Harga Pangan Merangkak Naik, Butuh Islam Sebagai Solusi






Kenaikan harga pangan dan kebutuhan pokok lainnya terus mewarnai masyarakat Indonesia di awal tahun 2022. Ironis memang, negeri yang kaya raya tetapi harga pangan sulit dijangkau oleh masyarakat kalangan menengah ke bawah. Bak tikus mati di lumbung padi. Inilah potret Indonesia di tengah kenaikan dan kelangkaan pangan yang mendera rakyatnya. 

Kota Bogor pun mengalami kelangkaan beberapa barang kebutuhan pokok. Diawali kelangkaan minyak goreng, kedelai, kemudian diikuti mahalnya harga daging. Dilansir pada Beritasatu.com, 04/03/2022 Direktur Operasional Perumda Pasar Pakuan Jaya, Denny Ari Wibowo mengakui suplai minyak goreng di pasar-pasar Kota Bogor memang cukup langka. Stoknya tidak hilang di pasaran, hanya saja sulit untuk mendapatkannya. 

Kenaikan harga pangan di negeri ini seakan menjadi ritual yang selalu berulang. Bahkan dalam setahun bisa terjadi kenaikan harga pangan beberapa kali pada beberapa produk sekaligus. Kenaikan harga minyak goreng, kedelai dan daging bisa dipastikan juga akan mempengaruhi kenaikan barang kebutuhan pokok lainnya. Apalagi tinggal menghitung hari, kaum muslim akan memasuki bulan Ramadan dan hari raya Idul Fitri. Sudah bisa dipastikan kenaikan harga pangan akan terulang kembali. 

Kenaikan harga pangan yang diikuti kelangkaan barang-barang tersebut tak lepas akibat negeri ini sangat bergantung pada impor. Padahal Indonesia memiliki tanah yang subur yang jika diolah dengan baik akan mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Petani pun banyak jumlahnya. Jika mereka difasilitasi mulai dari penyediaan lahan, bibit, pupuk, perbaikan sarana prasarana pertanian, serta jaminan stabilnya harga saat panen, maka para petani akan semakin giat berusaha. Swasembada pangan tercapai. Impor bahan pangan pun tak diperlukan lagi. 

Tentu kita masih ingat nawacita dengan sembilan prioritas pembangunan lima tahun ke depan dalam kampanye Pilpres 2014.  Presiden Jokowi dan wakilnya Jusuf Kalla  menjanjikan nawacita dengan sembilan prioritas yang menjadi bagian dari visinya. Dengan nawacita itu, diharapkan Indonesia mampu berubah menjadi negara yang berdaulat secara politik. Mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam budaya.

Mewujudkan kemandirian pangan merupakan salah satu prioritas nawacita yang dijanjikan. Namun, fakta berbicara lain. Kemandirian pangan hanyalah janji manis yang seketika terlupakan. Karena saat ini, Indonesia menjadi negara yang kehilangan kedaulatan pangan akibat keran impor yang dibuka seluas-luasnya oleh Presiden. 

Akibat impor inilah nasib petani di negeri ini bagaikan di ujung tanduk. Susah payah para petani mengelola lahan mereka, di tengah harga bibit dan pupuk yang mahal. Namun, para petani tetap bertahan untuk mengelola lahan mereka berharap ada secercah harapan perbaikan ekonomi di kala panen tiba. Ketika panen telah tiba, serbuan barang-barang  impor masuk dengan harga yang murah, membuat para petani menanggung kerugian besar. Hasil panen para petani kalah bersaing dengan barang impor. Hilang sudah secercah harapan, berganti dengan kekecewaan melihat kezaliman penguasa terhadap mereka.

Mewujudkan kemandirian pangan bukan tidak bisa dilakukan oleh penguasa negeri ini. Tetapi penguasa yang telah berkhidmat pada sistem kapitalis sekuler lebih memilih untuk impor. Pada saat yang sama kebijakan di dalam negeri tidak berpihak kepada para produsen dalam negeri, termasuk para petani.  Mereka berdalih bahwa produksi petani dalam negeri tidak mampu mencukupi kebutuhan masyarakat. Padahal sesungguhnya mereka enggan untuk mewujudkan kedaulatan pangan, karena negeri ini telah terikat pada konsesi internasional yang harus tunduk dan patuh padanya. Dan impor adalah salah satu bentuk kosekuensi dari konsesi internasional tersebut.

