu saja. Inilah fenomena hari ini yang membuat rakyat kecil semakin sulit kehidupannya, sementara orang berduit semakin serakah pada harta.

Islam Solusi Hakiki

Islam menghukumi bahwa air merupakan salah satu kebutuhan dasar dan pokok bagi manusia. Sehingga ia tidak boleh diswastanisasi atau diperjualbelikan pengelolaannya kepada pihak swasta maupun asing sehingga masyarakat harus membeli air kepada mereka.

Rasulullah saw telah dengan tegas bersabda bahwa "Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api". (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Artinya sudah sangat jelas, bahwa air, padang rumput dan api tidak boleh dikuasai oleh individu. Kepemilikannya bukanlah termasuk dalam kepemilikan individu tetapi kepemilikan umum.

Dalam Islam, pengelolaan air wajib berada di tangan negara. Karena masyarakat berhak untuk mendapatkan air bersih secara cuma-cuma. Jika swastanisasi dibolehkan, bisa dipastikan masyarakat harus merogoh kocek dahulu sebelum bisa mendapatkan air bersih. Karena pihak swasta berupaya untuk mengambil keuntungan dari barang atau apapun itu yang ia kelola. 

Dengan sistem yang berjalan hari ini nyatanya bukan hanya pihak swasta yang melulu membisniskan banyak hal dengan masyarakat, namun pemerintahnya pun bertransaksi bisnis dengan masyarakat yang ia pimpin. Karena di alam kapitalisme, penguasa mayoritasnya dari kalangan pengusaha. Itulah mengapa hari ini pemerintahan dinamakan dengan  korpratokrasi. Pemerintah selalu memperhitungkan untung rugi saat menjalankan amanahnya. 

Gambaran tersebut berbanding terbalik dengan sejarah kegemilangan Islam. Yakni saat kekhilafahan berdiri tegak menjadi benteng pertahanan warga negara Daulah Islam. Tergambar pada masa kejayaan Islam, saat itu Rasulullah telah memberikan izin kepada Abyadh untuk mengelola tambang garam. Rasulullah mengizinkannya. Namun, saat mengetahui bahwa tambang garam tersebut merupakan harta milik umum, Rasulullah lalu mencabut pemberiannya tersebut dan melarang tambang tersebut dimiliki pribadi. 

Sepanjang masa kekhilafahan pun begitu tampak jelas para khalifah dari masa ke masa senantiasa mengayomi dan memberikan pelayanan terbaiknya untuk kesejahteraan rakyatnya. 

Tengok saja bagaimana istri dari Khalifah Harun Ar-Rasyid, Zubayda, beliau membangun proyek kanal yang bisa menyediakan air dalam perjalanan dari Baghdad ke Makkah. Padahal jarak dari Baghdad ke Makkah sekitar 25 mil jauhnya. Menurut Michael Wolfe dalam bukunya tentang haji, Zubayda pun membiayai penggalian seratus sumur di sepanjang jalur al-Kufa di Irak Selatan sampai ke Mina di Makkah.

Sementara dilansir dari laman Muslim Heritage, pada abad ke-10 juga terdapat seorang pengawas irigasi yang memiliki pengaruh yang lebih besar dari seorang wali kota. Beliau memerintahkan sekitar 10 ribu pekerja untuk membangun dan memelihara saluran irigasi, bendungan, dan serangkaian 10 noria (teknologi irigasi buatan yang dikembangkan pada masa peradaban Islam) (Republika.co.id, 28/10/2019).

Masih banyak lagi bukti sejarah yang memperlihatkan pada dunia, bahwa para penguasa di masa peradaban Islam mengayomi dan mengurusi persoalan masyarakat. Mereka dengan senantiasa teguh berpegang pada hukum Allah, menjadikan pemenuhan air bersih sebagai prioritas yang harus diatasi. Tidak ditunda-tunda atau bahkan dilalaikan. Karena setiap dari amanah akan dipertanggungjawabkan.

Tidak ada alasan lagi bagi masyarakat untuk mempertahankan sistem tamak ini. Maka bangkitlah sang Khairu ummat, bangkit dengan menerapkan syariah Islam secara Kaffah di bawah naungan institusi Khilafah Islamiyah.

Wallahu'alam

Oleh: Anisa Rahmi Tania

Posting Komentar

0 Komentar