Komandan Komando Distrik Militer atau Dandim 0621 Kabupaten Bogor, Letnan Kolonel Gangan Rusgandara menyebut akan membuat desa-desa di Kabupaten Bogor sebagai Desa Pancasila. Gangan menyebut Desa Pancasila ini merupakan prakarsa dari Kepala Staf Angkatan Darat atau KSAD Jenderal Dudung Abdurachman melalui Kodam, Korem dan Kodim di seluruh wilayah Nusantara. Tujuannya untuk mengaplikasikan Pancasila sehari-sehari. Kami ingin kembali menghidupkan gotong royong sesama warga, saling menjaga silaturahmi dan menjaga toleransi. Jadi, tidak ada lagi yang merasa superior siapa mayoritas dan minoritas (metro.tempo.co,1/3/2022).
Dilansir dari kumparan.com, 6/8/2021, terkait latar belakang terbentuknya Kampung Pancasila, antara lain: Pertama, Menegakkan nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman rakyat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Kedua, Sebagai contoh penerapan nilai luhur Pancasila dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Ketiga, Sebagai contoh sikap toleransi antar umat beragama. Keempat, Sebagai contoh hidup damai tanpa konflik meskipun terdapat perbedaan agama, suku, dan ras. Kelima, Adanya kerukunan dalam masyarakat di daerah yang dipilih sebagai Kampung Pancasila.
Sebenarnya gagasan Kampung Pancasila atau desa Pancasila bukan hal baru di negeri ini. Sejak lama, sebutan desa/kampung Pancasila sudah muncul. Bahkan, disinyalir program ini digagas sejak zaman Soeharto. Indikasinya adalah dari sisi toleransi dan gotong royong, meskipun berbeda-beda agama dan keyakinan. Salah satu contoh adalah warga Desa Balun, Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.
Julukan itu muncul seiring dengan suasana harmoni dan sikap toleransi beragama yang ditebarkan warga kampung itu. Kerukunan antarumat beragama di Desa Balun sudah ada sejak desa itu lahir dan terus terpelihara hingga saat ini. Kepala Desa Balun Sudarjo mengatakan, tahun 1990-an, saat gencarnya penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), Desa Balun menjadi semacam percontohan untuk pelaksanaan program pemerintah itu. Sejak itulah Desa Balun masyhur dengan sebutan Kampung Pancasila (Kompas.com, 22/8/2011).
Menyusul beberapa desa di Lampung, Gorontalo, Cilacap, Bogor dan beberapa tempat lainnya. Tampaknya, program ini tidak bisa dilepaskan dari upaya Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Dudung Abdurachman untuk mencegah radikalisme. Jenderal Dudung bakal memerintahkan seluruh prajurit TNI AD turun tangan bahkan sampai Babinsa (Bintara Pembina Desa) untuk peka terhadap perkembangan situasi yang mengarah ke ekstrim kiri atau ekstrim kanan. Pihaknya tidak segan akan menerapkan sistem seperti era Presiden Soeharto dengan segera menindak siapapun dan apapun organisasi yang akan memecah persatuan dan kesatuan bangsa (KompasTV, 22/11/2021).
Tidak hanya Jenderal Dudung, beberapa kampus juga terlibat dalam pembentukan desa Pancasila ini di antaranya adalah UNESA. Kampus ini merintis di beberapa kabupaten di Jawa timur. Selain itu, Universitas Pancasila merintis di dua desa di kabupaten Bogor, Jawa barat.
Seolah Radikalisme menjadi bahaya yang menyeramkan yang patut diantisipasi dari berbagai lini, sampai-sampai semua bidang menanganinya. Seolah itulah common enemy bangsa ini, padahal bagaimana KKB di Papua semakin brutal tidak hanya menyerang TNI dan Polisi tapi juga rakyat sipil. Terbaru, delapan karyawan PT Palapa Ring Timur Telematika (PTT) tewas setelah diserang kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Kampung Kago, Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua, Rabu (2/3/2022) sekitar pukul 13.00 WIT. Kedelapan pekerja sipil itu diserang saat mereka tengah memperbaiki Tower Base Transceiver Station (BTS) 3 Telkomsel (Kompas.com, 4/3/2022).
