Menyandang status ibu kota negara dan salah satu kota metropolitan di Indonesia, membuat Jakarta tidak lepas dari berbagai problematika. Kemacetan, tingkat polusi tinggi, terbatasnya ruang gerak, dan sulitnya memiliki hunian sehat merupakan sederet masalah yang belum terselesaikan hingga kini. Maka wajar, jika Jakarta disebut-sebut sebagai kota yang rawan membuat warganya stres.
Seperti dilansir dari laporan The Least and Most Stressful Cities Index 2021, Jakarta menjadi salah satu kota dengan tingkat stres yang cukup tinggi. Laporan tersebut menganalisis 100 kota di dunia melalui empat kategori, yakni pemerintahan, kota, keuangan, dan kesehatan masyarakat. Keempat kategori tersebut dibagi kembali dalam 16 faktor, mulai dari tata kelola, tekanan sosial, hingga dampak pandemi Covid-19. Dari hasil penilaian, Jakarta berada di posisi sembilan terbawah dengan skor akhir 41,8 dari skala 0-100 poin (cnnindonesia.com, 5/3/2022).
Sebenarnya, predikat kota tertinggi tingkat stresnya juga pernah diberikan untuk Jakarta pada tahun 2017 lalu. Perusahaan asal Inggris Zipjet merilis hasil survei peringkat kota dengan tingkat stres paling tinggi di Asia. Hasilnya, Kota Jakarta menempati posisi keenam dari 150 kota di dunia (medcom.id, 7/11/2017).
Miris, jangka waktu 2017-2021 tidak juga membuat Jakarta (Indonesia) keluar dari daftar negara dengan tingkat stres tertinggi. Padahal, jika dibanding negara-negara yang tingkat stresnya rendah, Indonesia memiliki potensi yang lebih besar dalam menciptakan kesejahteraan untuk rakyatnya. Sehingga, rakyatnya bisa hidup makmur dan bahagia.
Jika kita melihat Jakarta saat ini memang terlihat lebih megah dan "wah". Investasi membuat pembangunan infrastruktur seperti Mall, Apartemen mewah, Jalan-jalan aspal, sarana transportasi modern, juga gedung-gedung perkantoran yang menjulang di Jakarta sangat massif dan seolah "berdaya saing". Tidak sedikit masyarakat yang silau dan menganggap hal ini suatu kemajuan.
Namun sayangnya, pesatnya perkembangan fisik ibu kota tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan warganya. Kebijakan liberalisasi sumber daya alam (SDA) di bawah sistem Demokrasi kapitalisme membuat SDA hanya dinikmati segelintir orang. Buktinya, untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari saja masih sulit. Padahal kata orang, semua yang dibutuhkan manusia ada di Jakarta.
Salah satunya adalah kesulitan mendapatkan air bersih. Seperti dilansir dari laman suara.com,22/2/2022, Sejak tahun 1980-an, warga Muara Angke dari Blok Limbah, Blok Eceng, Blok Empang, Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, mengalami kesulitan mendapatkan air bersih. Bagaimana warga tidak stres, selama ini mereka terpaksa membeli air isi ulang atau air dalam botol untuk mencukupi kebutuhan air minum. Padahal, lokasinya berdekatan dengan wilayah Pantai Indah Kapuk yang merupakan kawasan elit.
Kemudian, meski pembangunan transportasi massal dan sarana pendukungnya dilakukan. Namun, laju pertumbuhan kendaraan bermotor pribadi juga semakin naik. Hal ini dipicu pelayanan yang belum memadai dan penjualan kendaraan yang semakin meningkat. Sehingga, tingkat polusi udara sulit ditekan. Apalagi, saat ini Jakarta mulai menggunakan incenerator pada Pengelolaan Sampah Antara (FPSA) untuk sampah rumah tangga yang diklaim justru menambah polusi udara di langit Jakarta.
Selain itu, dikutip dari Mashable SE Asia, (5/9/2021), Sebuah platform kendaraan online di Inggris, Hiyacar, telah merilis survei peringkat kota-kota yang paling membuat Stress untuk dikendarai. Dari penilaian tersebut Jakarta berada di peringkat 3 kota yang paling membuat stres dalam berkendara karena kemacetan yang bisa sampai mengular.
