Bagi-Bagi Kursi Menteri, Demi Kejayaan Negeri?

 


 Akhir-akhir ini berhembus kembali isu reshuffle Kabinet Indonesia Maju pimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin. Reshuffle kuat diduga akan terjadi pada bulan Maret 2022 ini. Kabar yang terdengar untuk perombakan kali ini kader dari PAN akan mendapatkan jatah sebagai Menteri dan Wakil Menteri. Demikian info yang disampaikan Bapak Walikota Bogor, Bima Arya Sugiarto, yang sekaligus merupakan kader dari partai pimpinan Zulkifli Hasan tersebut. (www.tribunnews.com, 12/03/2022)

PAN memang merupakan salah satu partai pendukung pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Diketahui, PAN telah menyatakan diri mendukung pemerintahan Jokowi melalui Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II PAN pada 31 Agustus 2021.

Namun, hingga kini, PAN tidak kunjung mendapatkan posisi di Kabinet Indonesia Maju. Isu masuknya PAN ke kabinet pertama kali disuarakan politisi PKB, Luqman Hakim. Luqman mengatakan, jika reshuffle terjadi pada akhir Maret 2022, PAN akan mendapatkan satu kursi menteri plus wakil menteri. Bima Arya digadang-gadang sebagai kandidatnya. Walaupun dalam keterangan persnya beliau tidak mengakuinya.

Dalam praktik demokrasi, berbagi kekuasaan ala politik dagang sapi sudah biasa terjadi. Secara sederhana politik dagang sapi lazim didefinisikan sebagai praktik politik transaksional jual beli kekuasaan sebagai imbalan dukungan yang diberikan parpol atau elit bagi capres tertentu dalam pemilu. Biasanya, pola relasi yang dibangun berdasarkan kepentingan taktis pragmatis jangka pendek. Prinsip utamanya tentang bagaimana cara mendapatkan dan mengakumulasi kekuasaan politik.

Untuk mengakomodir bagi-bagi kekuasaan, hal-hal yang tak efisien pun dilakukan. Seperti mengadakan posisi jabatan Wakil Menteri. Karena posisi Menteri yang jadi pembilang yang terbatas tidak sesuai dengan jumlah pembaginya. Posisi Wamen sendiri pernah dikomentari oleh Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri. Beliau mengatakan penambahan pos wakil menteri pada kabinet pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Beliau menambahkan bahwa Wamen itu tidak perlu, karena banyak Menteri sudah bekerja dengan baik. (www.national.tempo.co, 15/10/2011)

Tetapi, hal ini terjadi juga saat ini. Senada dengan Ibu Mega, nggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Guspardi Gaus, Kamis (6/1/2022), berkomentar ketika ada  penambahan posisi Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) yang tetapkan lewat Peraturan Presiden Nomor 114 Tahun 2021 tentang Kementerian Dalam Negeri. Guspardi Gaus mengatakan ini bisa menjadi beban politik dan menambah beban APBN. Dari segi anggaran, posisi Wamendagri ada di atas direktur jenderal (dirjen) sehingga bisa menjadi beban anggaran. (www.kompas.id) 

Di lain pihak, orang-orang yang menjadi wakil parpol yang diangkat menjadi menteri atau wakilnya belum tentu mempunyai kemampuan dalam mengampu amanah tersebut. Selama 2 tahun Jokowi dan Ma'ruf Amin menjabat, banyak kursi menteri diisi pengurus atau bahkan ketua partai politik. Dampaknya, kinerja menteri terseok-seok.

Pakar Komunikasi Universitas Airlangga Surabaya Dr. Suko Widodo menyebut, banyaknya menteri yang berasal dari parpol merupakan konsekuensi dari koalisi. "Ini konsekuensi dari pemerintahan hasil koalisi, jadi harus bagi-bagi kekuasaan," ujar Suko.

Menurut Suko, banyak menteri di era Jokowi-Ma'ruf, bukan pilihan dari presiden. Pilihan menteri itu, banyak ditentukan oleh partai pengusung. (www.detik.com, 20/10/2021).

Sependapat dengan Suko, Pengamat Politik, Ujang Komarudin mengatakan, "Kinerjanya masih biasa-biasa saja. Masih standar. Belum sesuai harapan rakyat. Kerjanya masih rata-rata. Jadi belum ada yang menonjol.” (www.kontan.co.id, 19/9/2021).