Belum lagi, masyarakat masih dihebohkan dengan kelangkaan minyak goreng, harga beberapa kebutuhan pokok mulai merangkak naik, setelah tempe-tahu sempat menghilang, disusul juga dengan harga daging naik, sekarang disusul ayam. Apalagi, korupsi juga masih menjadi momok yang terus menghantui. Tidak kalah penting pandemi belum usai, kemiskinan yang merajalela, angka pengangguran tinggi dan kriminalitas meningkat. Mirisnya, kekacauan di masyarakat justru menjadi seolah hal yang biasa dan tidak perlu diperhatikan seperti halnya kasus radikalisme.
Padahal, tujuan kehidupan bernegara di Indonesia sebagaimana dicantumkan dalam teks UUD 1945 alenia IV, yakni: ..."melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…"
Frasa kesejahteraan itu berlaku dalam masyarakat tidak terkecuali di desa, penduduknya hanya menginginkan kesejahteraan dalam hidupnya, di tengah himpitan ekonomi dan ujian hidup dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini, pemenuhan kebutuhan yang semakin sulit hendaknya benar-benar menjadi perhatian para pejabat negeri ini, bukan radikalisme yang notabene selalu dikaitkan dengan Fanatisme terhadap Islam.
Isu radikalisme yang digembar-gemborkan semakin membuat masyarakat saling curiga dan mencurigai satu sama lain. Bahkan, pelaku radikalisme tidak jarang diidentikkan dengan orang Islam yang taat seolah semakin menguatkan stigmatisasi buruk terhadap Islam.
Padahal, sudah bukan rahasia umum perang melawan radikalisme adalah proyek barat di negeri-negeri Islam hanya untuk menghalangi kebangkitan Islam. Hal itu karena ketakutan barat yang paling besar adalah ketika umat Islam bersatu dan mau menerapkan Islam secara totalitas dalam kehidupan.
Dalam buku (Who Are We?: The Challenges to America's National Identity, 2004) Samuel Huntington meyakinkan George Bush dan pemimpin Barat dewasa ini, bahwa Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama Amerika Serikat, ''This new war between militant Islam and America has many similarities to the Cold War."
Di sini, Huntington menggunakan istilah ''perang baru'' (new war) antara Amerika Serikat dengan Islam militan. Bahwa Islam adalah potensi musuh besar dan bahaya bagi Barat dan Amerika Serikat khususnya. Paralel dengan Huntington, penasihat Gedung Putih, Bush menyebut perang melawan Islam militan itu sebagai crusade (Republika.co.id, 16/11/2020).
Sehingga, layak kiranya barat dalam hal ini AS mengkotak-kotakkan umat Islam seperti yang juga disampaikan dalam proposal Rand Corp. yang cukup terkenal dengan ada pembagian Islam tradisionalis, Islam moderat dan Liberal dan yang terakhir Islam Fundamental atau radikal, maka politik belah bambu dilakukan atas dasar hal ini, Islam mana yang akan dirangkul dan yang mana akan dipukul.
Hal ini sejalan juga yang disampaikan oleh Tony Blair (mantan Menteri luar negeri Inggris) bahwa radikalisme dan politisasi Islam hanya dapat dikalahkan oleh umat Islam sendiri, yakni umat Islam yang masih mau menjunjung dan mengikuti nilai-nilai barat yakni HAM, demokrasi, kebebasan dan sebagainya.
Dia menyampaikan, salah satu pelajaran yang pasti dia dapat dalam 20 tahun terakhir adalah ini hanya akan dikalahkan oleh aliansi dengan suara-suara kuat sekarang di dalam Islam yang ingin memulihkan agama mereka dari ekstremisme, dan tugas dia adalah membantu mereka, dan untuk mendukung mereka, sementara jihadisme adalah yang paling radikal (RMOL.id,13/10/2021).
Maka, tidak jarang umat Islam saling bermusuhan antar umat Islam sendiri. Dan barat lah yang diuntungkan, sementara umat Islam lah yang dirugikan. Seharusnya kondisi ini tidak boleh terjadi, karena umat Islam itu satu tubuh, jika satu bagian tubuh sakit maka tubuh yang lain juga akan merasakannya. Sehingga, umat Islam tidak boleh dipecah-belah oleh barat dan tidak boleh terpengaruh oleh barat, karena Islam itu tinggi dan akan dimenangkan oleh Allah suatu saat nanti, Wallahu a'lam bi asshawwab.
Oleh : Hanin Syahidah
0 Komentar