Belum lagi, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saat ini harga kebutuhan pokok seperti tempe, tahu, daging sapi, minyak goreng, BBM dan lainnya kian meroket. Pastinya, membuat warga ibu kota harus benar-benar memutar otak untuk sekadar mengisi perut hari ini, sungguh ironi.
Yang tidak kalah membuat warga Jakarta stres adalah berdasarkan riset Bank Dunia Time To Act 2019, dikutip Jakarta Property Institute melalui Kompas.com, Rabu (7/4/2021), Ibu Kota Jakarta masuk jajaran kota dengan hunian termahal di dunia. Bahkan, harga rumah di Jakarta lebih mahal dibandingkan kota-kota di negara maju, seperti New York, London, dan Singapura, wow.
Memang, mengadu nasib di Jakarta harus kuat dan siap menghadapi kondisi apapun. Padatnya populasi ditambah banyaknya orang yang hijrah ke ibu kota memaksa warganya berjibaku untuk bertahan hidup. Kehidupan yang sulit dan keras di ibu kota menjadi tantangan tersendiri buat masyarakat Jakarta. Namun, bukankah hal itu juga menjadi bagian tugas negara dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya?
Alih-alih menciptakan kesejahteraan buat warga, penguasa di bawah sistem Demokrasi kapitalisme liberal saat ini justru bikin sengsara. Kebutuhan sandang, pangan, dan papan yang seharusnya menjadi kewajiban negara belum ditunaikan. Padahal dalam aturan Islam sebagai keyakinan mayoritas warga ibu kota, tugas negara tidak hanya menjamin kebutuhan lahiriyah. Melainkan, negara juga wajib menjaga akidah rakyatnya.
Kapitalisasi dan liberalisasi ekonomi membuat harga tanah di Jakarta menjadi mahal. Sehingga, hunian pun harganya ikut meroket. Banyak warga Jakarta yang tinggal hanya di rumah petakan, tanpa sekat atau tembok yang melindungi auratnya. Alhasil, banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi dilakukan oleh anggota keluarga sendiri ataupun kasus incest. Memilukan, masalah ini adalah bagian dari abainya penguasa menjamin kebutuhan dasar rakyatnya.
Penguasa juga harus melihat masalah dan mencarikan solusi yang tepat dan paripurna. Jangan hanya menilai dari sisi ekonomi semata. Masalah kemacetan contohnya, sejatinya kemacetan yang parah setiap harinya tidak hanya menimbulkan polusi, gangguan kesehatan atau mubazir BBM. Faktanya, banyak orang yang melalaikan kewajiban shalatnya akibat terjebak macet berjam-jam. Padahal, Rasulullah SAW bersabda yang artinya: "Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya".
Namun faktanya, jangankan untuk bisa menjadi manusia bertakwa. Saat ini masyarakat ibu kota justru disibukkan bagaimana setiap harinya harus berjuang demi sesuap nasi yang tidak jarang berujung pada terganggunya kesehatan mental. Tetapi, dikutip dari laman medcom.id, 7/11/2017, Seorang Psikolog Klinis bernama Ratih Ibrahim mengatakan bahwa stres merupakan hal lumrah yang bisa terjadi kapan saja dalam hidup manusia. Berkaca dari hasil survei, secara umum stres memang dialami oleh seluruh penduduk kota-kota besar di dunia. Hal ini dikarenakan intensitas kompetisi yang juga tinggi.
Ya benar, hidup di bawah tekanan sistem kapitalisme memang bikin stres. Karena, materi yang dijadikan tolok ukur kebahagian. Kalaupun faktanya di ibu kota tidak sedikit juga terdapat orang-orang yang hidup dengan harta melimpah. Namun sejatinya tidak menjamin kekayaan mereka membuat mereka terhindar dari stres. Justru fenomena yang terjadi adalah banyak orang mengalami stres akibat tuntutan keinginan dan gaya hidup hedonisme buah dari sistem rusak ini.
Sehingga, kalau Jakarta dan seluruh kota-kota besar di dunia ingin bahagia lahir dan batin. Menjadikan aturan Islam sebagai sistem hidup merupakan jalan keluar terbaik. Karena, Islam menjadikan keimanan dan ketakwaan sebagai dasar perbuatan. Selain itu, Islam membatasi nafsu manusia dengan aturan halal-haram, sehingga manusia tidak terobsesi menjadikan kebahagian dunia sebagai tujuan hidup. Namun, keridhoan Allah SWT semata yang dituju, wallahu alam bishawab.
0 Komentar