Lonjakan Harga Barang Pokok : Buah Kapitalisme Liberal Membuat Negara Gagal Mewujudkan Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Rakyat


Tak putus dirundung malang, sepertinya demikianlah gambaran masyarakat Indonesia saat ini. Belum selesai airmata akibat pandemi dengan segala dampak dan drama penanganannya. Kini masyarakat menengah kebawah kembali dipusingkan lonjakan harga kebutuhan pokok terutama kebutuhan pangan yang mengalami anomalitas alias tidak seperti biasanya.

Kenaikan harga kebutuhan pokok yang biasanya  terjadi setiap akhir dan awal tahun atau pada hari-hari perayaan dan bulan Ramadhan, kini berlangsung tak kenal pola waktu, seperti kenaikan dan kelangkaan minyak goreng yang terjadi sejak awal November 2021 hingga saat ini yang semakin langka dan menimbulkan banyak polemik hingga harus terjadi banyak drama miris diberbagai daerah dari panjangnya antrian hingga jebolnya pintu minimarket hingga jempol ditinta seperti habis nyoblos pemilu.
Disusul dengan kenaikan harga kebutuhan pangan lainnya seperti daging, kedelai, cabe, bawang dll.

Bahkan diperparah dengan kenaikan barang-barang kebutuhan pokok lain seperti BBM dan Gas LPG menambah beban ekonomi masyarakat menengah kebawah semakin berat.

Data resmi pemerintah dan organisasi pedagang pasar menunjukkan tren yang sama, yakni terjadinya kenaikan harga hampir semua bahan pangan. Pedagang menilai kenaikan harga yang sudah berlangsung jauh sebelum Ramadan itu sebagai anomali.
Sayangnya, hal ini tidak menjadi perhatian khusus dari pemerintah guna mengantisipasi lonjakan harga. Justru yang terjadi, masyarakat diminta tidak mengkhawatirkan karena harga-harga pangan akan kembali menurun pada kuartal I-2022. Namun kenyataannya, meski tahun baru sudah berlalu, harga sembako nyatanya belum juga normal malah semakin menggila dengan susul menyusulnya kenaikan harga-harga kebutuhan pangan. Sampai-sampai Peneliti Core Indonesia Dwi Andreas mengatakan harga-harga komoditas tersebut telah melewati batas harga psikologis.

Dari sekian banyak penyebab kelangkaan komoditi pangan dan barang pokok, polemik minyak goreng rasanya yang paling dramatis. Selain penyebabnya yang rumit Krisis sawit ternyata memakan korban. Hal ini diutarakan Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga kepada CNBC Indonesia, beberapa waktu lalu.

Menurutnya enam produsen minyak goreng (migor) berhenti produksi. Ini akibat tidak mendapatkan pasokan CPO. Sementara itu, India juga dilaporkan meminta Indonesia menaikkan pasokan minyak sawit ke negara tersebut. Permintaan tersebut akibat kosongnya minyak bunga Matahari terkait krisis yang terjadi di Ukraina.

Masalah utama kelangkaan migor akibat pengalihan konsumsi CPO dalam negri dari konsumsi pangan ke biodesel. Pada 2020, pemerintah menyalurkan dana Rp 28 triliun dan menjadi Rp 51,86 triliun pada 2021 untuk intensif B30. Eksportir akan kesulitan memasarkan CPO di dalam negeri jika tanpa koneksi bisnis. Sementara produsen migor lokal mengalami kesulitan untuk membeli dari eksportir. Hal ini seharusnya bias ditengahi oleh pemerintah namun kenyataanya tidak terlaksana.

Fluktuasi harga bahan pangan telah menjadi masalah yang rutin setiap tahun. Kenaikan harga bahan pangan merupakan faktor pemicu utama inflasi di Indonesia. Pergerakan  harga bahan pangan selain yang tidak terkendali, juga tidak lazim atau dapat dikatakan  merupakan anomali tersendiri.  Kenaikan harga bahan pangan ini tentu saja menjadi pukulan berat bagi masyarakat. Penyebab dari anomali ini dapat diidentifikasi di antaranya: adanya bentuk oligopoli bahkan monopoli pasar, perilaku para spekulan, kurangnya stok cadangan bahan pangan, serta rantai distribusi yang panjang. Struktur pasar di Indonesia masih sangat  berkaitan dengan fakror-faktor lain yang menjadikan harga pangan yang efisien masih sulit dicapai. Panjangnya rantai pasok bahan pangan serta kesulitan dalam distribusi telah lama menjadi masalah yang tidak pernah ditangani dengan serius oleh pemerintah.

