Munculnya label halal baru yang dikeluarkan kemenag mendapat bermacam respon dari kalangan masyarakat. Ada kesan bahwa kemenag terlalu “memaksakan diri” dalam membuat khat huruf hijaiyah hingga menyerupai bentuk gunungan dan motif surjan atau lurik gunungan pada wayang kulit yang berbentuk limas, lancip ke atas.
Meskipun banyak mendapat sorotan dan kritikan namun kemenag telah menetapkan bahwa logo itulah yang resmi menggantikan logo halal yang dikeluarkan MUI sebelumnya. Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag, Aqil Irham
menyebut bentuk dan corak logo yang baru seperti artefak budaya dengan ciri khas yang unik dan berkarakter kuat untuk merepresentasikan halal Indonesia.
Salah satu alasan yang mengemuka adalah pertimbangan cita rasa nusantara (Indonesia). Tapi realitanya justru logo tersebut lebih tampak sebagai gambar gunungan yang ada dalam dunia perwayangan. “Jadi logo ini tidak bisa menampilkan apa yang dimaksud dengan kearifan nasional tapi malah ketarik ke dalam kearifan lokal karena yang namanya budaya bangsa itu bukan hanya budaya Jawa, sehingga kehadiran dari logo tersebut menurut saya menjadi terkesan tidak arif," demikian ungkap Wakil Ketua MUI, Anwar Abbas sebagaimana dilansir Tribunnews.com (14/03/2022)
Pertimbangan cita rasa nusantara ini pulalah yang menyebabkan salah seorang tokoh membuat pagelaran wayang yang menjelek-jelekkan ajaran Islam, sunnah Rasul dan sekaligus menghina ustaz Khalid Basalamah. Dianggapnya wayang adalah budaya nusantara yang perlu dilestarikan sehingga tidak boleh diharamkan.
Pertimbangan cita rasa nusantara ini juga yang membuat Presiden Joko Widodo melakukan ritual Kendi Nusantara, yakni menyatukan air dan tanah dari 34 provinsi Indonesia, di titik nol Ibu Kota Nusantara atau IKN Nusantara pagi hari ini, Senin 14 Maret 2022. "Prosesinya adalah para gubernur membawa tanah dan air dari masing-masing wilayah di mana diambil dari titik-titik lokasi yang tentunya sesuai dengan kearifan lokal masing-masing dan budaya masing-masing," demikian penjelasan Kepala Sekretariat Presiden, Heru Budi Hartono sebagaimana Tempo.co, 14 Maret 2022.
Pertimbangan cita rasa nusantara ini pada akhirnya terlihat sebagai sebuah narasi yang terus dimunculkan dalam berbagai kebijakan pemerintah. Ada kesan bahwa narasi ini digunakan untuk memuluskan berbagai program pemerintah sambil memukul mundur perjuangan kaum muslimin. Sebab nusantara mengandung makna kebhinekaan yang kemudian ditarik kepada tuntutan untuk bersikap toleran terhadap berbagai perbedaan yang ada.
Pembahasan toa masjid dan suara adzan beberapa waktu yang lalu adalah salah satu contohnya. Dan kini label halal pun demikian. Wajar jika ada yang berpendapat bahwa ini adalah salah satu upaya untuk menyempitkan peran MUI. Bahkan ada pula yang menghubungkan dengan prediksi alm. Ustaz Tengku Zulkarnain, bahwa target selanjutnya setelah pembubaran HTI dan F_Pi adalah MUI.
Serangan kepada Islam di balik narasi nusantara dan kebhinekaan saat ini kian nyaring terdengar. Ditambah dengan kebijakan suka-suka ala pemerintah dalam memutuskan libur nasional, pembatasan mudik saat hari raya kaum muslimin, penegakan hukum yang serampangan terhadap para terduga teroris dan sebagainya. Lengkap sudah. Seolah Islam dan kaum muslimin adalah pihak oposisi yang senantiasa “memusuhi” pemerintah.
Padahal apa yang dilakukan kaum muslimin adalah bagian dari pelaksanaan syariat Islam, yakni melakukan amar makruf nahi mungkar. Bukan semata karena haus kekuasaan, bukan pula karena kebencian yang tak mendasar. Apalagi persoalan yang banyak terjadi di negeri ini justru disebabkan oleh penerapan sistem kapitalis, bukan karena penerapan syariat Islam secara kafah.
Karenanya menyuarakan Islam yang hak harus terus dilakukan agar masyarakat memahami bagaimana penerapan Islam yang kaffah bisa membantu menyelesaikan berbagai persoalan yang ada. Jangan sampai masyarakat justru tidak mau berubah ke arah yang lebih baik dan terjebak dengan berbagai narasi terkait nusantara kemudian hidup di bawah bayang-bayang wayang yang dianggap sebagai budaya dan kearifan lokal yang harus terus dipertahankan. Naudzubillah.
Penulis: Kamilia Mustadjab
0 Komentar