Ujang menerangkan, porsi menteri dari lingkup parpol akan lebih banyak ketimbang non parpol. Hal tersebut lantaran, terkait dengan akomodasi politik partai-partai koalisi gemuk pemerintah. Komposisinya bisa 60%, lanjut Ujang. Kalau faktanya seperti ini, bagi-bagi menteri dengan kejayaan negeri laksana jauh panggang dari api.

Sejatinya, demokrasilah yang menjadi sumber terjadi koalisi dan politik dagang sapi. Ketika seseorang ingin menjadi Presiden dalam sistem demokrasi harus diusung oleh Parpol. Hal itu tertuang dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 5 Ayat (4) UU itu menyatakan, pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR. Tentunya tidak ada dukungan yang gratis. Konsekuensinya, ketika sudah terpilih harus ada bagi-bagi kekuasaan bagi parpol pendukung dan pendukung lain non parpol. Jelas ini merupakan kezaliman. Kekuasaan hanya dibagi-bagikan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Bukan digunakan untuk mengurusi kepentingan rakyat. Tentu saja hal ini harus dihentikan. Caranya dengan mengubah sistem pemerintahan demokrasi.

Satu-satunya sistem yang menjamin bahwa kekuasaan tidak akan menjadi ajang bagi-bagi kekuasaan adalah khilafah. Khilafah merupakan sebuah sistem pemerintahan yang diamanahkan Allah Swt. dan dicontohkan oleh Rasulullah Saw.

Dalam sistem Islam, kekuasaan dimaknai sebagai sarana untuk menegakkan Islam. Tegaknya Islam dengan wasilah kekuasaan digunakan untuk menaungi dan memberikan kemaslahatan kepada siapa saja yang bernaung di bawahnya. Bukan untuk kepentingan golongan tertentu.

Agar bisa naik menjadi Khalifah (pemimpin negara Islam/khilafah) seseorang tidak perlu juga mendapatkan dukungan dari parpol. Selain itu prosesnya pun cepat dan murah. Hanya diperlukan waktu 3 hari 3 malam tidak lebih.

Misalnya, pengangkatan para Khulafaur Rosyidin. Abu Bakar dipilih oleh Muhajirin dan Anshar sebagai Ahlul Halli wal ‘Aqdi di Saqifah Bani Saidah pasca Nabi Saw. wafat. Umar bin Khatthab dipilih berdasarkan istikhlaf (penunjukan pengganti) oleh Abu Bakar meski ini sifatnya hanya pencalonan (tasyrih), bukan pengangkatan Umar sebagai Khalifah. Umar baru menjadi Khalifah setelah dibaiat oleh umat setelah Abu Bakar wafat.

Utsman bin Affan dipilih oleh Panitia Enam yang dibentuk oleh Khalifah Umar di bawah pimpinan Abdurrahman bin Auf setelah peristiwa penikaman terhadap Umar. Adapun Ali bin Abi Thalib dipilih oleh mayoritas umat Islam di Kota Madinah dan Kufah pasca Utsman terbunuh.

Ketika para khalifah memimpin menggunakan kekuasaan yang telah diamanahkan oleh umat untuk menegakkan hukum Islam, mereka pun terkenal dengan keseriusannya mengurusi seluruh urusan umat. Bukan hanya manusia tetapi makhluk lainnya. Bahkan ada yang meriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Khatthab memerintahkan untuk meratakan jalan agar tak ada seekor keledai pun yang terperosok. Hal ini dilakukan Umar semata mengingat begitu beratnya amanah yang dibebankan pada seorang pemimpin. Khalifah Umar Bin Khatthab berkata: “Seandainya seekor keledai terperosok di kota Baghdad pasti Umar akan diminta pertanggungjawabannya (oleh Allah), seraya ditanya: Mengapa tidak meratakan jalan untuknya?”

Para khalifah menyadari akan konsekuensi amanah kekuasaan. Jabatan bukanlah tempat empuk untuk meraup ketenaran, kekuasaan, harta apalagi wanita. Sebagai contoh, jabatan dalam pandangan Khalifah Umar, sebagaimana pesan Nabi Saw. kepada Abu Dzar, adalah amanah (wa innaha amanah) yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT di akhirat kelak. Dengan kata lain, jabatan sesungguhnya adalah beban. Jika jabatan itu tidak didapat dengan cara yang benar dan tidak ditunaikan dengan dengan sebaik-baiknya, ia akan membawa pada kehinaan dan penyesalan (hizy[un] wa nadâmah). Wallau a'lam bishowab.


Penulis : Rini Sarah

Posting Komentar

0 Komentar