Datangnya Belanda ke Nusantara tentunya mendapat perlawanan yang sangat kuat dari masyarakat. Apalagi pengaruh Islam yang telah ada di Nusantara sejak abad ke 7M sangat mempengaruhi syu’ur masyarakat Aceh kala itu. Hal ini dibuktikan dari banyaknya sumber dalam maupun luar negeri yang menyatakan demikian.
Sebut saja Laksmana perempuan Aceh pertama saat Sultan Alauddin Riayat Syah IV memerintah (1589 M-1604 M), Laksmana Malahayati. Ia mengerahkan para janda untuk menjadi prajuritnya yang terkenal dengan nama Inong Balee. Armada laut Inong Balee ini berhasil memukul mundur dan membunuh Cornelis de Houtman dan menawan saudaranya Fredrick de Houtman.
Kemudian generasi pun berganti, namun semangat masyarakat Aceh dan penguasanya dalam memerangi para kaphe Belanda ini tak pernah surut. Lihatlah bagaimana saat perang Aceh terjadi, perang terlama yang dirasakan oleh pemerintah Belanda ini sesungguhnya membuat gentar prajuritnya. Perang yang berlangsung dari tahun 1873 hingga 1910 ini langsung dipimpin oleh ulama dan umara yang bersinergi memukul mundur penjajah dengan semangat jihad.
Menurut Paul Vant Veer dalam bukunya ‘Perang Aceh’, ia mengatakan bahwa perang Aceh tidak pernah berakhir hingga pemerintah Belanda mengundurkan diri pada tahun 1942 dari wilayah Aceh. Meskipun para putra terbaik Aceh tersebut sudah syahid, namun perlawanan rakyat Aceh masih terus berlajut.
Vant Veer mengatakan walaupun Perang Aceh ini telah berlangsung sekitar 40 tahun namun layaknya 80 tahun di negeri Belanda sendiri, hal ini dilihat dari jumlah korban tewas. Terdapat lebih dari 100.000 jiwa orang tewas dalam perang ini.
Oleh karenanya dikatakan bahwa perang Aceh ini merupakan peristiwa yang tiada banding. Perang Aceh bagi pemerintah Kolonial Belanda bukan sekedar pertikaian (konflik) bersenjata, melainkan peristiwa politik nasional, kolonial dan internasional.
Hikayat Prang Sabi
Adalah Hikayat Prang Sabi (Hikayat Perang Sabil) yang merupakan karya sastra terbesar berbahasa Aceh yang berbentuk hikayat yang mengisahkan tentang jihad fii sabilillah. Karya salah satu ulama, Tengku Cik Pante Kulu atas permintaan abangnya, Tengku Cik Ditiro yang pada 1881 mujahid ini diangkat menjadi panglima perang.
Tengku Cik Pante kulu ini selain adik, ia juga merupakan tangan kanan dari Tengku Cik Ditiro dalam peperangan. Dengan hikayat ini para ulama memberikan spirit perjuangan kepada rakyat Aceh untuk melawan penjajah dengan gagah berani berasaskan aqidah. Hikayat ini biasa diperdengarkan di masjid-masjid.
Tidak berhenti pada khutbah masjid, para ibu selalu mendendangkan hikayat ini ke telinga anak-anak mereka sebagai senandung malam. Sehingga wajar bila semangat jihad terus membahana hingga berganti generasi. HC Zentgraaf, seorang penulis Belanda dalam bukunya “Atceh”, menggambarkan karakteristik perempuan Aceh yang kuat dalam berjuang dan berpegang teguh dalam prinsipnya.
Menurut Prof. H Ali Hasjmi dalam bukunya,”Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agressi Belanda”, dikatakan bahwa ada tiga faktor keberhasilan Prang Sabi. Ketiganya yaitu, faktor sastra, pendidikan dan terakhir dakwah. Poin terakhir merupakan senjata berbahaya yang sanggup membangkitkan semangat perang untuk melawan Belanda.
Hikayat Prang Sabi ini mengandung karya sastra sangat tinggi yang oleh sastrawan Belanda, H.T Damste telah diterjemahkan dan diperkenalkan isinya ke dunia Barat dan menjadi bacaan wajib pada jurusan sastra Aceh. Hikayat ini pun juga disimpan dalam Special Collection Reading Room di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Bagi Belanda, Hikayat Prang Sabil merupakan karya subversif yang dianggap sangat berbahaya. Oleh karenanya ketika ditemukan atau saat penggeledahan, Belanda selalu menyita dan memusnahkan naskah-naskah tersebut dan menahan pemiliknya. Sehingga naskah aslinya menjadi sangat langka.
Walaupun begitu, Hikayat Prang Aceh ini tetap disimpan masyarakat Aceh secara sembunyi-sembunyi ataupun ditulis ulang, karena banyak orang yang menghafalnya. Sehingga terkadang ada perbedaan antara naskah satu dengan yang lainnya.
Dalam Hikayat Prang Sabil tertua (1710), ditemukan syair yang artinya sebagai berikut:
Waktu kafir menduduki negeri
Semua kita wajib berperang
Jangan diam bersunyi diri
Di dalam negeri bersenang-senang
Di waktu itu hukum fardhu ain
Harus yakin seperti sembahyang
Wajib kerjakan setiap waktu
Kalau tak begitu dosa hal abang
Tak sempurna sembahyang puasa
Jika tak mara ke medan perang
Fakir miskin, kecil dan besar
Tua, muda, pria dan wanita.
Yang sanggup melawan kafir
Walaupun dia budaknya orang
Hukum fardhu ain di pundak kita
Meski tak sempat lunaskan hutang
Wajib harta disumbangkan
Kepada siapa yang mau berperang
Saat ini, di saat Islam dilabeli, Khilafah dimonsterisasi, pengembannya diawasi, sesungguhnya dengan membuka kembali cerita masa lalu dapat terlihat dengan gamblang kearah mana sejarah berpulang.
Wallahu’alam.
Penulis: Ruruh Hapsari
0 Komentar