Efisiensi pada proses distribusi masih sangat rendah, terutama distribusi pangan antarpulau. Keberadaaan spekulan dan kartel pada komoditas tertentu juga merupakan permasalahan klasik yang tidak pernah ditemukan solusinya.

Tidak hanya kartel, adanya praktek  monopoli oleh perusahaan pangan raksasa  juga dicurigai menjadi penyebab anomali harga ini. Saat ini, sektor pangan kita sangat ditentukan oleh mekanisme pasar yang dikuasai oleh segelintir perusahaan raksasa.

Privatisasi sektor pangan tentunya tidak sesuai dengan mandat konstitusi RI, yang menyatakan bahwa “Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Faktanya, Bulog dijadikan privat, dan industri hilir pangan hingga distribusi (ekspor-impor) dikuasai oleh perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand.

Mayoritas rakyat Indonesia, jika tidak bekerja menjadi kuli di sektor pangan, pasti menjadi konsumen atau end-user.
Privatisasi ini berdampak serius terhadap dikuasainya sektor pangan secara monopoli atau oligopoli (kartel) seperti yang sudah terjadi saat ini. Akibatnya, negara dikooptasi menjadi pengikut perdagangan bebas. Negara pun melakukan upaya liberalisasi terhadap hal yang harusnya merupakan stateobligation terhadap rakyat.

Faktor lain yang juga kerap menyebabkan kenaikan harga bahan pangan ini adalah kurs rupiah terhadap mata uang negara lain, terutama dolar Amerika Serikat (USD). Pasokan bahan pangan Indonesia masih sangat tergantung pada impor. Dengan demikian, penurunan nilai rupiah tentunya akan berdampak pada kenaikan harga komoditas impor tersebut.

Semua carut marut masalah lonjakan kenaikan harga dan kelangkaan barang kebutuhan pangan adalah akibat kebijakan pemerintah yang kurang efisien dan mengedepankan pemenuhan kebutuhan utama rakyat. kebijakan seperti ini sangat khas sebagai buah dari sistem ekonomi kapitalis yang lebih tergiur dengan keuntungan sepihak tanpa mengindahkan kepentingan umum masyarakat.
Dalam politik ekonomi Islam, kebutuhan pokok masyarakat menjadi prioritas utama untuk dipenuhi secara cukup dan merata.

Maka dalam masalah ini persoalan pokoknya adalah dari kebijakan yang tidak mengedepankan prioritas berdasarkan konsep politik ekonomi Islam. Selain itu ada beberapa poin yang hendak penulis soroti diantaranya kelangkaan akibat distribusi dan pematokan harga pasar.

Adapun prinsip utama dalam konsep distribusi menurut pandangan Islam ialah peninggkatan dan pembagian  kekayaan (kebutuhan) agar sirkulasi kekayaan dapat ditingkatkan, sehingga kekayaan yang ada dapat melimpah dengan merata dan tidak hanya beredar diantara golongan tertentu saja.

Standar keberhasilan ekonomi dalam Islam adalah ketika setiap kepala tidak ada yang kekurangan dalam kebutuhan pokonya. Artinya jika masih ada satu saja yang tidak terpenuhi maka negara dikatakan gagal menjamin kesejahteraan rakyatnya. Demikian prinsip distribusi dalam islam.

Adapun dalam mekanisme harga pasar dalam konsep ekonomi islam negara haram dalam mematok harga. Pemerintah berperan sebagai pengawas pasar (al-muhtashib) untuk memastikan tidak terjadi gangguan di pasar seperti Ikhtisar, tadlis, dan distorsi pasar.

Ekonomi Islam memandang bahwa pasar, negara, dan individu berada dalam keseimbangan. cara-cara produksi dan harga, tidak boleh ada gangguan yang mengakibatkan rusaknya keseimbangan pasar hingga menimbulkan masalah kelangkaan barang kebutuhan pokok. 

Demikianlah jika kebijakan politik ekonomi Islam menjadi standar dalam menentukan arah kebijakan maka  tidak akan terjadi polemik seperti ini dan kesejahteraan  juga ridho dari Allah SWT akan diraih.


Penulis: Oom Badriah, S.Psi (Aktifis Muslimah)

Posting Komentar

0 Komentar