Kearifan Lokal Mengandung Klenik? Syirik!!!


Polemik label halal masih berlangsung. Gunungan wayang yang berbentuk limas, lancip ke atas itu memang disebut-sebut memiliki filosofi tersendiri. Bentuk gunungan itu tersusun sedemikian rupa berupa kaligrafi huruf arab yang konon katanya untuk menggambarkan bahwa semakin tinggi ilmu dan semakin tua usia, maka manusia harus semakin mengerucut (golong gilig) manunggaling Jiwa, Rasa, Cipta, Karsa, dan Karya dalam kehidupan, atau semakin dekat dengan Sang Pencipta. (Kemenag.go.id, 12/03/2022). Bisa dipastikan filosofi semacam itu bukanlah dari Islam, namun berasal dari filosofi Jawa. 

Belum usai polemik ini, terbetik kabar bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan ritual mengisi Kendi Nusantara. Ritual ini dilakukan di titik non calon IKN dan diikuti oleh 34 kepala daerah yang masing-masing membawa tanah dan air dari wilayah masing-masing. Ritual semacam ini dinilai sebagai bentuk politik klenik.

"Politik klenik itu menunjukkan suatu kemunduran peradaban politik. Praktik itu bertentangan dengan rasionalitas masyarakat modern. Sebab politik modern yang menghadirkan pemerintahan modern meniscayakan syarat rasionalitas dalam seluruh implementasi kebijakannya. Membawa kendi berisi air dan tanah dari 34 provinsi itu sesuatu yang irasional," demikian pendapat Ubedilah Badrun, pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta seperti yang dilansir Kompas.com (14/03/2022)

Kemunduran Berpikir

Dua peristiwa yang terjadi hampir bersamaan ini memiliki persamaan dari sisi penggunaan filosofi Jawa, yang berangkat dari keinginan memunculkan nilai-nilai kearifan lokal untuk menunjukkan identitas nusantara. Namun relitasnya justru membuka tabir bahwa kearifan lokal yang diinginkan justru merupakan sebuah kemunduran berpikir.

Menurut Ubedilah Badrun, politik klenik adalah suatu praktik politik mengimplementasikan kemauan penguasa (IKN) berdasar imajinasi irasionalitasnya yang meyakini semacam adanya mistisisme tertentu. Jadi yang menjadi dasar adalah imajinasi irasionalitasnya dan bukan lagi akal sehatnya.

Artinya keyakinan adanya mistisisme ini berawal dari ketidakmampuannya berpikir secara rasional. Jika seseorang sudah tidak lagi mampu berpikir secara rasional, maka akan sangat memungkinkan terjadi kemunduran berpikir. Akibatnya peradaban atau budaya manusia yang lahir dari olah pikirnya juga bisa dipastikan mengalami kemunduran.

Apalagi jika dikatakan bahwa aktivitas yang mengandung klenik tersebut adalah bagian dari kearifan lokal yang harus dimunculkan, dilestarikan dan tidak boleh dihilangkan. Sementara bagaimana dan darimana munculnya ritual semacam itu juga tidak diketahui dengan jelas asal usulnya, hanya mengikuti kebiasaan nenek moyang secara turun temurun dari masa lalu.

Padahal fenomena semacam ini sudah disinggung dalam Al Qur’an. Allah Swt berfirman:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُوا۟ بَلْ نَتَّبِعُ مَآ أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ ۗ أَوَلَوْ كَانَ ءَابَآؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْـًٔا وَلَا يَهْتَدُونَ

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (QS. Al Baqarah: 170)

Ayat ini menggambarkan bagaimana keteguhan orang-orang musyrik dalam mengikuti agama dan keyakinan nenek moyang mereka dan enggan mengikuti petunjuk dari Allah Swt, padahal nenek moyang mereka tidak mengetahui apapun, tidak berpikir dan tidak mendapat petunjuk. Lantas apa standar yang digunakan untuk tetap mengikuti keyakinan itu jika keyakinan itu sendiri tidak menjamin akan mengantarkan pada kebenaran? Bukankah ini menunjukkan bahwa mengikuti sebuah keyakinan yang belum jelas kebenarannya justru akan menjerumuskan pada kesesatan?

Dan Al Quran pun menggambarkan bagaimana kondisi orang-orang yang tidak mau mengikuti petunjuk Allah. Mereka digambarkan seperti orang yang buta, tuli dan bisu. 