Keikutsertaan Indonesia dalam konsesi internasional ini bukan hanya membuat negeri ini sangat tergantung kepada negara pengekspor (AS dan sekutunya), tetapi sekaligus sangat membahayakan negeri ini. Kita lihat bagaimana negeri ini sangat mudah di intervensi dan kekayaan alamnya dikuasai oleh negara-negara asing dan aseng. Selama Indonesia masih merujuk pada sistem kapitalis, maka kemandirian pangan takkan pernah terwujud.

Indonesia akan mampu menjadi negara yang mandiri dan memiliki kedaulatan pangan jika berlepas diri dari sistem kapitalis sekuler, sistem yang menihilkan peran agama dari kehidupan. Selanjutnya beralih pada syariat Islam dengan menegakkan sistem khilafah. Karena khilafah memiliki aturan yang komprehensif dan sempurna dalam mengatur semua urusan kehidupan manusia, termasuk pertanian didalamnya.

Sektor pertanian mendapatkan perhatian yang sangat besar dalam Islam. Sehingga negara berperan untuk menerapkan politik pertanian yang juga didukung oleh politik ekonominya. Hal ini sudah dibuktikan dalam sejarah kegemilangan Islam yang diakui oleh sejarawan Barat. Dimana sektor pertanian memberikan kontribusi besar bagi kesejahteraan dan kemakmuran umat manusia selama berabad-abad.

Politik pertanian dalam sistem khilafah dijalankan untuk meningkatkan produksi pertanian dengan menempuh dua jalan. Pertama, intensifikasi di antaranya dengan pengunaan sarana pertanian yang lebih baik seperti bibit unggul, pupuk, obat-obatan dan lain sebagainya. 

Kedua, ekstensifikasi dengan jalan pembuatan, penyebarluasan lahan dan penggunaan teknik budidaya serta produksi modern yang lebih efisien dikalangan petani. Perluasan lahan dilakukan dengan mengubah lahan yang tandus atau tidak subur dijadikan jalan irigasi ke daerah tersebut. Kemudian membagikan lahan-lahan tersebut kepada petani yang tidak punya lahan atau lahannya sempit.  

Dengan dua perkara ini (intensifikasi dan ekstensifikasi) akan dapat meningkatkan produksi pertanian sehingga dapat merealisasikan tujuan dalam politik pertanian.

Kemajuan pertanian tidak bisa diraih tanpa didukung ketersediaan infrastruktur yang baik dan memadai. Hal ini sangat dipahami oleh para Khalifah, sehingga pada masa Khalifah Umayyah dibangun jaringan irigasi yang canggih di seluruh wilayah Irak. Bahkan sistem irigasi ini lalu diintroduksi ke Spanyol pada masa pemerintahan Islam di sana.

Dengan adanya penerapan politik pertanian ini, negara secara mandiri mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Dan negara pun berdaulat secara penuh dalam mengatur dan mengelola kekayaan alamnya, semata-mata untuk kemaslahatan umat tanpa ada campur tangan dari negara-negara asing dan aseng. 

Alhasil agar dapat mewujudkan hal di atas, maka satu-satunya cara adalah negeri-negeri kaum muslim harus melepaskan diri dari cengkeraman imperalis Barat dan hegemoni Barat. Karena negeri-negeri kaum muslim hanyalah dijadikan korban dan menjadi bagian dari permainan politik yang diciptakan Barat untuk menguasai negeri-negeri kaum muslim. 

Setelah berlepas diri dari hegemoni Barat, negeri kaum muslim pun harus bersatu dalam satu kepemimpinan. Keberadaan negara akan menjadikan kaum muslim memiliki kekuatan untuk menghadapi negeri-negeri Barat. Negara sebagai junnah (perisai) yang akan melindungi umat dari berbagai ancaman. Negara inilah yang disebut dengan khilafah islamiyah. Wallahu a'lam. 

Oleh : Siti Rima Sarinah

Posting Komentar

0 Komentar