“Sebelum saya mati, saya cuma ingin menyelamatkan anak-anak, biar enggak dibentak-bentak. Mending mati aja, enggak perlu ngerasain sedih. Harus mati biar enggak sakit kayak saya, enggak ada yang tahu, saya memendam puluhan tahun.”
Itulah pengakuan Kanti Utama (35 tahun) saat ditanya di sel penjara, dalam rekaman video yang diunggah akun Instagram @brebeshitshitz, diduga depresi akibat beban hidup yang menghimpitnya, yang tak ingin kisah hidupnya dialami juga oleh buah hatinya. Maka, dengan teganya ia menggorok 3 anaknya, yang satu meninggal dan yang dua lainnya harus melakukan perawatan intensif di rumah sakit.
Saat menonton video pengakuan sang ibu yang tega menggorok buah hatinya sendiri, hati saya begitu teriris-iris seperti disayat sembilu dan tak kuasa membayangkan perbuatan sang ibu tersebut. Namun, saya hanya bisa bergumam, “Kok bisa ya si ibu ini berbuat seperti itu?” Bagaimana perasaannya ketika melakukan perbuatan yang dimurkai Allah SWT tersebut? Saya pun tak kuasa mendengar beritanya. Miris tentunya. Astagfirullahaladzim.
Ya Allah, ternyata kasus depresi yang dialami oleh ibu Kanti ini bukan pertama kali terjadi. Kasus-kasus yang hampir sama terus saja berulang. Alasannya pun hampir sama karena tidak mau melihat anak-anaknya kesulitan ekonomi seperti yang dialami oleh dirinya. Makanya lebih baik mati daripada terus menderita. Mungkin menurutnya, jika sudah mati tak akan merasakan beban hidup yang begitu berat. Sungguh, begitu sempit jalan pikiran sang ibu ini.
Ternyata, Kanti mengaku kepada polisi dalam pemeriksaan awalnya mendapat bisikan gaib untuk membunuh anaknya karena apabila tidak dibunuh hidupnya akan susah, sebagaimana yang dilansir JPNN.com, 22 Maret 2022. Oleh karenanya, tanpa ada rasa bersalah sedikit pun, ia tega menggorok buah hatinya sendiri. Padahal, setelah mati ia akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT.
Harus diingat, fenomena ibu depresi yang terjadi di negeri ini, tak mungkin tak ada sebab. Seperti peribahasa ini, ‘Kalau ada asap, tentu ada api’. Tentu saja ada penyebabnya. Ada banyak faktor yang membuat seorang ibu sampai dipertanyakan kejiwaannya dan dipertanyakan fitrahnya seorang ibu. Kita pasti tahu, fitrahnya seorang ibu itu pasti akan menyayangi, merawat dan semaksimal mungkin melindungi buah hatinya dari segala macam bahaya. Oleh karena itu, pastinya ada yang tak beres dari nalar sang ibu. Ya, orang tentu akan menyebutnya depresi tingkat tinggi alias gila. Jika tidak gila ya enggak mungkin bisa berbuat nista.
Kita pun tak bisa hanya menyalahkan sang ibu yang depresi ini saja, karena memang ia salah satu korban dari sistem ekonomi kapitalis sekuler yang diterapkan oleh penguasa negeri ini. Sistem yang membuat rakyat sengsara karena hampir semua kebutuhan pokok meroket naik sementara daya beli rakyat menurun karena berpenghasilan rendah bahkan tak punya penghasilan sama sekali alias nganggur, akibat PHK di mana-mana. Sementara untuk memenuhi hajatul udhawiyah/kebutuhan jasmaninya seperti makan tidak bisa ditunda.
Jika sudah menyangkut masalah kebutuhan hidup yang harus dipenuhi tapi tidak bisa memenuhinya atau tak sesuai dengan keinginannya, sementara keimanan kepada Allah SWT-nya rapuh dan tidak kokoh, dengan mudahnya setan menghembuskan tipu dayanya agar manusia berada di jalan yang sesat, sehingga bisa kalap mata menganggap perbuatannya itu benar. Maka mendorongnya untuk melakukan perbuatan yang di luar nalar/di luar akal sehat. Karena ia merasa sudah gagal menjalani hidup dan ketakwaan kepada Sang Maha Pemberi Rezeki pun sangat lemah, sehingga dengan mudahnya ia mengalami depresi tingkat tinggi.
