Muncul tagar #RitualSyirik di media sosial twitter saat Presiden Joko Widodo menggelar ritual kendi nusantara pada acara kemping di titik nol IKN 14-15 Maret 2022 lalu. Gubernur seluruh Indonesia diminta membawa masing-masing 2 kilogram tanah dan 1 liter air dari daerahnya masing-masing untuk kemudian disatukan dalam sebuah kendi. Presiden mengucapkan terimakasih kepada para gubernur dan menyampaikan bahwa ritual ini merupakan bentuk dari kebinekaan dan persatuan yang kuat dalam rangka membangun Ibu Kota Nusantara (IKN).
Ritual ini mengudang reaksi dari banyak pihak, tidak hanya tokoh agama, tapi budayawan hingga pengamat politikpun ikut bersuara. Antropolog Sipin Putra kepada Kompas.com, Senin (14/3/2022) mengatakan, dalam kepercayaan (believe) masyarakat Jawa ada sebuah kebiasaan yakni membawa segenggam tanah dari tanah kelahiran mereka ketika hendak merantau. Tujuan mereka melakukan hal itu adalah supaya selalu ingat akan tanah kelahirannya, betah di perantauan, dan lancar dalam bekerja.
Sementara itu pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun kepada Kompas.com, Minggu (13/3/2022) menyebutnya sebagai politik klenik. "Politik klenik itu menunjukkan suatu kemunduran peradaban politik. Praktik itu bertentangan dengan rasionalitas masyarakat modern. Sebab politik modern yang menghadirkan pemerintahan modern meniscayakan syarat rasionalitas dalam seluruh implementasi kebijakannya. Membawa kendi berisi air dan tanah dari 34 provinsi itu sesuatu yang irasional," ucap Ubedilah.
Berbeda halnya dengan budayawan Isfan Afifi yang menilai ritual kendi nusantara bukan bentuk klenik, tapi lebih kepada pelestarian tradisi atau budaya. Menurut Irfan, ritual ini merupakan perwujudan doa atas harapan agar IKN sebagai ibu kota negara baru bisa sukses. (Kompas.com, 14/03/2022).
Itulah yang terjadi ketika konsep baik buruk, benar salah diserahkan kepada manusia. Semuanya menjadi bias dan relatif hingga cenderung memunculkan perselisihan. Maka standar yang digunakan haruslah standar agama. Di dalam Islam segala perbuatan akan bernilai ibadah ketika memenuhi tatacara dan tuntutan dalil yang jelas. Bagaimana agar doa ataupun aktifitas yang lain bisa diterima disisi Allah dan membawa keberkahan bagi seluruh umat. Allah berfirman dalam Al Quran Surat Al Hasyr ayat 7 “...Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah...” Juga hadist Rasulullah “Siapa yang mengada-adakan -dalam urusan (agama) kami ini- sesuatu yang tidak berasal darinya, maka hal itu tertolak”. (HR Bukhari)
Dari ritual kendi nusantara tersebut, selain dasar dalilnya tidak jelas, perlu dikritisi juga dari sisi tujuan digelarnya ritual, yang disebutkan sebagai simbol kebinekaan dan persatuan. Mungkinkah persatuan terwujud hanya dengan sebuah ritual? Sementara fakta menunjukkan sebaliknya, dimana pemerintah justru meng-amin-kan pengkotak-kotakan umat Islam dengan label moderat dan radikal kemudian membenturkannya satu dengan yang lain. Kondisi yang justru akan semakin menjauhkan umat dari persatuan.
Maka perlu dipertanyakan lagi pernyataan seorang pejabat yang pernah menyampaikan bahwa Indonesia bukan negara sekuler. Karena secara fakta, ketika aturan agama dipisahkan dari kehidupan, maka itu adalah paham sekulerisme. Berdoa demi kelancaraan pembangunan IKN kepada Allah, tetapi tidak menggunakan cara-cara Allah, bahkan dengan menyekutukan Allah itu adalah sekulerisme. Membangun negara dianggap bukan bagian dari ibadah, maka tidak ada hubungannya dengan agama. Inilah sekulerisme.
Paham ini pula yang hari ini mendominasi pemikiran umat muslim. Seorang kepala rumah tangga yang bekerja dengan ikhlas demi memberi nafkah kepada keluarga tapi dengan cara korupsi itu adalah sekulerime. Membeli rumah dari rejeki yang halal tapi dengan mengambil riba, ini adalah sekulerisme. Sumpah jabatan menggunakan kitab suci Al Quran tapi isi Al Qurannya tidak diterapkan, maka ini adalah sekulerisme.
Virus sekulerisme inilah yang kemudian menimbulkan banyak kekacauan di berbagai lini kehidupan. Manusia merasa punya kemampuan dan kewenangan untuk mengatur kehidupan. Padahal hakikatnya manusia sifatnya lemah dan terbatas, tidak tahu apa yang terbaik untuk dirinya. Maka wajar ketika aturan hidup dibuat oleh manusia yang terjadi adalah kekacauan.
Ibarat seorang chef diberi tugas merakit mobil, bisa dibayangkan bagaimana hasil akhirnya, atau siapa yang paling tahu seluk beluk komputer tentu adalah yang merakitnya. Maka begitupula dengan manusia, yang paling tahu adalah yang menciptakan manusia. Maka sudah selayaknyalah aturan hidup manusia itu harus bersumber dari Sang Maha Pencipta, Allah SWT. “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS AL Maidah:50).
Islam adalah agama yang sempurna. Syariatnya tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dalam bentuk ibadah ritual, tapi juga mengatur hubungan manusia dengan diri sendiri dalam bentuk akhlak dan adab. Juga mengatur hubungan manusia dengan manusia yang lain dalam seluruh aspek kehidupan, pendidikan, ekonomi, politik dan lain-lain baik skala individu, masyarakat maupun negara. Tidak ada pemisahan antara agama dengan kehidupan secara keseluruhan.
Ketika ingin melihat apakah suatu negara menganut paham sekular atau tidak, maka dengan mudah bisa dikenali dari sisi keterikatannya dengan hukum Islam. Apkah sudah terikat secara total atau tidak. Jika ada pemisahan atau dalam artian hanya mengambil sebagian syairat kemudian sebagian yang lain ditinggalkan, maka itulah sekulerisme. Padahal Allah berfirman dalam Al Quran Surat Al Baqarah ayat 208 “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan iu musuh yang nyata bagimu”.
Inilah harus dipahamkan kepada umat, meluruskan pemikiran umat yang terjebak pada paham sekulerisme agar kembali pada pemikiran Islam yang kaffah, yang menyeluruh. Agar benar-benar terwujud Islam rahmatan lilalamin.
Penulis: Anita Rachman
0 Komentar