Daftar Penceramah Radikal, Islamophobia Semakin Nyata





Pasca ultimatum yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada jajaran TNI-Polri tentang larangan untuk mengundang penceramah yang radikal. Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Ahmad Nurwakhid sebagaimana dilansir DetikNews.com (05/03), mengatakan bahwa dirinya menilai pernyataan Jokowi tersebut harus ditanggapi serius oleh seluruh kementerian, lembaga pemerintah, hingga masyarakat. Ia juga menegaskan bahwa persoalan radikalisme harus diperhatikan sejak dini karena menurutnya radikalisme adalah paham yang menjiwai aksi terorisme.

Tidak butuh waktu lama, BNPT melakukan gerak cepat mengeluarkan indikator untuk mencirikan seorang penceramah apakah terkategori radikal atau tidak. Indikator tersebut terdiri dari lima poin, yaitu: 
1. Mengajarkan ajaran yang anti Pancasila dan pro Ideologi Khilafah transnasional;
2. Mengajarkan paham takfiri, yang mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham maupun berbeda agama;
3. Menanamkan sikap anti pemimpin atau pemerintahan yang sah dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, ujaran kebencian (hate speech), dan menyebarkan berita bohong (hoax);
4. Memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman (pluralitas);
5. Memiliki pandangan anti budaya ataupun anti kearifan lokal keagamaan. 

Isu radikalisme hingga terorisme memang sangat sering diangkat oleh pemerintah dan Islamlah yang selalu berada di posisi tertuduh. Hal tersebut sangatlah wajar, sebab dalam bukunya yang berjudul Teroris(me) Aktor & Isu Global Abad XXI, Dr. Agus Subagyo mengatakan, tragedi WTC dan Pentagon, 11 September 2001 membuat AS mengumumkan war on terrorism. Isu terorisme tersebut mewarnai kebijakan politik AS dalam hubungan politiknya dengan negara-negara global.  Penentuan kawan atau lawan ditentukan oleh apakah negara tersebut mendukung perang global melawan terorisme atau tidak.

Indonesia sendiri menyatakan dukungannya untuk ikut serta dalam perang melawan terorisme. BNPT dan Densus 88 adalah dua lembaga yang berada di garda terdepan mengeksekusi peran tersebut. AS di bawah kepemimpinan Donald Trump melebarkan kendali politiknya dengan menyerukan seluruh negara-negara Islam untuk memerangi radikalisme. Hal tersebut disampaikan di hadapan 55 pemimpin negara Muslim dalam pertemuan di Riyadh, Arab Saudi 2017. 

Pada isu radikalisme tersebut, AS menitikberatkan pada kelompok-kelompok ekstrem atau radikal yang menjadikan agama sebagai langkah untuk menolak proyek globalisasi dan modernisasi AS di negeri-negeri Muslim. Tidak hanya itu, pada laman receachgate.net disebutkan bahwa kemunculan kelompok-kelompok radikal adalah bentuk dari respon atas ketidakadilan dunia terhadap kebijakan miring pemimpin dunia terhadap Palestina, kesenjangan sosial ekonomi di negeri-negeri muslim hingga ekspansi budaya Barat yang dianggap merusak nilai-nilai Islam seperti hedonisme dan materialisme.

Di laman yang sama juga menjelaskan, perkembangan radikalisme di Indonesia muncul dan semakin nyata seiring dengan perubahan tatanan sosial dan politik, terlebih setelah hadirnya orang-orang Arab muda dari Hadramaut Yaman ke Indonesia yang membawa ideologi baru ke tanah air yang mengubah konstelasi umat Islam di Indonesia. Ideologi mereka dinilai lebih keras dan tidak mengenal toleransi.

Terlebih pasca Aksi besar-besaran Umat Islam menolak pemimpin kafir yang menginisiasi Aksi Akbar 212, pergerakan umat Islam tersebut dipandang sangat mempengaruhi iklim politik negeri ini. Kelompok-kelompok yang terlibat dalam aksi tersebut lantas dicap radikal dan anti terhadap pemerintahan yang sah sebab melakukan banyak kritik terhadap sejumlah kebijakan penguasa. Bahkan, kata radikal disematkan pada kelompok yang menyerukan penerapan Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah.

Tidak lama setelah indikator penceramah radikal itu diumumkan BNPT, muncullah sederet nama-nama ustadz yang disebut-sebut sering menyampaikan ajaran radikal dalam materi ceramahnya. Pada laman PikiranRakyat.com, 8/3/2022, disebutkan ada 180 mana penceramah yang dicap radikal dan tidak boleh diundang untuk ceramah, di antaranya ada nama Ustadz Ismail Yusanto, Ustadz Abdul Somad dan Felix Siauw. 