صُمٌّۢ بُكْمٌ عُمْىٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ

“Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Al Baqarah: 18)

Terkait ayat ini, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, menjelaskan, ‘Mereka tuli’, maksudnya tuli dari mendengarkan kebaikan, ‘bisu’ maksudnya bisu dari membicarakannya, ‘dan buta’ dari melihat kebenaran, ‘maka tidaklah mereka akan kembali ke jalan yang benar’, karena mereka meninggalkan kebenaran setelah mereka mengetahuinya, lalu mereka tidak kembali kepadanya, berbeda dengan orang yang meninggalkan kebenaran karena kebodohan dan tersesat, karena sesungguhnya ia tidak berpikir, dan ini lebih dekat untuk kembali daripada orang-orang munafik itu.

Demikianlah, Al Qur’an mendeskripsikan orang yang yang tidak mau mengikuti petunjuk Allah sebagai orang yang tidak mau berpikir.  Mereka mengalami kemunduran berpikir yang amat jauh. Bahkan kesudahan orang-orang yang tidak mau mendengar dan berpikir sehingga tak mau menerima petunjuk ini pun telah direkam dalam Al Qur’an. Allah Swt berfirman:

وَقَالُوا۟ لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِىٓ أَصْحَٰبِ ٱلسَّعِيرِ

“Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala" (QS. Al Mulk: 10)

Ayat ini menunjukkan bagaimana kesudahan orang-orang yang tidak mau mendengar dan berpikir. Kelak di akhirat, mereka akan menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala. Apalagi jika mereka juga menyekutukan Allah dengan yang lain dan meyakini ada sesuatu selain Allah. Allah mengancam orang-orang seperti ini dengan tidak mengampuninya kelak di yaumil hisab.

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفْتَرَىٰٓ إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa: 48)
Naudzubillah.

Ketinggian Islam

Islam datang dengan seperangkat aturan yang bisa jadi berbeda dengan aturan yang sudah ada di dunia sebelumnya. Datangnya Islam adalah untuk meluruskan pemahaman dan pandangan hidup yang salah, memurnikan akidah dan memberi petunjuk kepada manusia dalam mengarungi kehidupannya.

Di awal Islam datang, syirik memang merajalela, kebodohan akibat pandangan hidup yang salah ini membuat bangsa Arab dikenal dengan sebutan jahiliyah. Namun setelah Islam datang justru bangsa Arab mengalami kemajuan pesat bahkan bisa menjelma sebagai negara besar yang mengalahkan Persia di masanya.

Tentu ini tak lepas dari tingginya pemikiran Islam yang digenggam kuat oleh para pejuang Islam. Kekuatan pemikiran yang didasarkan pada akidah Islam inilah yang menyebabkan kaum muslimin menikmati masa kejayaannya selama hampir 13 abad lamanya. Allah berfirman:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۗ

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19)

Keyakinan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar telah memberi energi yang luar biasa untuk mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia. Dan keyakinan ini melibas semua keyakinan yang sebelumnya diberikan kepada banyak berhala dan melibas pula kepercayaan pada undian nasib yang tidak jelas kebenarannya. Akal mereka tertunjuki dengan cahaya Islam.

Sejarah membuktikan masa kegemilangan Islam dengan kemajuan ilmu pengetahuannya yang sangat rasional dan jauh dari kata mistis, klenik, tahayyul serta khurafat. Dan inilah kunci kesuksesan kaum muslimin. Hingga terbuktilah hadits Rasul saw.

الإسلام يعلو ولا يعلى عليه

”Sesungguhnya Islam itu mulia/tinggi dan tidak ada agama yang lebih tinggi daripadanya”. (HR. Bukhari).

Islam akhirnya diterima di seluruh penjuru dunia. Bahkan Islam mampu menyatukan kaum muslimin dari berbagai budaya, latar belakang dan bahasa serta warna kulit yang berbeda. Mereka melebur dengan Islam, meninggalkan budaya-budaya nenek moyang yang memang bertentangan dengan Islam. Adapun budaya (baca: kearifan lokal) yang tidak bertentangan dan sejalan dengan Islam tetap ada dan dipertahankan. Demikianlah Islam membawa wajah baru bagi peradaban manusia. Wajah peradaban yang elok dan tinggi. Karenanya jika ingin mengubah peradaban dunia caranya adalah dengan menggenggam Islam, bukan malah mempertahankan kearifan lokal yang justru akan menjerumuskan manusia. Wallahualam.


Penulis: Kamilia Mustadjab

Posting Komentar

0 Komentar