“Aku nggak marah dibilang radikal, aku hanya kasihan, tiap hari mereka itu harus memelihara kebencian tanpa alasan di dalam hati mereka, agar tuduhan itu tetap hidup”
Di atas adalah kutipan sebagian status Ustadz Felix Siauw berjudul “Aku Nggak Papa (Dibilang Radikal)” yang beredar di media sosial dan ternyata sudah pernah tersebar pula di tahun 2019. Belum lama ini Presiden Joko Widodo mengeluarkan peringatan khususnya kepada keluarga besar TNI/POLRI agar tidak mengundang penceramah radikal. Pesan presiden ini kemudian ditindaklanjuti oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dengan mengeluarkan 5 kriteria seseorang dapat dikatakan radikal.
Bersamaan dengan itu, muncullah daftar nama penceramah radikal lengkap dengan latar belakang kelompok dan domisili. BNPT membantah merilis nama-nama tersebut dan hingga hari inipun belum diketahui siapa yang mengeluarkannya, namun sudah terlanjur viral. Ustadz Felixpun kembali masuk ke dalam kategori penceramah radikal nomor dua, bersama 180 nama lainnya. Anwar Abbas, Wakil Ketua MUI dalam sebuah acara di televisi nasional, tegas menyampaikan pihak kepolisian harus mecari siapa yang menyebarkan daftar nama tersebut, karena ini sama saja dengan pembunuhan karakter.
Bukan baru sekali ini narasi radikal dan radikalisme muncul, ataukah memang sengaja dimunculkan, hingga memancing kegaduhan antara yang sudah tak lagi ambil pusing dengan yang masih saja ngotot membahasnya. Dari tahun ke tahun muncul dengan beragam model, bentuk dan cara, ramai menjadi opini panas, setelah itu redam, kemudian mencuat lagi.
Sebelumnya keluar pernyataan BNPT yang menyebutkan ratusan pesantren terafiliasi terorisme, meskipun setelah itu diklarifikasi. Adanya wacana pemetaan masjid, sertifikasi da’i, program deradikalisasi yang kini istilahnya diganti menjadi moderasi, 155 buku agama direvisi dari konten yang dianggap radikal. Aktifitas publik dipantau dan dikait-kaitkan dengan radikalisme, mulai dari masyarakat umum, PNS hingga mahasiswa.
Tidak sedikit para tokoh yang mengkritisi narasi ini. Istilah radikal dengan kategori-kategorinya yang bias menjadi sangat debatable dan memungkinkan munculnya beragam penafsiran, bergantung kepada siapa dan untuk tujuan apa. Apalagi ketika label radikal beserta indikator-indikatorya adalah klaim sepihak tanpa adanya upaya duduk bersama antara pihak-pihak terkait, dikaji secara mendalam dan komprehensif hingga mencapai pemahaman, kesimpulan dan keputusan bersama. Tentang apa itu radikal, darimana sumber referensinya, seperti apa faktanya, sekaligus memastikan adakah urgensinya terhadap kepentingan bangsa yang tengah menghadapi banyak masalah hari ini.
Bukan dakwah jika tanpa resiko, diterima atau ditolak, dicaci atau dipuji, di dukung atau dihadang adalah hal biasa, termasuk dicap radikal, ekstrim atau sebutan lainnya. Bahkan Rasulullahpun mengalaminya. Beliau dituduh memecah belah bangsa Arab, menjauhkan antar saudara, memisahkan suami dari istrinya, merusak tatanan kehidupan yang sudah terbangun turun-temurun dari nenek moyang mereka.
Segala cara dilakukan orang-orang Quraisy karena merasa kepentingannya terancam oleh dakwah Rasulullah. Mulai dari membujuk dengan imbalan tinggi, hingga menakut-nakuti dengan fitnah keji, pemboikotan, serangan fisik dan ancaman pembunuhan harus dihadapi Rasulullah dan para sahabat. Tujuannya satu, yaitu menghentikan dakwah Rasulullah agar jangan sampai didengar atau diikuti umat.
Namun Rasulullah tak bergeming. Rasulullah tetap berdakwah dan berdakwah. Hingga akhirnya Islam sampai ke negeri ini yang terpisah jarak beribu-ribu mil jauhnya. Sejarah pasti berulang, yang darinya bisa diambil banyak hikmah dan pelajaran. Bagaimana Rasulullah berdakwah, maka seperti itu pula jalan yang harus ditempuh umatnya.
Tidak ada alasan untuk mundur dari dakwah hanya karena dicap radikal. Dakwah adalah jalan kemuliaan. Menyeru kepada yang ma’ruf, mencegah dari perbuatan munkar karena dorongan iman, karena rasa peduli dan sayang, tidak ingin saudara seiman terjebak dalam kemaksiatan, juga wujud ketaatan seorang hamba atas perintah Tuhannya.
Ibarat pepatah, anjing menggonggong kafilah tetap berlalu, begitupun dengan dakwah. Apapun isu yang dimainkan, dakwah tetap dan akan terus berjalan. Tak peduli label apapun yang diberikan karena memang tujuan dakwah bukannya ingin mendapatkan label atau nilai dari manusia. Tetapi mengharapkan label atau nilai langsung dari Allah SWT.
Irilah pada 180 nama penceramah yang katanya radikal. Celaan dan cemoohan tak membuat jiwa menjadi gentar. Berbagai bentuk serangan, baik stigma maupun hasutan tidak menjadi halangan. Islam harus terus didakwahkan kepada umat secara keseluruhan, secara kaffah, mulai dari ibadah, muamalah hingga khilafah. Tidak ada alasan untuk menyampaikan yang satu tapi menyimpan yang lain. Sebagaimana yang disampaikan Ustadz Ismail Yusanto, cendekiawan muslim yang menduduki peringkat paling radikal, saat diundang di sebuah acara di stasiun televisi nasional. “Tugas kita hanya menyampaikan, toh kalau ada yang menolak, kita juga tidak bisa memaksa”, tegasnya
Apalagi ketika Allah SWT dan Rasulnya telah janjikan dan kabarkan bahwa akhir dari perjuangan ini adalah kemenangan. Sebagaimana Allah sampaikan dalam Al Quran Surat An Nur 55 dan juga hadist Rasulullah tentang akan tegaknya kembali khilafah yang kedua mengikuti manhaj kenabian. Tinggal siapa yang memilih menjadi pejuangnya, bersabar dengan segala ujian, siapa yang memilih diam. Pilihan inilah yang kelak akan dipertanggungjawabkan.
Oleh Anita Rachman
0 Komentar