Tersebar ramai di sosial media, rakyat khususnya umat Islam bertanya-tanya siapa di balik penyusunan nama-nama ustadz tersebut. Pihak pemerintah sendiri melalui keterangan yang disampaikan oleh Kantor Staf Presiden (KSP) membantah kabar bahwa pemerintahlah yang membuat daftar nama penceramah radikal tersebut. Dikutip dari CNNIndonesia.com, 09/03/2022, Tenaga Ahli Utama KSP, Rumadi Ahmad mengatakan bahwa pemerintah memang mengakui adanya sejumlah pendakwah yang menganut paham radikalisme. Namun, Jokowi tidak pernah berniat membeberkan nama-nama penceramah yang dianggap radikal tersebut.

Termasuk BNPT juga mengaku tidak pernah merilis daftar nama penceramah radikal sebagaimana yang beredar di media sosial. Hal tersebut ditegaskan oleh Irfan Idris selaku Direktur Deradikalisasi BNPT dalam acara diskusi di salah satu stasiun TV nasional, pada 08/03.  

Salah seorang Anggota DPR RI Fraksi PKS, Bukhori Yusuf bersuara tentang itu. Ia mengatakan bahwa upaya pencegahan yang dilakukan oleh BNPT, mulai dari mengeluarkan ciri penceramah radikal sampai beredarnya nama-nama penceramah yang dicap radikal beresiko membelah masyarakat dan berpotensi disalahpahami oleh sebagian pihak, kemudian menciptakan rasa saling curiga ataupun sentimen yang pada akhirnya bermuara pada disharmonisasi sosial (Tempo.co, 09/03/2022).

Selain itu, tindakan tidak bertanggung jawab itu dapat membunuh karakter para ustadz yang namanya tercantum pada daftar tersebut. Bahkan bisa berimbas pada tindakan persekusi sebagaimana yang telah terjadi sebelum-sebelumnya. Sekelompok orang yang mengaku paling Pancasila dan berteriak NKRI harga mati melakukan persekusi terhadap beberapa orang tokoh-tokoh Islam, termasuk membubarkan pengajian mereka dengan dalih menjaga keutuhan NKRI.

Sebagaimana yang tertuang dalam UU ITE pada pasal 28 tentang penyebaran berita bohong atau hoax. Pemerintah wajib memerintahkan pihak berwajib untuk melacak dan menemukan pelaku dari penyebaran daftar nama penceramah tersebut. Hal tersebut harus segera dilakukan demi mencegah konflik horizontal di tengah masyarakat yang tidak hanya merugikan umat Islam, namun juga dapat mengancam kesatuan bangsa. Itu juga menjadi tuntutan dari Wakil Ketua Umum MUI, Anwar Abbas dimana beliau meminta agar Kapolri melacak dan mengusut orang yang merilis pertama kali daftar nama penceramah yang dituduh radikal tersebut. Sebab, menurutnya hal tersebut bisa mengakibatkan masalah di tengah masyarakat, sehingga polisi harus mengusut pelakunya karena memang tugas polisi adalah menciptakan keamanan dan ketertiban di tengah-tengah masyarakat (TintaSiyasiNews.com, 09/03).

War on radicalism sebagai lanjutan dari war in terrorism sejatinya adalah war on Islam atau ideologi Islam. Demikianlah yang disampaikan oleh mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair kepada BBC pada 3 September 2010. Blair menyebut ideologi Islam radikal sebagai ancaman besar bagi keamanan dunia.

Isu yang dipropagandakan oleh AS melalui kaki tangannya dari penguasa-penguasa di negeri-negeri Islam tersebut sejatinya hanya menjadi alat untuk menyerang Islam dan mematikan potensi kebangkitannya. Bahkan, untuk menghantam segala bentuk upaya kaum muslimin yang ingin menegakkan Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah. Terlihat pada labelisasi radikal yang disematkan pada pengemban dakwah syariah dan Khilafah.

Di sinilah pentingnya umat Islam memahami Islam secara benar dan menyeluruh agar tidak mudah terhasut oleh propaganda jahat AS atau bahkan ikut serta membenci ajaran Islam dan memusuhi para pengemban dakwah Islam. Syariat Islam demikian juga Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam yang tidak hanya penting untuk dikaji, namun juga wajib secara syar’i untuk diterapkan. Hal itu karena syariat Islam sebagai solusi mengatasi segala polemik yang menghantam negeri ini pada khususnya dan dunia pada umumnya akibat hegemoni ideologi kapitalisme yang menciptakan ketidakadilan dan kesengsaraan, wallahualam bishawab.

Oleh Suriani, S.Pd.I
(Pemerhati Kebijakan Publik)

Posting Komentar

0 Komentar