Menabungnya seseorang, adakalanya ditujukan sebagai persiapan di masa datang saat tubuh mulai tak berdaya untuk bekerja. Namun apa.jadinya jika impian membuka usaha di usia senja terhalang sebuah aturan?
Kementerian Pekerjaan.Republik.Indonesia menerbitkan Permenaker No 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT). Pada pasal.3 Permenaker tertulis "Manfaat JHT bagi Peserta yang mencapai usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a diberikan kepada peserta pada saat mencapai usia 56 tahun" (TribunJakarta.com, 14/2/2022).
Sontak saja peraturan ini menuai gelombang penolakan dari kaum buruh Bekasi. Jeritan kaum buruh ini disampaikan oleh Sekretaris Dewan Pengurus Cabang (DPC) Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Bekasi, Fajar Winarno. Buruh menilai pemerintah tidak peka dengan keadaan masyarakat yang semakin terhimpit (TribunJakarta.com, 14/2/2022).
Gemuruh penolakan.Permenaker No 2 Tahun 2022 diwujudkan dengan aksi demo ribuan buruh Bekasi di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan dan Kantor BPJS Ketenagakerjaan. Aliansi Buruh Bekasi Menolak (BBM) menyatakan penolakannya terhadap peraturan JHT yang baru yang dinilai semakin menindas kaum buruh (Jabarekspres.com, 16/2/2022).
Persoalan Klasik Buruh
Bagai jatuh ditimpa tangga, istilah ini mungkin tepat untuk menggambarkan kondisi buruh di Bekasi. Peraturan demi peraturan yang dikeluarkan pemerintah dinilai tak ada yang berpihak kepada buruh. Mulai dari masalah pengupahan yangi tidak layak untuk menjamin kehidupan buruh hingga dihantui PHK yang siap menimpa mereka terlebih di masa pandemi.
Kondisi ini diungkap oleh Ketua Aliansi Buruh Bekasi Melawan, Sarino. Menurut Sarino, di tahun 2021 kaum buruh terpuruk akibat pandemi Covid-19 yang tak berkesudahan serta ancaman PHK masal imbas dari diberlakukannya PP 35 tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Belum lagi kenaikan upah yang didegradasi dengan keluarnya PP 36 tahun 2021 tentang Pengupahan.
Dengan dikeluarkannya Permenaker tentang aturan JHT yang baru dapat diambil saat mencapai usia 56 tahun, semakin melengkapi penderitaan kaum buruh. Padahal iuran JHT diambil dari 2% upah buruh yang diterima tiap bulan. Artinya, dana JHT sepenuhnya adalah milik kaum buruh dan mereka berhak untuk menfaatkannya kapan pun.
Pemerintah pun seakan-akan tidak peka terhadap realita bahwa rata-rata buruh yang mengalami PHK adalah yang berusia 40 tahun. Untuk mencari pekerjaan baru tentu sulit, karena perusahaan lebih mengutamakan pekerja usia muda. Maka dana JHT yang telah dikumpulkan selama bertahun-tahun masa kerja tentulah sangat dibutuhkan sebagai modal usaha. Lalu, mengapa pemerintah malah menahannya hingga baru dapat dimanfaatkan 16 tahun kemudian?
Lepas Tangan Ala Negara Kapitalis
Setelah menerima berbagai protes, Kemenaker menyatakan pembatalan aturan pencairan JHT di usia 56 tahun dan akan merevisi Permenaker No 2 Tahun 2022. Menaker mengatakan akan memgembalikan proses dan tata cara pencairan dana JHT sesuai aturan yang lama. Meski demikian, fakta ini semakin memperlihatkan betapa abainya negara dalam mengurus kehidupan rakyatnya.
Sikap tarik ulur dan merevisi kebijakan jika terdapat penolakan semakin menegaskan watak negara pengusung sistem ekonomi kapitalis hanya bertindak sebagai regulator, bukan penyelenggara. Urusan kesejahtetaan rakyat sepenuhnya menjadi tanggungjawab pengusaha. Maka wajar jika setiap tahun selalu terjadi pergolakan di kalangan buruh menuntut kelayakan upah.
Rakyat yang diasuh oleh sistem batil ini juga harus memikirkan sendiri nasibnya jika sudah tidak bekerja lagi. Negara hanya melihat permasalahan buruh secara komunal bukan perorangan. Padahal tidak bekerjanya seseorang bukan melulu masalah PHK masal saat pandemi, tapi bisa jadi karena fisiknya lemah, sakit, cacat bahkan meninggal dunia.
Negara adalah Perisai Umat
Karut marut masalah buruh dan berkelitnya negara dari tanggungjawab sebagai pengurus umat tak akan ditemui dalam sistem Islam. Khilafah adalah institusi yang tegak di atas syariat Allah Swt. dan Khalifah adalah pihak yang bertanggungjawab untuk melaksanakannya. Dengan modal ketakwaan kepada Allah, Khalifah tidak akan berani sedikitpun untuk abai terhadap nasib rakyatnya.
Negara sebagai penjamin kehidupan rakyat hingga level individu. Individu-individu yang lemah baik fisik maupun akal, sakit, miskin, tua dan yang tidak memiliki seseorang sebagai penanggung nafkah, maka sepenuhnya akan ditanggung oleh negara melalui dana baitul maal.
Urusan pengupahan sepenuhnya diserahkan kepada pihak pengusaha yang berakad sesuai ketentuan syarak. Namun negara memiliki kewajiban untuk menyediakan seorang ahli jika tidak tercapai kesepakatan upah anatara keduanya. Kesejahteraan rakyat hingga hari tua terpenuhi melalui pengelolaan aset-aset milik umum dan negara yang dikembalikan lagi untuk kepentingan rakyat. Khalifah sebagai kepala negara akan bertindak sebagai junnah atau pelindung layaknya seorang penggembala yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya. Ia akan memastikan gembalaannya telah kenyang dan aman dari bahaya.
Inilah yang akan terjadi jika negara menerapkan syariat Islam secara paripurna dalam bingkai Khilafah. Penerapannya hanya tinggal masalah waktu dan kemauan umat untuk mau mewujudkannya. Wallahua'lam.
Oleh. Irma Sari Rahayu, S.Pi
0 Komentar