Kontraksi peradaban semakin menjadi-jadi. Kegagahan sekuler kapitalisme dengan demokrasinya semakin menampakkan wajah usang. Berbagai kerusakan sistemik akibat diterapkannya sistem akal-akalan manusia itu semakin nampak nyata. Ketidakadilan, kemiskinan, dan kerusakan sosial tak bisa ditampik. Lalu, bertambah-tambah pula dengan inkonsistensi konsep-konsep Barat soal HAM hingga sampai pada nilai-nilai toleransi yang selama ini mereka agungkan.
Isu terorisme pasca tragedi WTC 11 September 2001 silam seolah menjadi senjata halal bagi dunia untuk memojokkan posisi Islam pada sudut pesakitan sebab ajarannya yang dinilai penuh dengan tindakan bar-bar. Atas dasar itulah Barat menebarkan kebencian dan ketakutan akut pada masyarakat dunia terhadap Islam dan kaum muslim yang menginginkan pelaksanakan ajaran agamanya secara totalitas. Islamophobia menjangkiti penduduk bumi, tak terkecuali kaum muslim itu sendiri.
Andai saja anggapan Barat itu benar, Islam adalah agama teorisme maka sejatinya umat agama lain tak akan tersisa hari ini, kecuali Islam. Hal ini disebabkan Islam pernah berkuasa memimpin peradaban dunia selama berabad-abad lamanya. Kaum non muslim juga tercatat sejahtera dalam nauangan kekuasannya.
Agaknya pendapat jurnalis investigatif Australia John Pilger ada benarnya. Ia menyebutkan bahwa umat Islam adalah korban terbesar dari terorisme. Bahkan dalam salah satu artikelnya ia jelas menjelaskan pelaku utama yang menyebabkan umat Islam jadi korban terorisme adalah Amerika. Ia pun menuturkan teroris terbesar di dunia tidak lain disandang oleh AS dengan segala kekuatannya. Negara Paman Sam itu pula menciptakan jargon kampanye War on Terorism (WOT) hanya sebagai justifikasi untuk melancarkan agresi militer demi kepentingan politik. (MuslimahNews.net, 2/2/2022)
Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di dunia pun harus merasakan getah ketidakadilan dari konsep absurd Barat tersebut. Inkonsistensi mengenai nilai toleransi sebagai negeri majemuk nyata dipertontonkan. Hal ini bisa kita lihat bagaimana isu toleransi ini nyaring disuarakan kaum moderat, tapi praktik intoleransi selalu menyasar pada Islam dan kaum muslim. Pun di Bekasi sebagai kota penyangga ibukota tak luput dari sasaran isu terorisme sebagai buah dari intoleransi itu sendiri.
Seperti belakangan ini, kasus terduga terorisme ditemukan dari hasil pengembangan sebuah kasus pencurian kendaraan bermotor. Penadah dari curanmor yang dilakukan oleh dua remaja di Bekasi ternyata merupakan bagian dalam daftar jaringan terorisme." Dua orang ini, SLH dan MS diringkus di kediamannya, Kecamatan Setu. Mereka kini masih dalam pendalaman Densus 88 Antiteror," tutur Kapolsek Tarumajaya AKP Edy Suprayitno. Diketahui juga bahwa salah seorang di antara pelaku merupakan mantan tindak pidana terorisme. Bahkan disebutkan oleh Kapolsek bahwa telah ditemukan buku-buku jihad dan senjata tajam dalam penggeledahan rumah terduga teroris tersebut. (Jpnn.com, 06/02/2022)
Di kesempatan lain, Kabag Banops Densus 88, Aswin memberikan keterangan mengenai kasus tersebut. "Bukan buronan. Kasus ini pidana, bukan perkara terorisme. Saat ini Densus 88 tidak terlibat penanganannya," jelasnya seperti dikutip oleh Detiknews.com, 6/2/2022 lalu. Ia juga menuturkan bahwa pihaknya tak terlibat dalam penangangan kasus di Polsek Tarumajaya tersebut. Aswin menyatakan pula bahwa salah satu tersangka yang merupakan mantan napiter itu masih dalam masa monitoring deradikalisasi.
