Tak ada rotan akar pun jadi, begitulah kira-kira gambaran kehidupan dalam sistem kapitalisme. Segala cara akan dilakukan demi maraup cuan. Aturan agama (Islam) tak digubris, karena kapitalisme sekulerisme mengajarkan pemisahan agama dari kehidupan termasuk dalam berjual beli. Standar halal dan haram tak dipedulikan.
Seperti kabar satu ini dimana angkot dijadikan tempat menjual miras. Dilansir dari sindonews.com, Tim Kujang Polresta Bogor Kota mendapati mobil angkot berjualan miras di depan Plaza Jambu Dua, Kota Bogor. Dalam patroli tersebut didapati barang bukti minuman keras berupa sembilan dus anggur merah, enam botol anggur putih dan enam botol ciu. (metro.sindonews.com 13/3/2022)
Kejahatan yang diakibatkan oleh miras tak bisa dipandang sebelah mata. Banyak fakta kejahatan yang tersaji, mulai dari yang ringan seperti pencurian, penganiayaan, hingga yang berat seperti pemerkosaan, pembunuhan, dilakukan para pelaku sesudah mengkonsumsi miras. Alhasil, miras merupakan biang dari kejahatan. Pelaku yang minim pemahaman agama tak merasa takut berdosa, ditambah hilang akalnya karena meneguk miras. Sayangnya ketika sanksi pun sudah diberlakukan, peredaran miras tak jua mereda namun justru semakin merajalela dengan berbagai cara.
Negara tidak bertindak secara tegas dalam memberantas miras.
Di satu sisi negara mengatur peredaran miras, namun di sisi lain tidak menghentikan produksi miras oleh pabrik berlisensi, dan adanya izin impor miras. Parahnya, negara mengambil manfaat berupa pajak dan cukai miras.
Dilansir CNN Indonesia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka investasi industri minuman keras (miras) atau minuman beralkohol. Hal itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.
Industri miras sendiri ikut menyumbang pendapatan bagi negara dalam bentuk cukai. Melansir laporan APBN KiTa Februari 2021, penerimaan cukai dari Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) pada Januari sebesar Rp250 miliar. Angkanya minus 15,18 persen secara tahunan. Kementerian Keuangan menuturkan penurunan penerimaan cukai MMEA disebabkan oleh penurunan produksi yang terjadi sejak kuartal II 2020, akibat pandemi covid-19 yang memukul sektor pariwisata. (www.cnnindonesia.com, 01/03/2021)
Selama pabrik miras masih beroperasi, impor miras terus berjalan, bentuk sanksi yang ringan, dan lebih miris lagi ketika pemerintah pun menikmati uang dari hasil pajak dan cukai miras, maka bisa dipastikan peredaran miras tak kan pernah surut. Hal ini lazim terjadi karena negara mengadopsi sistem kapitalis sekuler. Tak ada aturan halal haram yang dipakai, namun justru keuntungan dan manfaat materi yang dijadikan sebagai standar perbuatan.
Berbeda halnya dalam sistem Islam. Islam mempunyai aturan yang jelas tentang makanan dan minuman. Allah Swt. memerintahkan kita untuk makan dan minum yang halal dan thoyib (baik). Sebagaimana firman Allah Swt, “Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi kalian” (TQS al-Baqarah: 168).
Allah dan RasulNya melarang umat Islam untuk meminum khamr. Sebab, hal tersebut termasuk ke dalam perbuatan setan, sebagaimana dijelaskan dalam Surat Al-Maidah ayat 90 yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan."
Islam secara tegas telah mengharamkan khamr (miras) dan memberikan sanksi yang berat bukan hanya kepada peminumnya namun kepada semua pihak yang terkait miras. Dari Ibnu Umar ra, Rasulullah Saw. bersabda "Sesungguhnya Allah telah melaknat khamr, melaknat peminumnya, melaknat pemerasnya, melaknat yang menunaikannya, melaknat pengelolanya, melaknat yang menghidangkannya, melaknat pembawanya, melaknat yang memakan harganya dan melaknat penjualnya" (HR. Al-Baihaqi dalam Syu'abil Iman).
Dari pemaparan ayat serta hadis di atas maka pengguna dan pembuat miras akan mendapatkan sanksi yaitu, untuk penjual maka hukumannya sama dengan peminum miras, selain itu mereka juga mendapatkan laknat dari Allah Swt. dan dosa yang sama seperti peminumnya. Hukuman bagi peminum miras dicambuk 80 kali dilakukan di tempat umum sehingga masyarakat dapat melihatnya sebagai pelajaran. Hukuman ini dijatuhkan setelah adanya dua orang saksi yang adil atau pengakuan dari para pelaku sendiri dengan syarat peminum miras tersebut seorang muslim, baligh, berakal, tidak dipaksa, mengerti akan keharamannya, sehat serta sedang tidak sakit. Jika pelaku sedang mabuk maka ditunggu hingga sang pelaku sadar.
Ini hukuman untuk peminum, lantas adakah hukuman untuk para pembuat dan pengedarnya? Tentu saja ada karena Islam adalah aturan yang sempurna, tak ada satu masalah pun tanpa aturan dan sanksi yang tegas bagi pelanggar aturan.
Jika penjual dan peminum baru melakukannya satu kali maka hukumannya didera (dicambuk). Jika mengulanginya hingga tiga kali masih dengan hukuman yang sama. Namun jika sampai empat kali maka hukuman mati telah menanti baik peminum maupun penjual. Hukuman tidak dilihat dari kadar miras, sedikit maupun banyak tetap mendapatkan hukuman yang sama karena tidak ada dalil yang menjelaskan tentang batas minimal. Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Khamr itu haram karena bendanya itu sendiri (sedikit maupun banyak), sedangkan semua minuman yang lain haram kalau memabukkan."
Pemaparan di atas menunjukkan betapa sistem Islam telah mengatur miras secara terperinci dan komprehensif. Tak ada celah sedikit pun yang bebas dari penerapan aturan tersebut. Institusi penerap aturan dalam Islam disebut dengan khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah.
Penerapan hukum Islam berdasarkan pada Al-Qur'an dan As-Sunah dalam sistem khilafah, akan mampu mewujudkan negeri ini terbebas dari miras, apapun bentuknya. Peran negara yang sungguh-sungguh tanpa memperdulikan keuntungan/manfaat materi, menjadi patokan setiap kebijakan negara. Apa yang sudah jelas diharamkan tak ada kompromi untuk tetap dipertahankan. Jika putih memang putih, jika hitam memang hitam, tak ada abu-abu. Itulah ciri khas peraturan dalam sistem Islam.
Oleh karena itu, apa yang menjadi penyebab kerusakan di masyarakat harus diberantas hingga akarnya. Sehingga kemungkaran dan kemaksiatan tidak akan tumbuh subur dalam naungan syariatNya.
Saat ini kita membutuhkan pemimpin pelindung umat, perisai umat, yang menyadari bahwa setiap kebijakannya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Untuk membebaskan negeri ini dari miras, hanya satu pilihannya. Tegakkan dan terapkan hukum Allah Swt. dalam bingkai Daulah Khilafah. Yang akan menyelamatkan manusia bukan saja di dunia, namun juga di akhirat kelak. Bukan saja umat, tetapi pemimpinnya pun terselamatkan dari pertanggungjawaban yang berat atas kepengurusan umat. Wallahu a'lam.
Oleh : Titin Kartini
0 Komentar