Faktor yang Memengaruhi kejiwaan Sang Ibu
Ternyata, yang membuat kasus seperti ini terus berulang, tak hanya faktor individu si pelaku saja yang bermasalah tapi banyak faktor yang secara sistemik memengaruhi kejiwaan sang ibu. Adapun faktor-faktor lainnya yang memengaruhi kejiwaan sang ibu yang labil yakni:
Pertama, tidak adanya perhatian dari keluarga. Salah satunya sosok suami. Bisa jadi suaminya kurang tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga yang seharusnya menafkahi anggota keluarganya. Bagaimana pun juga suami mempunyai peran yang penting sekali. Suami seharusnya tempat yang ternyaman untuk istri dalam berkeluh kesah, tempat untuk mencurahkan segala kepenatan hidup, tempat saling berbagi kesulitan sehingga terjalin keharmonisan dalam keluarga. Suami juga harusnya bisa mendidik istrinya agar senantiasa taat dan berjalan sesuai dengan aturan Allah SWT, karena di akhirat nanti suami akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT terkait dengan yang dilakukan sang istri.
Kedua, ketidakpedulian masyarakat. Lingkungan masyarakat di sistem sekuler kapitalis saat ini terlihat minim empati dan minim peduli terhadap sesama. Mereka cenderung acuh tak acuh jika ada tetangganya kesulitan hidup. Mereka hanya fokus terhadap kesulitan dirinya, sementara tidak peduli tetangganya bisa makan atau tidak.
Padahal, Islam mengajarkan kepada kita untuk peduli terhadap sesama, terutama tetangga. Jika ia kesulitan, maka tetangganya yang dekat harus membantunya sesuai kemampuannya. Sampai-sampai Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah beriman kepadaku orang yang kenyang semalaman sedangkan tetangganya kelaparan di sampingnya, padahal ia mengetahuinya." (HR at-Thabrani).
Ketiga, abainya peran negara. Faktor yang ketiga inilah yang paling berperan dan menjadi pemicu seorang ibu mengalami depresi tingkat tinggi. Pasalnya, banyak kebijakan negara yang bisa membuat depresi seperti harga sembako merangkak naik, biaya pendidikan pun mahal, biaya kesehatan pun tak terjangkau, harga BBM, tarif listrik pun ikut naik. Pokoknya semua harga melambung tinggi. Sementara banyak kepala keluarga yang menganggur karena PHK besar-besaran sehingga tak bisa menafkahi keluarganya. Walhasil, mendorong orang kalap dengan terpaksa melakukan perbuatan yang dilarang agama seperti mencuri, merampok, membunuh dan berbagai kejahatan lainnya. Bahkan bisa mengalami depresi seperti yang dialami Kanti.
Oleh karena itu, ternyata peran negara itu sangat penting sekali agar kewarasan sang ibu tetap terjaga. Negara bertanggung jawab mengurusi kebutuhan rakyatnya, memberikan perlindungan dan pelayanan kepada setiap warga negaranya. Para ibu pun tidak akan lagi berkeluh kesah karena tak mendapatkan nafkah dari suaminya, karena jika suaminya tidak mempunyai pekerjaan, tugas negaralah yang memfasilitasi mereka untuk tetap bekerja, sehingga nafkah untuk keluarga tetap ada.
Bahkan negara juga harus bisa menjaga akidah rakyatnya agar tetap lurus, kokoh, kuat dan berjalan sesuai dengan aturan Sang Pencirpa manusia, sehingga bisa membentuk individu yang bertakwa kepada Allah SWT dan individu yang senantiasa menghindari perbuatan yang diharamkan Allah SWT. Yang pasti negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Ternyata negara yang kita harapkan itu adalah negara yang menerapkan aturan Islam secara kaffah, yakni negara Islam atau Khilafah Islam. Dan penerapan khilafah Islam, akan menjadi rahmat bagi seluruh alam, sehingga tidak ada ceritanya ada seorang ibu yang depresi dan melakukan perbuatan yang di luar nalar yakni menggorok anaknya sendiri karena beban hidup yang menghimpitnya.[]
Penulis: Siti Aisyah, S.Sos.,
Aktivis Muslimah
0 Komentar