Gambaran ketidakjelasan serta ketiadaan perkembangan kasus tersebut sebenarnya merupakan bukti bahwa isu terorisme ini hanya "jualan". Seperti sebagaimana yang telah dijelaskan oleh John Pilger di atas. Isu terorisme ini sejatinya hanya untuk mendudukan Islam kan kaum muslim sebagai korban. Islam tak mengenal terorisme dalam ajarannya. Tindakan anarkis, bunuh diri dan bentuk teror apapun adalah haram dalam Islam. Jadi tidak adil rasanya jika buku jihad menjadi penguat atau bukti saat kasus terorisme ditemukan.
*Jelas jihad berbeda dengan teorisme.*
Jihad merupakan puncak kemuliaan kaum muslim dalam mendakwahkan cahaya Islam. Tujuannya bukan untuk menguasai dan menjajah seperti yang dilakukan para kapitalis hari ini. Jihad memiliki tujuan mulia membebaskan negeri-negeri kuffar dari cengkeraman kekuasaan zalim yang menerapkan aturan manusia. Kekuasaan Islam meniscayakan penerapan aturan Allah yang tentunya ini membawa rahmat bagi semesta alam. Dan ini sudah dibuktikan oleh masa keemasan Islam di masa lalu. Ketika cahaya Islam masuk ke negeri Syam, maka berbondong-bondong penduduknya memeluk Islam dengan kesadaran tanpa paksaan. Buktinya? Meski banyak di antara mereka memeluk Islam tapi ada sebagiannya memilih menjadi ahlu dzimmah, tunduk pada aturan Islam dengan masih memeluk kepercayaan sebelumnya. Bahkan hingga kini mereka masih eksis.
Lalu, sebagai kota duta toleransi dimana letak menghargai ajaran Islam itu sendiri? Ini negeri dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia tapi celakanya Islam selalu dipandang dengan stigma negatifnya sebagai agama teroris sebab isu-isu yang diciptakan tercium demikian. Miris. Hal ini tentu menjadi PR besar bagi penguasa sebagai pengemban demokrasi. Sebuah sistem pemerintahan yang berkiblat pada ideologi kapitalisme sekuler nyatanya gagal menegakkan nilai-nilai toleransi yang mereka nyanyikan.
Ah, memang sejatinya begitulah demokrasi. Dia tak pernah bisa konsisten pada pilar-pilar semu yang selama ini jelas menipu. Konsep kehidupan dengan asas pemisahan agama dari kehidupan itu jelas penuh kezaliman. Intoleransi tentu saja akan terus menjamur jika sistem ini tak diakhiri. Namun, semakin ke sini publik justru akan segera menyadari. Inilah kerapuhan sistem demokrasi sekuler itu. Lonceng kematiannya sudah semakin nyaring terdengar. Akankah sistem peradaban rusak ini menemui ajalnya, segera?
Tentu. Tentu saja kaum muslim harus menyambutnya dengan kebangkitan berpikir. Islam adalah kemuliaan, ajarannya penuh kebaikan dan keberkahan ketika diterapkan dalam seluruh sendi kehidupan. Praktik toleransi yang benar akan bisa diwujudkan ketika Islam dijadikan ideologi yang mengatur kehidupan umat manusia. Dan itu semua perlu diperjuangkan. Siapa lagi yang akan memperjuangkan kemuliaan Islam jika bukan umatnya? Sampai kapan kita rela Islam disudutkan pada ruang pesakitan? Memilih jalan perjuangan demi mempercepat kematian sistem kapitalisme sekuler adalah sebuah kepastian.
Oleh: Susi Ummu Zhafira
0 Komentar