Salah satu penyebab derita yang dialami perempuan secara umum adalah akibat stres yang dialaminya. Kaum Hawa dengan perasaannya yang halus memang cenderung lebih rentan terhadap terpaan stres dibandingkan dengan kaum Adam. Perempuan memang laksana gelas kaca yang mudah pecah jika terjatuh. Jadi haruslah berhati-hati dalam memperlakukan perempuan.
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Hati-hati wahai Anjasyah, pelan-pelanlah jika sedang mengawal gelas (piala) kaca (maksudnya para perempuan),” (HR. Bukhari no. 6149 dan Muslim no. 2323). Saat kejadian itu Rasulullah mengingatkan Anjasyah untuk tidak terlalu bersemangat menghela unta-untanya, karena di dalam rombongan yang berjalan ikut pula para perempuan.
Fakta Miris Kondisi Perempuan
Banyak sekali kasus kriminalitas yang terjadi dipicu oleh kondisi stres yang dialami perempuan. Belum lama ini, pada Minggu (20/3/2022), seorang ibu berinisial KU (35) menggorok leher ketiga anaknya hingga satu orang anaknya tewas. Berdasarkan pemeriksaan awal, KU diduga mengalami stres akibat kondisi ekonomi yang sulit, Kompas.com (22/3/2022). Ibu di Brebes ini menggorok leher putra-putrinya dengan pisau cutter yang baru dibelinya.
Jika kita coba menggali beberapa kasus belakangan ini saja, ternyata telah terjadi beberapa pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ibu kepada anak-anaknya. Dari Kompas.com pada Rabu 9/12/2020, tiga orang anak kandungnya yang masih balita dibunuh oleh seorang ibu berinisial ML (30) di Desa Banua Sibohou, Kabupaten Nias Utara, Sumatera Utara. Setelah membunuh ketiga anaknya, ML berusaha menggorok lehernya sendiri dengan parang. Peristiwa yang mengerikan ini dipicu pula oleh masalah kesulitan ekonomi yang dialami oleh keluarga ML.
Sebelumnya, pada 18/10/2020, seorang ibu di Kecamatan Ende Selatan, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur ditangkap karena membunuh bayinya yang berusia tiga bulan. Sang ibu yang membunuh bayinya dengan menggunakan pisau dapur ini mengaku bahwa perbuatannya itu dilakukan karena stres akibat himpitan ekonomi. Diketahui kemudian bahwa, suami pelaku jarang bekerja dan lebih sering bermain kartu dan gim, Kompas.com (18/10/2020).
Kemudian terjadi juga, pada Kamis (8/4/2021) lalu DRY, seorang ibu, membunuh dirinya setelah membunuh dua anak balitanya yang berusia 4 tahun dan 2,5 tahun. Kedua anak balitanya tewas dibekap kain, sementara DRY meninggal gantung diri. Melalui surat wasiat yang ditinggalkannya, DRY mengatakan bahwa dirinya terlilit utang sebanyak Rp 5 juta kepada temannya. Utang itulah yang memicunya mengakhiri hidupnya, walaupun tidak diketahui mengapa ia tega menghabisi nyawa kedua anaknya juga.
Kasus-kasus di atas diambil dari data terdekat saja. Pada rentang waktu sebelum tahun 2020 tentu lebih banyak lagi terjadi kejadian miris yang menyeret perempuan sebagai pelaku pembunuhan. Contohnya pembunuhan yang dilakukan seorang istri terhadap suami dan putra tirinya di Lebak Bulus pada 23 Agustus 2019. Ada pula pembunuhan yang dilakukan oleh seorang istri kepada suaminya di akhir Maret 2019, di Jember, Jawa Timur. Kedua motif pembunuhan ini adalah terkait perolehan harta. Masih banyak lagi kasus lain yang tidak mungkin disebutkan satu-persatu.
Mengapa seorang perempuan yang fitrahnya memiliki kelembutan dan kasih sayang bisa dengan keji merencanakan dan melakukan pembunuhan? Psikolog Nisfie M. Hoesein mengatakan bahwa stres yang menjangkiti perempuan sehingga berujung pada perbuatan membunuh harus dipandang secara lebih komprehensif, tidak boleh hanya dari satu sisi saja, CNN Indonesia (23/3/2022). Di samping pola asuh dan pengalaman masa lalu yang buruk, ada banyak faktor lain yang mempengaruhi kondisi kejiwaan seorang perempuan. Hal ini diantaranya adalah, tidak baiknya kondisi keluarga, kondisi ekonomi, dan kondisi kejiwaan seseorang.
Di samping semua itu, ada juga faktor lain yang tidak kalah besar pengaruhnya bagi meningkatnya stres pada perempuan. Hal itu adalah faktor support system yang berbasis pada kebijakan negara. Bahkan bisa dibilang, faktor support system inilah yang menjadi pelaku utama lahirnya faktor-faktor yang lain. Ini karena, ketika kebijakan negara baik, maka kondisi keluarga, kondisi ekonomi, dan kondisi kejiwaan seseorang akan menjadi baik pula. Demikian pula sebaliknya.
Tanggung Jawab Negara Terhadap Perempuan
Berkaca dari pentingnya faktor support System yang baik, maka pemimpin negara wajib menetapkan dan memberlakukan peraturan negara yang berbasis sistem yang terbaik. Jika ada beberapa pilihan sistem yang berkembang saat ini, pemimpin harus memilih sistem yang terbaik untuk diterapkan. Ini karena rakyat adalah amanah yang harus diurus oleh pemimpin negara. Amanah ini adalah tanggung jawab yang harus diemban untuk mengurus manusia di dunia. Amanah ini juga harus dipertanggungjawabkan oleh setiap pemimpin di hadapan Allah di akhirat kelak. Jadi bukan hal yang ringan.
Abdullah bin Umar pernah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Ketahuilah, kalian semua adalah pemimpin (pemelihara) dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya tentang rakyat yang dipimpinnya.” (penggalan dari HR Abu Dawud). Tanggung jawab seorang pemimpin adalah memelihara urusan seluruh rakyatnya baik laki-laki ataupun perempuan. Jadi jika ada rakyatnya yang menderita sehingga mengalami stres karena beratnya menanggung beban kehidupan yang sulit, pemimpinlah yang akan diminta bertanggung jawab di dunia dan di akhirat.
Wajarlah jika saat Umar bin Khattab RA menjadi Khalifah beliau pernah berkata, "Seandainya seekor keledai terperosok ke sungai di kota Baghdad, nicaya Umar akan dimintai pertanggungjawabannya dan ditanya, “Mengapa engkau tidak meratakan jalan untuknya?”.” Untuk derita seekor keledai saja, pemimpin dalam sistem Islam akan dimintai pertanggungjawaban di dunia dan di akhirat. Apalagi seorang pemimpin yang demikian banyak membuat rakyat menderita dengan kebijakannya di dalam sistem yang bukan Islam. Tidak terbayangkan beratnya tanggung jawab itu!
Menurut data, para perempuan yang menjadi pelaku pembunuhan melakukan pembunuhan itu karena dipicu oleh stres akibat merasakan kesulitan ekonomi yang berkepanjangan. Contohnya KU, ia mengatakan bahwa selama ini hidupnya sulit karena pendapatan suaminya tidak menentu. Ditambah pula pekerjaan yang dilakoninya sebagai perias pengantin mengalami kelesuan selama masa Pandemi Covid-19. Kurangnya kepedulian suami dan sanak saudara yang mungkin juga sama sulitnya dengan dirinya menambah stres ibu muda ini mencapai puncaknya.
Akhirnya, KU menggorok leher ketiga putra-putrinya dengan maksud agar anak-anaknya itu tidak ikut merasakan penderitaan yang sama seperti yang ia alami selama ini. Menurutnya, dengan kematian segala penderitaan hidup akan berakhir. Pemikiran ini sejatinya adalah puncak sebuah keputusasaan seorang manusia. Persepsi KU yang salah dalam memaknai kehidupan dunia juga turut mendorongnya memilih perbuatan yang salah. Persepsinya yang salah tentang konsep rezeki dari Allah juga sangat memprihatinkan.
Tidak dapat dilepaskan dari penilaian terhadap pemahaman agama para perempuan pelaku pembunuhan itu, sesungguhnya ada pihak yang paling bertanggung jawab menjadikan kondisi ini lahir. Hal itu adalah, tanggung jawab pemimpin dalam membina pemahaman agama bagi rakyatnya. Agama semakin dijauhkan dari peraturan kehidupan negara, sehingga rakyat semakin tidak memahami konsep kehidupan dunia dan akhirat yang hakiki.
Bahkan semakin hari semakin masif dilakukan upaya untuk menjauhkan agama (Islam) dari kehidupan bernegara. Ini tentu membuat rakyat semakin jauh dari pegangan hidup yang benar. Rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim akhirnya mengambil jalan sendiri-sendiri dalam memecahkan problem hidupnya. Bukan jalan keluar dengan rujukan dari syariat Islam yang pasti solutif dan mendatangkan keberkahan
Di sisi lain, sejak tahun 2019, sebelum Pandemi Covid-19 menyerang Indonesia, rakyat Indonesia telah hampir tenggelam dalam kesulitan ekonomi yang melanda. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran terbuka pada Agustus 2019 sebesar 5,28% atau mencapai 7,05 juta orang. Angka pengangguran tersebut naik secara jumlah dibandingkan Agustus 2018 sebesar 7 juta orang atau turun secara persentase sebesar 5,34%.
Kemudian sejak Pandemi C0vid-19 melanda hingga trimester pertama tahun 2022 ini, rakyat negeri ini semakin menderita lagi kondisinya. Sementara kebijakan pemimpin negara terbukti secara fakta tidak memihak kepada rakyat. Contohnya, kebijakan Crude Palm Oil (CPO) minyak sawit yang menjadikan harga minyak goreng sangat mahal. Belum lagi kenaikan harga bahan makanan yang terpantau merangkak naik secara signifikan menjelang bulan Ramadhan tahun ini. Tentu akan semakin mencekik rakyat yang memang sudah ‘sulit bernapas.’
Maka, di mana tanggung jawab negara saat KU dan jutaan perempuan lain di negeri ini menjerit dalam hati karena derita hidup yang dirasakan? Jutaan hati perempuan menjerit tanpa berani mengucapkan sepatah katapun, karena ketidakberdayaan mereka. Jika ada yang berani seperti beberapa perempuan yang vokal menyampaikan kritik kepada pemimpin dan jajarannya, maka mereka harus bersiap menghadapi ancaman jeratan hukum yang tak pelak membuat takut.
Demikianlah menyedihkannya kondisi perempuan di negara Demokrasi yang menerapkan sistem Kapitalisme ini. Yaitu negara yang dikuasai oleh para oligark yang sangat ditakuti oleh pemimpin negara ini dan jajaran pejabatnya, sehingga menjadikan rakyatnya laksana alas kaki yang diinjak-injak dan diperas. []
Oleh Dewi Purnasari
0 Komentar